Aku berdiri menatap rumah berpagar tinggi itu, sudah dari satu jam lalu aku
duduk di sudut warung kopi kecil ini, sebuah tempat yang paling strategis untuk
mengamati rumah itu. Rumah itu masih kosong. Dan aku harap akan kosong terus
sampai nanti malam. Nanti, saat rencana besarku dilaksanakan. Pikiranku
menerawang, kalau rencana ini berhasil, tidak akan ada lagi tangisan si bungsu
yang merengek minta susu. Tak akan ada lagi sedu sedan isteriku ketika melapor
dengan cemas kalau beras sudah tak ada untuk makan malam ini. Tak akan ada lagi
kepedihan menatap empat anakku yang lain, ketika berangkat pagi-pagi, bukan
untuk sekolah melainkan untuk memulung dan mengamen di perempatan lampu merah. Semua
penderitaan itu akan hilang kalau rencanaku malam ini suskes.
Senyumku mengembang ketika
membayangkan si bungsu bisa tercukupi gizinya, kalau perlu akan kubelikan si
bungsu susu kalengan bermerek yang ada di iklan-iklan susu bayi. Akan kudaftarkan empat anakku yang lain ke SD
Negeri agar mereka bisa melanjutkan pendidikan mereka yang terputus, biar bisa
jadi orang besar dan berpendidikan, tidak seperti bapaknya. Dan juga akan kubelikan isteriku perhiasan emas seperti yang
di pakai Bu Murti, majikannya. Kasihan isteriku, jangankan memakai perhiasan
emas, pakaiannya saja hanya pakaian bekas pemberian majikan tempat dia menjadi buruh
setrika. Ya. Rencana ini harus sukses, demi isteriku, demi anak-anakku. Aku
ingin membawa oleh-oleh kebahagiaan untuk mereka, sesuatu yang sampai detik ini
belum mampu kuberikan kepada mereka.
Lalu malam itu dengan penuh tekad
kumasuki rumah itu. Aku berhasil melompati pagar yang tinggi, merasa beruntung
dan bangga dengan kemampuanku. Tetapi ternyata kesenanganku hanya sebentar. Di sana , di sudut kebun,
tampak dua ekor anjing besar menatapku dengan mulut menganga, lidah menjulur
dan air liur yang menetes, gigi-gigi taring mereka tampak putih dan menakutkan
di bawah sinar bulan. Mereka tampak lapar menatapku. Aku panik, keberadaan
anjing-anjing itu sungguh tak kusangka sebelumnya. Mereka menatapku buas, aku
berteriak panik, mencoba melompati pagar kembali, anjing-anjing itu menyalak,
mencoba meraih kakiku, celanaku sampai sobek karenanya.
Rupanya keributan itu terdengar
oleh warga sekitar, mereka berkumpul, dan mendapatiku sedang berusaha melompati
pagar, mencoba meloloskan diri dari kejaran anjing-anjing galak. Ketika aku
berhasil melompati pagar kembali keluar rumah itu, aku berhadapan dengan
sekumpulan warga yang marah, menatapku dengan melotot dan muka-muka bengis.
“Maling !! Maling !!! “ , teriak
mereka bersahutan
“Hajar-Hajar !!!! “, mulai
terdengar teriakan teriakan marah dan mereka mulai mengerubutiku
“Bakar !!! Bakar !!! Bunuh saja
!! Bunuh saja biar mampus !!!”
Mereka menghajarku, menendangku,
memukuliku dengan apapun yang ada di tangan mereka. Aku kandas habis-habisan,
aku diperlakukan seperti sampah yang bisa seenaknya diinjak, dihantam, dan
diludahi. Aku sudah hampir kehilangan kesadaran, mataku sudah berkunang-kunang,
rasa sakit yang hebat hampir membuatku mati rasa. Lalu sejerigen bensin yang
entah darimana diguyurkan di tubuhku, membuat sekujur kulitku yang penuh luka
terasa makin pedih.
Dan ketika rasa panas itu mulai
membakarku. Terbayang wajah si bungsu yang kurus dalam gendongan ibunya yang
kucintai. Terbayang wajah anak-anak dan isteriku yang tidur dengan damai
berdesak-desakan dalam satu kamar di malam hari. Maafkan aku isteriku, maafkan
aku anakku-anakku. Aku tidak jadi membawa oleh-oleh kebahagiaan untuk kalian
malam ini
T_T
BalasHapuskasihan ya nasib tokonya, hiks
HapusAku tidak tega membayangkan keluarganya....
BalasHapusiya, kasihan T___T
Hapus