Senin, 15 Agustus 2011

Cerpen: Emak, Aku pulang








“Dapat banyak hari ini?”, Bandi duduk disebelahku sambil mengusap keringat di lehernya.

Aku mendengus sengit,

“Boro-boro, penumpang bis sekarang pelit-pelit”

Bandi tertawa dan menepuk punggungku, menawarkan sebatang rokok. Tanpa kata aku menerimanya, lalu menyulutnya, tanganku memegang plastik berisi gorengan yang dibungkus kertas putih,

“Lo mau?”, Aku menyorongkan gorengan itu kepada Bandi, dan lelaki bertampang sangar itu menggeleng,

“Gua mau beli nasi padang di sana, lumayan, masih ada sisa narik kemarin”, gumam Bandi sambil berdiri, melangkah menuju warung nasi padang kumuh di samping terminal.

Aku menatap ke arah Bandi yang menghilang di balik pintu warung. Lalu mendesah, menatap ke gumpalan plastik berisi gorenganku. Dua potong tempe dan dua tahu isi dengan cabai rawit. Tadi uang hasil ngamenku nggak dapat banyak, jadi aku harus puas makan siang hanya dengan gorengan.

Setengah hati kubuka bungkusan gorengan itu dan mengambil sepotong tempe, lalu mengunyahnya. Sial benar nasibku ini, terpuruk di sini, jadi pengamen terminal kampung rambutan yang kumuh dan tak bersahabat. Dulu aku berangkat ke jakarta dengan segudang impian, menumpang kapal pengangkut barang yang membawa muatan dari Tarakan ke Jakarta, sembari menghidupi diri sebagai kuli angkut barang. Setibanya di Jakarta, aku masih membawa mimpi-mimpi itu. Dengan berbekal tiga potong baju yang sudah di seterika emak licin-licin, dan selembar ijazah SMA, aku mimpi menjadi pegawai kantoran seperti di film-film.

Tetapi nasibku memang berahkir seperti di film-film pula, hanya film tentangku adalah film mengenaskan. Ketika tidur di halte bis Grogol setelah berputar seharian mencari pekerjaan, kelelahan menerima penolakan, aku di rampok dua preman bersenjatakan pisau, yang mengambil tas ransel berisi ijazah dan 3 helai pakaiannya, pun uang senilai limapuluh ribu, sisa uang hasil dari dua minggu jadi kuli dan anakbuah kapal. Tak puas merampokku, dua preman itu juga menghajarku sampai babak belur.



Itu kejadian setahun yang lalu. Dan sekarang, berkat bantuan Bandi, preman terminal kampung rambutan yang tak sengaja kukenal, aku bisa bebas ngamen di bis jurusan Kampung Rambutan - Bekasi dan setidaknya punya tempat tinggal untuk sekedar berteduh dari panas dan hujan.


Jangan bayangkan tempat tinggalku seperti rumah rumah yang bertembok dan beratap genting. Rumahku hanyalah gubuk kayu lapuk di sebelah lokasi pembuangan sampah, gubuk seukuran 4x4 tanpa kakus tanpa perabot, hanya tikar kasar yang terasa gatal kalo ditiduri. Gubuk itu dihuni banyak orang, kadang ada 3 orang saja yang tidur di situ, kadang bisa sampai 10 orang, tergantung berapa preman menggelandang yang butuh tempat berteduh malam itu. Dan karena isinya preman-preman menggelandang semua, bayangkanlah sendiri bagaimana baunya. Tidak perlu kujelaskan, baunya seperti campuran orang yang belum mandi sepuluh hari ditambah rokok dan minuman keras, kalau kau tak biasa, kau pasti akan merasa mual mencium bau apak yang campur aduk di gubuk kami itu.

Tapi memang begitulah nasibku, mau bagaimana lagi? Ini lebih baik dari berpindah dari satu halte bis ke halte bis lain, dari satu emperan toko ke emperan lain, tak bisa tidur nyenyak karena cemas akan dirampok atau bahkan dibunuh ketika sedang lelap. Kehidupan di jalanan itu kejam, dan itu juga yang memaksaku untuk kadang-kadang menjadi kejam.
Tapi semiskin-miskinnya aku, aku tidak pernah berbuat kejahatan. Itulah yang selalu dihina Bandi dari diriku, mungkin juga keteguhanku itulah yang sekaligus dikaguminya, membuatnya mau bersahabat karib denganku. Aku tidak pernah mencopet, menjambret dan semua kegiatan kriminal lainnya, oh, aku memang kadang-kadang minum dan mabuk, itu membantuku dari kekalutan meratapi kesialanku, tapi sedapat mungkin aku menghindari melakukan perbuatan yang sekiranya merugikan orang lain.

Emak mendidik mentalku dengan sangat keras untuk yang satu itu. Emaklah yang membentuk pribadiku menjadi orang yang lurus, orang alim, itu julukanku waktu sekolah dulu.

“Kamu boleh menggunakan segala cara untuk sukses Lif, tapi tidak dengan cara merugikan orang lain, kalau kamu meraih keuntungan dengan merugikan atau menyakiti orang lain, keuntungan yang kamu raih tidak akan bertahan lama”
Itulah kata-kata yang sering emak ucapkan kepadaku, berkali-kali hingga aku hapal, dan secara nggak sadar tertanam di dalam jiwaku.

Ah emak, memikirkannya membuat tempe goreng yang aku telan menjadi seret di tenggorokan. Mataku berkaca-kaca membayangkannya, emakku janda renta yang kuat. Tubuhnya kecil mungil, tapi kalian pasti nggak akan menyangka di balik tubuh yang mungil itu, tersimpan kekuatan yang luar biasa. Kami enam bersaudara, dan bapak meninggal karena TBC ketika aku masih berumur delapan tahun, dengan adikku yang paling kecil baru berumur enam bulan. Kadang aku juga bingung kenapa meskipun hidup mereka miskin, bapak dan emak tak henti-hentinya bereproduksi, apakah mereka masih menganut paham banyak anak banyak rejeki? Sungguh menggelikan karena seiring bertambahnya anak, bapak dan emak malah semakin miskin, memaksa bapak kerja jadi buruh pabrik sampai malam, kadang nggak tidur karena mengerjakan dua shift sekaligus demi mengejar uang lemburan, yang kemudian berujung pada penyakit TBC yang merenggut nyawa bapak. Tapi beruntunglah aku mempunyai emak yang kuat. Ditinggalkan menjanda dengan 6 anak yang masih kecil-kecil tidak memupuskan harapan emak untuk bertahan hidup. Karena Ani adikku yang paling kecil belum bisa ditinggal, emak bertahan hidup dengan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang bisa dia kerjakan di rumah. Pagi hari emak menarik cucian-cucian dari tetangga, yang kalau dikumpulkan bisa tiga ember besar banyaknya, lalu seharian itu emak mencuci dan menyeterika baju-baju. Tangan emak sampai lecet-lecet dan penuh luka karena kebanyakan terendam deterjen dang mengucek baju.

Siangnya ketika anak-anaknya sedang tidur emak membantu Bik Sumi, tetangga depan rumah yang punya warung makan untuk menyiapkan dagangannya. Alhasil akulah, anak lelaki paling tua dan satu-satunya lelaki yang ketiban tanggung jawab untuk menjaga lima adikku yang masih kecil-kecil.Uang yang didapat emak memang nggak seberapa, tetapi yang penting kami masih bisa makan, meskipun satu piring untuk bertujuh. Kadang-kadang aku lihat emak menahan diri tidak makan, biar kami anak-anaknya mendapat jatah lebih banyak.

Seiring dengan bertambahnya umurku, aku mulai bisa membantu-bantu emak, jadi kuli angkut di pasar sepulang sekolah. Memang dari ke enam anaknya, hanya aku yang disekolahkan oleh emak, katanya anak lelaki harus punya pendidikan, beda sama anak perempuan yang nantinya akan mengabdi pada suami. Waktu itu dalam hati aku mencibir, ah emak banyak alasan, bilang saja uang emak tidak cukup kalau harus menyekolahkan semua anak-anaknya.

“Jadilah lelaki berpendidikan Lif, yang berguna, yang kantoran pakai dasi seperti di film-film itu, jangan jadi seperti emakmu ini, seperti bapakmu ini, yang sampai mati cuma bisa memburuhkan diri pada orang lain”
Begitu salah satu pesan emak yang masih kuingat.

Dan sekarang aku menatap diriku sendiri, lalu meringis miris. Gorengan di plastik itu kuletakkan di sebelahku, aku sudah tidak berselera lagi, malu kepada diri sendiri, malu kepada emak, karena sekarang aku bahkan lebih rendah daripada seorang buruh. Aku pengamen, aku hanya menyanyi asal-asalan, mengandalkan tampang seram agar penumpang-penumpang bis yang gampang terintimidasi terdorong memberiku uang karena takut. Aku sama saja seperti peminta-minta yang tak mau bekerja tapi menadah uang. Emak pasti akan sangat kecewa padaku kalau tahu aku berahkir seperti ini di Jakarta.

Masih teringat padaku malam itu, ketika emak berusaha mencairkan kekeras kepalaanku yang ngotot mau berangkat ke Jakarta. Malam itu aku sangat bersemangat, sampai tak bisa tidur, dan emak duduk di sana menatapku dengan tatapan memohon.

“Pikirkan lagi Lif, untuk sukses kamu kan nggak perlu sampai ke Jakarta, Ijazahmu juga laku di sini, kemarin pak RW menanyakan apa kamu mau ikut dia, ngurus pabrik pupuk punya dia”

Waktu itu aku mencibir membayangkan pabrik pupuk kecil-kecilan punya pak RW. Jangan bayangkan pabrik berskala besar, pabrik itu hanyalah pabrik kecil dengan mesin yang masih manual dan tenaga kerja kurang dari 6 orang. Aku membayangkan mang Kardi, salah satu pegawai pabrik itu yang bekerja dengan kaos kumal, mengendarai sepeda tua. Apa aku harus berahkir seperti itu juga? Tidak ! Ijazahku SMA, seharusnya aku kerja di kantor kantor di depan komputer dengan kemeja dan dasi, naik sepeda motor honda supra keluaran terbaru yang selalu kuimpikan, tetapi tidak mampu kubeli.

“Alif pengin sukses mak, kalau di Jakarta pasti Alif nanti bisa jadi orang besar”

Emak menarik napas panjang,
“Tapi Jakarta itu kejam Lif, apa kamu nggak pernah dengar cerita orang-orang? Kamu nggak ingat Surti yang berangkat ke Jakarta katanya mau dijadikan pembantu dengan gaji limaratus ribu sebulan, nyata-nyatanya pulang kampung sebagai mantan pelacur jalanan yang ahkirnya mati laknat karenasiphilis?”

Aku tertawa mendengar kata-kata emak,
“Beda mak. Alif kan lelaki, Alif pasti sukses, percaya saja sama Alif mak. Nanti sesampainya Alif di Jakarta dan dapat kerjaan, langsung Alif kirim gaji pertama Alif ke rumah. Jangankan Cuma limaratus ribu sebulan mak, sejutapun Alif pasti dapat”, gumamku saat itu dengan semangat meluap-luap.

Terdiamlah emak mendengar jawabanku itu, sadarlah dia kalau aku memang sudah tidak dapat diubah pikirannya lagi. Dengan diam-diam meskipun tidak setuju, emak menyetrikakan tiga helai kemejaku yang paling bagus sampai licin, untuk kubawa ke Jakarta.

Paginya, subuh-subuh ketika aku berpamitan untuk naik kapal ke pelabuhan, emak memelukku, lalu menyerahkan sesuatu dalam genggamanku.

Aku membuka genggamanku dan melihat sesuatu yang berkilauan di sana, nafasku tercekat,

“Mak….?”

“Bawa saja Lif, itu satu-satunya perhiasan yang emak punya, cincin itu mas kawin peninggalan ayahmu. Emak bertekat tidak pernah menjualnya, bahkan di saat-saat yang paling sulit sekalipun emak berhasil tidak menjualnya, tapi emak pikir benda itu akan lebih berguna untukmu”, Suara emak terdengar serak, lalu perempuan tua itu memelukku.

Itulah kali pertama aku melihat air mata mengalir di pipinya yang keriput tertempa oleh kerasnya hidup. Emak tidak menangis ketika bapak meninggal, emak tidak menangis ketika uang hasil angkut beras di pasar di copet orang, bahkan emak tidak menangis ketika adikku yang paling kecil ahkirnya menikah dengan pacarnya, si Ali tukang ojeg dari kampung sebelah, Tetapi sekarang perempuan renta itu menangis ketika melepas kepergianku.

Dadaku berdenyut oleh rasa sedih mengingat kenangan itu, bahkan cincin dari emak itu ikut hilang pada saat aku dirampok oleh dua preman jahanam itu.

“Lu masih bengong aja di sini? Kagak ngamen lo?”, Bandi datang menghampiri sambil mengorek-ngorek giginya dengan tusuk gigi. Sial betul dia, uang hasil nariknya kemarin pasti banyak karena dia bisa beli nasi padang dengan lauk rendang.
Aku mendesah dan menyandarkan tubuhku di tembok,

“Gua pengen pulang Ndi….”

Bandi mengangkat alisnya,

“Memang lu punya duit?”

Aku menggeleng miris,
“Jangankan duit buat pulang, lu tau sendiri kan kalo uang hasil ngamen selalu habis buat makan, bahkan hari ini gua nggak dapet duit sama sekali”

Kami berdua termenung, dan Bandi mengelus dagunya yang mulai berjenggot panjang,

“Kalo lo mau ikut sama Pak Badrun, lo bisa dapat uang banyak dalam sekejap…”, suara Bandi mengambang, sudah lama dia mengajukan usulan itu tapi setiap kali aku selalu menolaknya mentah-mentah.

Pak Badrun adalah preman sekaligus penjahat kelas teri yang anak buahnya tersebar di terminal kampung rambutan ini. Bisnisnya adalah bisnis kotor, pemasok pelacur kelas rendahan dan penjual obat-obatan terlarang. Semua anak buahnya memang terjamin kehidupannya karena Pak Bardrun terkenal sebagai orang yang murah hati kepada anak buahnya, tetapi sekaligus kejam jika dia dikhianati. Sudah banyak anak buahnya yang mengkhianatinya dihabisinya. Aku ingat tentang si Sandi, salah satu anak buah Pak Badrun yang dulu pernah menginap di gubuk yang sama denganku. Si Sandi ini mengkhianati Pak Badrun dengan mencomot kecil-kecilan obat terlarang yang seharusnya di distribusikan kepada pelanggannya lalu menjualnya untuk masuk ke kantongnya sendiri. Ketika ahkirnya pengkhianatannya ketahuan oleh Pak Badrun, mayatnya diketemukan sudah tak bernyawa, mengambang di kali ciliwung tersangkut di saluran air bersama sampah-sampah.

Aku tidak pernah berpikir sekalipun untuk bergabung menjadi anak buah Pak Badrun, selain karena hal itu sangat bertentangan dengan prinsip yang ditanamkan emak ke dalam jiwaku selama ini, aku juga takut nasibku akan berahkir seperti si Sandi, mati mengambang di kali Ciliwung. Jadi anak buah pak Badrun seperti terjerat di sarang laba-laba, sekali kau masuk ke sana, kau tak akan bisa keluar lagi.

Tapi entah bagaimana, tawaran ini terasa sangat menggodaku, aku sangat ingin pulang, aku ingin bertemu emak, sudah beberapa hari ini aku memimpikan emak dan itu membuatku cemas, emak sudah tua, dan sudah setahun ini aku nggak kirim kabar kepadanya.

Aku menarik napas panjang, berharap Tuhan mau menoleransiku kali ini, toh aku melakukannya dengan tujuan kebaikan,
Kutatap wajah Bandi dalam-dalam.

“Kalo gua mau ikutan? Biasanya gua dapat berapa sekali jalan?”

Bandi terkekeh, senang karena pada ahkirnya dia bisa membujukku, ditepuk-tepuknya punggungku dengan bersemangat,

“Harusnya Lo ikut dari dulu-dulu Lif, Lo pasti udah punya uang banyak dan bisa pulang dengan bangga sekarang”, gumamnya dalam tawa.

*****

Dan disinilah ahkirnya aku berahkir, jadi anak buah pak Badrun, tugasku sebenarnya sederhana, aku Cuma jadi kuris yang mengantarkan paket entah apa isinya ke pelanggan Pak Badrun yang sudah menunggu di tempat yang sudah ditentukan. Paket itu dibungkus kertas cokelat seperti biasa diwadahi dalam tas plastik hitam yang lecek, tetapi semua sudah tahu isinya, itu obat-obatan terlarang dengan nilai tak terkira harganya karena satu paket beratnya bisa mencapai beberapa kilo.

Proses pengiriman sangat rumit dan rahasia, untuk menentukan lokasi biasanya menggunakan kode-kode yang hanya bisa dipecahkan yang bersangkutan, hal ini juga untuk menghindari pihak berwajib yang ahkir-ahkir ini sangat gencar melakukan pembersihan besar-besaran atas transaksi narkoba di Jakarta. Pihak berwajib memang sudah mengincar pak Badrun sejak lama, tapi pak Badrun adalah penjahat yang licin, sehingga dia selalu lolos, polisi tidak pernah bisa menemukan bukti untuk menyeretnya ke penjara.

Hari ini aku berdiri di halte bis di depan rumah sakit tua di daerah Salemba, tempat itu ramai, dan merupakan tempat yang paling cocok untuk melakukan transaksi terlarang ini, karena tempat ini tidak bakalan dicurigai polisi. Apalagi siang-siang begini.

Aku memandang kiri kanan, katanya kurir dari langganannya Pak Badrun akan memakai jaket hitam dan kacamata hitam. Mataku lalu terpaku pada sosok laki-laki yang bersandar merokok di dekat hate. Tanpa bersikap mencurigakan aku mendekati lelaki itu dan berdehem, lelaki itu menoleh sedikit, dan dengan pelan aku mengangsurkan paket terbungkus ta splastik hitam itu. Dengan sigap lelaki berkacamata hitam itu menerimanya dan mengangguk.

Aku lega bukan main, setiap mengirimkan barang seperti ini jantungku berdegup seperti mau meledak saja, tentu saja aku takut ketahuan, tapi untunglah aku sepertinya masih dilindungi, sudah tiga kali aku melakukan pengiriman, dan ketiganya lancar. Tabunganku sudah menggembung, dan aku bertekat ini terahkir kalinya aku melakukan pengiriman, setelah ini uangku sudah cukup buat pulang, aku akan pulang ke Tarakan, menemui emak.

Tiba-tiba saja, dua orang berbadan kekar, berseragam preman memepetku di kiri dan kananku. Mereka mengarahkanku ke sebuah mobil yang parkir di dekat pertigaan di bawah fly over ,

“Saya petugas polisi khusus narkoba, sebaiknya anda bekerjasama dan ikut kami ke kantor”, bisik salah seorang berbadan kekar itu pelan.

Aku ternganga, wajahku pucar pasi, badanku gemetaran ketika diarahkan ke mobil itu, masuk ke dalamnya dan duduk, masih di pepet kedua polisi berbaju preman itu.

Emak…. Aku ditangkap polisi mak…!

Ya Tuhan ! dari semua waktu di dunia ini, kenapa aku justru tertangkap saat aku berniat melakukan kejahatanku yang terahkir kalinya? Saat aku sudah punya cukup tabungan? Saat tinggal satu langkah lagi aku bisa pulang menemui emak?
Kututup wajahku dengan kedua tangan, dan menangis penuh penyesalan.

*****

“Jangan diulang lagi ya Lif, semoga di luar sana kau bisa hidup lebih baik”, Sipir penjara yang baik hati itu menyerahkan buntelan tas kanvas tua kepadaku, isinya hanya dua lembar baju dan ongkos sekedarnya.

Aku mengangguk dengan lunglai, menerima tas itu dan menandatangani berkas-berkas yang dihadapkan di depanku.
Setelah itu, pintu gerbang penjara yang menahanku selama 7 tahun ini terbuka, membukakan dunia luar kepadaku. Aku takut. Itu perasaan yang aku rasakan pertama kali, rasanya seperti bayi yang disuruh merangkak ke halaman untuk pertama kalinya.

Sejenak aku berdiri di depan lembaga permasyarakatan khusus narkotika di daerah Jakarta Timur tersebut, bingung mau kemana dan hendak berbuat apa. Aku tidak punya tujuan, aku mantan napi, bisa bekerja apa aku?

Keputusan untuk mengahkiri hidup terasa sangat kuat, tapi aku menahannya, dan mencoba melangkahkan kaki keluar, ku stop angkot di depanku, aku hendak ke Kampung Rambutan lagi, mungkin di sana aku bisa menentukan langkah hendak kemana.

*****

Suasana Kampung Rambutan tidak berubah meski sudah tujuh tahun berselang, tetap ruwet, panas, macet dan menyesakkan dengan polusi di mana-mana dan berbagai jenis kendaraan yang memenuhi jalan. Memang ada perbaikan fasilitas di sana-sini, tetapi tetap saja kesan kumuh dan berbahaya terminal besar Jakarta ini masih jelas terasa,
Aku melangkahkan kaki ke sebuah pohon besar di dekat peron, dan duduk di sana, memandang keramaian. Pikiranku dipenuhi oleh kekalutan yang menghantuiku selama tujuh tahun di penjara. Aku kangen emak, aku ingin bersimpuh di kakinya, memohon ampun dan menciumi kakinya, Aku ingin merasakan kelembutan usapan tangan keriput emak di kepalaku, Aku ingin pulang.

Tapi bagaimana kabar emak sekarang? Masih sehatkah beliau? Atau…. Aku tidak mau mempertanyakannya, tapi pertanyaan itu muncul terus menerus di benakku, Masih hidupkah beliau?Bagaimana kalau emak sudah tiada? Tanpa aku sempat bertemu dan memohon ampun di kakinya?

Yang Penting kamu bisa pulang dulu Lif

Suara itu menggedor-gedor kalbuku, memompa semangatku untuk berjuang supaya bisa pulang.

******

Aku melangkahkan kaki ke tepi pelabuhan. Pelabuhan Tarakan adalah pelabuhan kecil yang melayani rute transit. Langkahku gemetar ketika melompat melewati dermaga kayu itu. Ahkirnya aku bisa pulang ke kampung kelahiranku lagi. Dua tahun selepas keluar dari penjara aku bekerja keras, pekerjaan yang bersih, sebagai kuli bangunan di salah satu proyek perumahan. Penghasilannya kecil dan aku harus menabung dalam waktu yang lama, tetapi aku menahan diri dan bersabar. Mati-matian aku mengumpulkan uang, tidak apa-apa sedikit demi sedikit, asalkan halal. Aku sudah kapok memakai cara cepat tapi nggak halal.

Ahkirnya uangku terkumpul juga, dan setelah memakai rute transportasi semurah mungkin yang bisa kudapatkan, disinilah aku, berdiri dan menghirup dalam-dalam udara bersih pelabuhan yang aku rindukan, tempat aku di masa remaja sering duduk-duduk menghabiskan sore dengan kalbu yang masih bersih dan penuh semangat.

Kupercepat langkahku menuju rumahku yang masih kuhapal jalannya. Aku memilih berjalan kaki pelan-pelan, menikmati perubahan di sekelilingku sekaligus menyiapkan hati.

Tak sampai setengah jam, langkah kakiku sudah tiba di depan sebuah rumah yang meskipun banyak perubahan di sana sini, masih tampak sama dengan rumahku dulu. Gubuk kecil yang mungil dengan tambalan perbaikan seadanya di sana-sini,

Dua anak perempuan kecil berbaju kumal tampak bermain di tanah depan pekarangan mungil itu, salah satunya mendongak dan menatapku dengan curiga,

Aku berdiri saja di situ dan tersenyum kepadanya, tapi entah karena anak itu memang penakut, atau wajahku tampak menakutkan baginya, anak itu malah menangis, lalu berteriak memanggil mamaknya di dalam.
Dengan tegang, aku menunggu, harap-harap cemas, apakah orang yang akan keluar dari rumah itu sesuai harapanku? Ataukah aku harus menyiapkan diri menahan kekecewaan?

Seorang wanita setengah baya dengan tubuh gemuk keluar dari rumah, wajahnya mengkerut marah, merasa terganggu oleh tangisan anaknya, mungkin dia sedang sibuk memasak di dapur ketika anak perempuannya itu menangis menjerit-jerit karena melihatku,

Perempuan itu memelototi anaknya dan menyuruhnya diam. Kedua anak kecil itu lalu lari dan bersembunyi di balik rok mamaknya.

Baru pada saat itulah perempuan setengah baya itu mengalihkan perhatiannya kepadaku, sejenak kami terpaku, saling menatap. Lama.

Lalu air mata mengalir deras dari mata perempuan setengah baya itu,
“Bang Alif????”, dia berseru gagap setengah tidak percaya, tangannya menutup mulutnya yang gemetaran.

Aku tak bisa menahan senyuman lebarku, Perempuan setengah baya ini, meski tampak lebih tua, lebih gendut dan lebih dewasa, masih kukenali, dia adalah Ani adikku yang paling kecil.

“Aku pulang Ni’, gumamku dengan suara serak menahan haru.

Lalu pertemuan yang mengharukan itu terjadilah, Ani langsung menghambur ke pelukanku, kami berpelukan dan bertangis-tangisan, setelah drama panjang penuh tangis itu, Ani langsung menggeretku masuk ke rumah, mulutnya tak henti-hentinya berceloteh seolah-olah dia ingin merangkum semua cerita yang terjadi selama aku pergi. Ani sudah menjanda sekarang, dengan dua anaknya yang masih kecil, suaminya merantau ke jawa juga dan kabur dengan perempuan lain. Tapi Ani memang mewarisi ketegaran emak, dia tetap tegak menghadapi nasibnya.

Mulut Ani tak henti hentinya berceloteh menceritakan tentang saudari-saudariku yang lainnya, aku merangkumnya dengan cepat dan mensyukurinya, mereka semua ternyata masih hidup dan sehat, meskipun mungkin berada di bawah garis kemiskinan, aku berjanji dalam hati akan mengunjungi mereka satu-persatu untuk melepas rindu. Nanti.
Pandanganku tertuju ke kamar tanpa pintu yang hanya di tutup dengan kain gorden lusuh, kamar emak. Jantungku serasa di remas, ketika menatap Ani penuh pertanyaan tanpa kata.

Lama rasanya Ani menatapku dan aku merasa jantungku hampir saja meledak ketakutan akan mendengarkan kenyataan yang tidak kuinginkan. Tapi kemudian Ani tersenyum, senyum lembut yang membuatku menahan napas.

“Emak masih hidup bang, sekarang emak lumpuh total dan buta sejak kejatuhan karung beras yang diangkutnya di pasar lima tahun lalu. Tapi emak selalu percaya bang Alif akan pulang, bahkan setelah kami semua kehilangan harapan”
Seluruh tubuhku tiba-tiba gemetaran penuh rasa syukur tiada terperi,

“Emak masih hidup Ni? Benarkah Ni?”, Air mata mengalir deras dari kedua mataku, Ani menganggukkan kepalanya dan menghelaku memasuki kamar itu. Setelah aku berdiri terpaku di kamar itu, Ani mundur dan menutup gorden di belakangku, memberi kesempatan aku berdua dengan emak.

Aku terpaku tidak bersuara, menatap tubuh kurus renta yang terbaring di atas dipan, berselimutkan selimut tua. Emak tampak mengkerut dimakan usia, tubuhnya tampak lebih kecil dari yang terahkir kulihat, dan mata emak terbuka, tapi bola matanya sudah memudar berwarna abu-abu, kosong dan tidak ada pantulan cahaya.

Aku melangkah pelan-pelan duduk di tepi ranjang, mencoba meresapi wajah perempuan yang sangat aku cintai ini. Emak sepertinya mendengar desiran pelan gerakanku dan menelengkan kepalanya,

“Kamu Ni? Emak belum pengen makan”, suara Emak serak dan goyah dimakan usia, membuatku menggigit bibir menahan tangis haru.

Aku diam saja menahan isakan, bingung harus bersuara bagaimana, aku takut emak akan kaget dengan kedatanganku, kondisi emak tampak sangat lemah, apakah kedatanganku akan menyehatkannya atau akan membuatnya tambah sakit? Akan senangkah emak dengan kedatanganku? Atau akan dicaci makinya aku karena menghilang tanpa kabar hampir sepuluh tahun berlalu?

“Bukan Ani? Siapa?”, gumam emak lagi, mengernyitkan keningnya.

Aku tak tahan lagi, dengan penuh air mata, kuraih tangan lemah dan keriput emak, kuciumi berulang-ulang, kubasahi dengan air mataku.

Sejenak emak tampak terpaku, lalu bibirnya bergetar dan air mata mengalir dari matanya,

“A….Lif…?” suara itu tampak lemah dan meragu, Aku ingin berteriak ya ya ya, tapi suaraku tercekat di tenggorokan, hanya sesenggukan setengah tercekik yang berhasil kuperdengarkan.

Emak mengangkat tangannya yang lemah dan gemetaran itu lalu mengusap wajahku, ditelusurinya wajahku pelan-pelan, setiap jengkal tidak dilewatkannya, seolah-olah jarinya ingin mengenaliku lagi. Dan ketika Emak merasa yakin bahwa ini benar-benar aku, darah dan daging, menangis di hadapannya, bukan cuma bayangan semu yang datang dan pergi di mimpinya yang hampir pupus, ikut menangis pulalah emak. Tangisannya menyayat hatiku, tangisan perempuan tua yang hampir kehilangan harapan, sekaligus dipertemukan dengan harapan terbesarnya,

Tangisan itulah yang menyadarkanku, betapa emak masih menerimaku, tidak mencaci dan menghakimi aku yang menghilang selama hampir sepuluh tahun. Emak tidak menghakimiku, yang kudapat adalah penerimaan seratus persen tanpa prasangka apapun,

Aku menggeser dudukku, mendekatkan kepalaku ke kaki emak yang lumpuh, lalu menciumi kaki itu, tempat surga bagi setiap anak yang mencintai emaknya, suaraku serak dan tercekat oleh tangis, tapi aku berhasil memaksakannya, kata-kata yang begitu ingin kukeluarkan sejak bertahun-tahun lalu. Dadaku bertalu-talu ketika mengucapkannya,

“Emak…. Aku pulang, mak….”

The End

9 komentar:

  1. satu lagi yang bikin aku nangis :'(
    hari ini aku jadi orang paling sensi sedunia

    BalasHapus
  2. wah ceritanya sedih bgt c,,jadi kebayang kalo tentang kita. Bagus ceritanya mba santhy,salam kenal. Aku bru tau blog ini.

    BalasHapus
  3. kalau nggak inget skrg jam 2 pagi, nih tangan tgl mencet tombol call bwt nelpon ibu di rmh.. hiksss..ampun deh mba san..bisa2 pagi ini aq kuliah dgn mata sembab luar biasa..anehnya aq sma skali nggak ngantuk dan bosen bwt terus ngebaca cerita selanjutnya..tp knp critanya byk yg sedih ya mba??
    tp gak apa2 dehhh..hidupkan hrus lgkp manis,pahit dn getirnya.. smangat terus ya mba san.. ^^ karyamu slalu aq tunggu.. :)

    BalasHapus
  4. Suka.
    Salam kenal mbak san :)

    BalasHapus
  5. Nangis bombay mba san.. Haduuh banjiir deh

    BalasHapus
  6. Nangis bombay mba san.. Haduuh banjiir deh

    BalasHapus
  7. Salam kenal mbak San..

    Aku fans berat mu..

    BalasHapus
  8. Ceritanya bener2 dalem banget, Jadi pengen nagis T.T

    BalasHapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus