Sabtu, 24 November 2012

Posesif ( Hanya aku dan Marlon )

Tak pernah ada yang mencintai Marlon sebesar aku mencintainya, aku yakin itu. Dari semua perempuan di dunia ini, cintakulah yang paling besar, pun demikian juga dengan cemburuku. Setiap hari kuhabiskan dengan tersiksa menahan kecemburuan gila yang merajalela di hati. Cemburuku akut, bahkan ketika kulihat hembusan angin yang berani-beraninya menerpa rambutnya, membuatnya liar dan berantakan. Aku marah. Aku kesal. Aku tidak rela. Hanya aku yang boleh menyentuhnya. Hanya aku yang boleh melihatnya. Hanya aku yang boleh mendapat perhatiannya.

Tetapi tak mungkin bukan, jika aku membuat semua orang di dunia ini buta, agar mereka tak bisa melihat kekasihku? Tak mungkin pula aku memaksa semua orang mengacuhkannya, tak memperhatikannya. Marlon terlalu istimewa, terlalu tampan, dan dia bagaikan cahaya mentari yang membuat semua orang berlomba mengerubunginya. Tentu saja aku tidak rela! Marlon Milikku!

Sampai ahkirnya aku sampai di titik batas pertahananku. Cemburuku meledak hingga menelan kewarasanku. Yang kuinginkan di dunia ini hanyalah Marlon dan aku. Di setiap detiknya aku hanya ingin berdua dengannya. Hanya berdua.

Kutuangkan kopi untuk Marlon, seperti biasa setelah dia mandi sepulang kantor, Marlon meminumnya tanpa curiga sambil tersenyum kepadaku, Kangen, katanya. Aku membalas senyumnya dengan tak kalah manis, menyimpan rapat-rapat rencana di benakku. Tenang saja Marlon, setelah ini kita tak perlu saling menahan rindu lagi. Sebentar lagi kita akan bersama selamanya...

Marlon meneguk kopi itu. Manis tentu saja, aku selalu membuat yang termanis untuk Marlonku. Dan aku mengamati, mengamati detik-detik Marlon tertidur pulas, kemudian larut dalam kegelapan yang panjang, untuk selamanya.

Senyum liarku mengembang. Dia sepenuhnya milikku sekarang. Kuambil peralatan yang sudah kusiapkan di kamarku. Aku akan mengawetkan Marlon, kusimpan sebagai mummi yang akan selalu bersamaku di kamar. Mulai sekarang aku dan Marlon akan selalu bersama. Di setiap detiknya. Hanya akan ada aku dan Marlon

***

Jumat, 23 November 2012

Dua Perempuan di Sebuah Bar Yang Remang



Bar kecil itu sepi dengan nuansa pencahayaan remang-remang. alunan musik jazz mengalun lembut dari sudut ruangan. Katrin berdiri di pintu bar dan menatap ragu ke sekeliling, matanya mengernyit ketika menemukan apa yang dicarinya sedang duduk sambil termenung di sudut lain bar yang gelap. Dengan gugup Katrin membetulkan letak kacamatanya dan melangkah mendekat.

“Hai”

Rheana mendongakkan kepalanya, menatap sosok di depannya dengan teliti. Jadi inilah dia, gumamnya dalam hati. Inilah dia wanita yang juga dicintai oleh Alex.

“Hai juga”, tangannya terulur dan dengan sedikit canggung Katrin membalas jabatannya.

Rheana tidak bisa melepaskan pandangannya, pun ketika Katrin sudah duduk di hadapannya.

“Aku sudah memesan”, Rheana mengedikkan bahunya ke cangkir kopi di depannya, “Mungkin kamu ingin memesan dulu?”

Katrin mengangguk dan melambaikan tangannya memanggil pelayan lalu memesan minuman. Selama itulah Rheana memanfaatkan kesempatan untuk mengamati Katrin lagi, perempuan yang sungguh cantik. Cantik, dengan kacamatanya yang elegan dan tampak begitu feminim. Pantas Alex menganggap perempuan itu begitu berharga baginya. Dan perempuan itu memiliki Alex.
 
Sejenak rasa sakit menghantam dadanya, terasa menusuk sampai ke ulu hatinya. Tidak adil!. Teriaknya dalam hati, perempuan ini sudah memiliki segalanya, karier yang bagus, kecantikan wajah, masa depan yang cerah, dan dia memiliki Alex, Alexnya. Perempuan ini sudah memiliki segalanya dalam genggaman tangannya, dan dia masih juga memiliki calon suami yang sangat sempurna. Atau paling tidak, di mata Rheana, Alex adalah pasangan paling sempurna di dunia.

“Kenapa kamu ingin bertemu denganku?”, Rheana memulai pembicaraan untuk memecah keheningan.

“Kamu tahu kenapa”

“Tidak, aku tidak tahu.”

“Ini tentang Alex”

Hening yang lama dan terasa menyesakkan


Rabu, 21 November 2012

KASIH


 
Pram pernah menginginkan kehadiran Kasih, sangat mengharapkannya. Tetapi sekarang tidak lagi. Pram tidak menginginkannya. Tidak, kalau Lena sudah tidak ada lagi di sisinya…

 
 
 
 
 
Semua yang ada di ruangan itu tampak tegang, wajah-wajah kelelahan yang tidak tidur semalaman, dan sekarangpun mereka belum bisa tidur. Pram terdiam, menatap lampu di atas ruangan operasi. Lampu itu masih menyala merah, pertanda operasi masih berlangsung. Delapan jam operasi yang melelahkan, dan Lena, mungkin masih terbaring pucat disana, membiarkan para dokter membelah perutnya yang rapuh itu. Bayangan itu membuat perutnya bergolak dan Pram merasa mual. Tentu saja, dia tidak makan apa-apa sejak tadi, hanya secangkir kopi yang sempat mengisi perutnya, dan semua ketegangan ini membuat asam lambungnya naik.

Segalanya terasa baik-baik saja tadi, bahkan Pram tidak pernah memimpikan saat-saat ini akan ada. Mereka pasangan yang bahagia, mereka menikah setahun yang lalu, setelah masa pacaran yang panjang. Pram dan Lena seperti sudah menjadi sepasang kekasih seumur hidupnya. Mereka mengenal sejak kecil, menghabiskan waktu bersama sejak kecil, dan saling mencintai sejak kecil.
 
Mereka dibesarkan dengan pengetahuan bahwa mereka akan menikah suatu hari nanti, dan itulah yang terjadi, pernikahan yang bahagia, pasangan yang saling mencintai, dan berkah yang luar biasa besar dengan kehamilan Lena hanya beberapa bulan setelah pernikahan mereka. Pada awalnya semua sangat membahagiakan, sampai saat Lena mengalami pendarahan-pendarahan yang makin lama makin parah seiring dengan bertambahnya usia kehamilannya. Plasenta bayinya terletak di tempat yang tidak semestinya, sehingga kondisi janin sangat rapuh, hal itu juga mempengaruhi kondisi sang ibu, yang semakin pucat dan lemah seiring dengan perutnya yang semakin besar. Saat usia kehamilannya mencapai tujuh bulan, Lena harus berbaring seharian di tempat tidur, aktivitas seringan apapun bisa memacu pendarahan yang membahayakan bayinya, dan dirinya.

Pram sangat cemas, tetapi Lena sangat optimis, dia begitu bersemangat, dia begitu mencintai sang calon bayi dan selalu berusaha menenangkan ketakutan-ketakutan Pram akan kondisi Lena. Setiap malam, di tempat tidur mereka, ketika Pram memeluk Lena dengan perutnya yang mulai membuncit. Lena akan mengelus pipi Pram dengan senyumnya yang teduh,

“Aku baik-baik saja sayang”, dengan lembut jemari itu menyentuh alis Pram dan kerutan di dahinya, berusaha menghilangkan kerutan itu, “Kau harus percaya kepadaku, kami berdua baik-baik saja di sini”

Pram mendesah, dia tidak mencemaskan bayi itu, dia mencemaskan Lena, bayi itu lebih baik tidak ada kalau dia membahayakan kesehatan Lena. Tapi Pram memilih untuk tidak mengungkapkan pemikirannya, itu hanya akan membuat Lena terluka karena Lena sangat menyayangi bayi dalam perutnya itu, dan pemikiran bahwa Pram sama sekali tidak keberatan kehilangan bayi itu asalkan Lena baik-baik saja pasti akan sangat melukai isterinya.

“Kau lebih sering mengalami pendarahan ahkir-ahkir ini, dan dokter menyuruhmu berbaring seharian di tempat tidur, bagaimana mungkin aku tidak mencemaskanmu?”, bisik Pram serak.

Lena tersenyum dan menyentuhkan jemarinya ke bibir Pram, membiarkan Pram mengecupnya,

“Aku tidak keberatan berbaring seharian di ranjang demi anak kita”.

Dengan putus asa Pram mencoba mempererat pelukannya kepada tubuh rapuh itu,

“Aku tidak akan bisa tahan kalau harus kehilanganmu Lena…”, suaranya menghilang ditelan emosi, membuat Lena segera merengkuhnya lembut,

Senin, 19 November 2012

Cinta dan Buah Mangga

Silakan beli Tuan...
Mangga dapat petik sendiri
walaupun dari kebun orang
tapi hamba bertaruh nyawa untuk mengambilnya

Silakan beli Nyonya
Mangga matang di pohon
persis seperti kupinang istriku dulu
dijamin asli tanpa menipu

Silakan coba saudara
jika mangga tak manis seperti janjiku
kau boleh bilang aku penipu

Kujual mangga untuk nyawa
berdelapan kepala sedang menunggu
penuh harap agar semua laku
penuh cemas supaya aku tak dipenjara

aku bukan penipu
walau mungkin aku pencuri
aku hanya penjaja mangga untuk cinta

(dari : Irawan )

Selasa, 13 November 2012

Catatan Tentang Si Boy Part 2

Masih tentang orang yang sama, dengan kepolosan yang sama dengan kebaikan hati yang nggak tanggung-tanggung. Kadang di saat merenung sendirian, aku bertanya-tanya kenapa masih ada jenis manusia seperti dia di dunia yang makin penuh ketidakpedulian antar sesama manusia ini, bukannya aku ingin berfilosofi, tapi jenis manusia seperti si Boy ini benar-benar udah masuk karegori Limited Edition , hahahahha..... tidak percaya ? mungkin aku bisa membuat kalian yakin, dengan pengalaman-pengalaman unikku bersamanya berikut ini.




Senin, 12 November 2012

Catatan Tentang si Boy Part 1



Well, sebuah cerita yang nggak penting ternyata, tapi maafkan karena aku tergelitik untuk menceritakannya di sini, tentang office boy ku, pemuda tanggung berusia 19 tahun dengan kepribadian yang sangat menarik :)
 
Di kantorku, ada seorang office boy yang khusus menangani lantai tempatku dan ruanganku, dia baru di sini. Kebetulan aku berada di satu ruangan terpisah oleh sekat kaca, sendirian di pojok pribadi ( sebutan kerennya pojok pribadi, tetapi teman-teman  sekantor lebih sering menyebutnya aquarium kaca ha... ha.... ha ... )

Maafkan jika ceritaku ini membosankan, tetapi sekali lagi, aku tidak bisa menahan rasa untuk menuliskan tentang  dirinya di sini. Dia adalah pemuda sunda asli, dengan logat yang masih kental dan kesopanan yang sangat luar biasa, panggil saja dia Boy ( hahahaha.... nama yang sangat tidak kreatif... dan jangan coba-coba membayangkan sosok playboy di film jadul 'Catatan Si Boy' !!! )
 


Toples isi Pelukan

Saya bermimpi bisa memasukkan pelukan penuh kasih sayangmu ke dalam sebuah tolpes besar.
 
Hingga ketika saya merasa 'lapar' dan membutuhkan pelukanmu nanti, saya tinggal membuka tutup toples itu, memasukkan tangan ke dalam toples, mengambil sedikit pelukan, dan menikmatinya.
 
Tentu saja saya akan mengambil  pelukan itu sedikit-sedikit, biar dia awet, biar saya punya persediaan pelukan di dalam toples dan tidak cepat habis isinya, agar ketika kamu tidak lagi ada disini untuk memeluk saya, saya punya toples pelukan yang bisa memuaskan kerinduan saya.
 
Jadi, maukah kamu memasukkan pelukan penuh kasih sayangmu ke dalam toples untuk saya?
Kalau kamu mau, saya akan berusaha mencari toples kualitas terbaik, agar bisa menyimpan pelukanmu dengan sempurna, agar rasanya sama seperti aslinya, kehangatannya, kasih sayangnya, ketulusannya, kemanisannya, semuanya yang membuat dada saya terasa sesak oleh rasa cinta yang luar biasa.

PS : sayang, seandainya saja saya mampu melawan seluruh dunia untuk memilikimu, saya  pasti tidak akan membutuhkan toples semacam itu :)

Sabtu, 10 November 2012

Kekasihku dan Hujan Deras, sebuah catatan harian

Semalam hujan deras turun di hatiku, mengiringi sepasang kekasih dalam tangis haru, entah kenapa terasa membekas di hatiku, mengawali pagiku yang biru.
 
Hari kemarin kuawali dengan hujan deras di pagi hari, membuat hati mendung dan meratap entah kenapa. Bahkan di dini hari yang sunyi itupun kekasihku sudah pergi - tuntutan pekerjaan - katanya. Sebenarnya jauh di dalam hati aku menahan diri,  kesibukannya ahkir-ahkir ini membuatku merasa pilu, pilu karena semua rutinitas kami bersama terenggut oleh waktu, pilu karena pelukannya yang kurindukan tidak bisa kutemukan di malam-malam sunyiku, pilu karena sapaannya yang dulu sering terdengar tak pernah lagi menyentuh hari-hariku. Dan pilu karena aku harus mengalami perasaan itu lagi, menunggunya dalam keheningan, membuatku mengulas kembali memori-memori menyakitkan di masa lalu ketika aku harus menunggunya dalam ketidakpastian.
 
Aku ketakutan dan dia tidak tahu. Seluruh tubuhku berteriak akan ketakutan. Ingatanku mengingat kenangan di masa itu, ketika dia makin lama makin menjauh, dan aku kehilangannya. Tuhan. aku tidak sanggup kalau harus melaluinya lagi. Saat ini dia sudah ada di pelukku. Kalau dia harus menjauh lagi, lebih baik aku mati.
 
Pagi itu sungguh berat kulalui, dan aku merindukan sapaannya yang selalu menguatkan hatiku seperti biasa, tetapi tidak ada. Sepanjang pagi kulalui dengan menanti. Semua tetap hening. Rasa sedih meledak di dalam diriku, dia sudah lupa. Perusahaan baru tempatnya bekerja itu benar-benar telah merenggut dia yang kukenal. Lelaki itu bukan kekasihku, lelaki itu sudah menjadi milik perusahaannya.
 
Kemudian di siang hari di tengah panas yang bercampur dengan mendung yang datang tiba-tiba. Aku merasa sampai di titik akumulasi bahwa aku tidak sanggup lagi. Detik itu, ketika aku meminta pertolongannya, dia tidak hadir. Keheningan masih mengikutinya sehingga aku pada ahkirnya memutuskan, kalau dia tidak bisa lagi ada, maka aku akan membuatnya tidak ada. Seperti sebuah pepatah, makin beratnya beban berbanding lurus dengan makin hilangnya perasaan. Dan aku menjeritkan kata-kata itu kepada kekasihku, "Aku sudah tak kuat menanggung beban, aku takut akan kehilangan rasa"
 
"Aku menginginkan perpisahan dan aku serius", tulisku waktu itu, dalam sebuah pesan yang kukirim dengan mata gelap berkabut, larut dalam kesedihan dan amarah yang membusuk karena tertahan sejak pagi.
 
Kekasihku membalasnya segera - terkejut,
 
"Ya Allah, cinta. apakah kau serius? ini keputusan yang sangat penting, tolong pikirkan dengan pikiran dingin, semua yang kulakukan ini demi kebahagiaanmu, demi keluarga kecil kita"
 
Kemarahan membakar dadaku. Bagaimana dia bisa bilang ini demi kebahagiaanku kalau apa yang kurasakan sekarang adalah hantaman ketidak bahagiaan yang menusuk kalbu? Bahagiaku adalah bersamanya, dalam kesederhanaan. Aku merindukan saat-saat dulu ketika bahagia kami bisa didapat dalam nikmatnya nasi bungkus yang dimakan dalam canda dalam kamar sederhana berukuran 3x4 meter. Aku merindukan bahagia di masa itu, ketika bahagia kami semudah itu bisa didapatkan dalam pelukan hangat dan candaan sepanjang hari. Aku tidak butuh yang lain. Saat itu aku sudah cukup bahagia, sebelum perusahaan baru itu hadir dan merenggut seluruh waktunya, perhatiannya, dan juga bahagiaku.
 
"Aku ingin perpisahan", mataku menyala penuh tekad. Aku tidak sanggup merasakan dirinya yang makin lama makin tenggelam, menghilang dari genggamanku. Dan sebelum aku harus menanggung itu semua, lebih baik aku yang pergi, di saat kenangan indahlah yang masih terpatri.
 
"Tunggu aku pulang, kita bicara"
 
Tak kubalas lagi pesan itu, sibuk mengusap air mataku. Ya Allah, semua terasa sungguh berat. Hujan deras turun lagi di luar sana, seolah berusaha menyaingi cucuran air mataku. Ya Allah... begitu sakitnya ternyata ketika kita memutuskan meninggalkan orang yang kita cintai. Tetapi aku tak tahu harus bagaimana lagi, memandang kedepan yang akan terus seperti ini, toh pada ahkirnya aku akan kehilangan dirinya bukan?
 
Malam itu kutunggu dia pulang, aku sudah menyiapkan kata-kataku, semua sanggahan dan bantahan. Tak akan kubiarkan dia membatalkan niatku untuk berpisah. Sudah kukeraskan hatiku, kali ini aku serius.
 
Tetapi kemudian dia pulang dengan tatapan sedihnya yang luar biasa, memanggil namaku dengan suara pedih ketika aku bahkan tidak mau menatap matanya lagi. Batinku teriris ketika melihatnya, sosok yang kucintai yang sekarang begitu pedih. Aku sungguh tak mau membuatmu sedih sayang, tetapi aku harus melakukannya. Demi kita.
 
Semua tekadku yang kubangun seharian langsung runtuh ketika dia rubuh, berlutut di depanku dan menangis. Ya Allah, dalam kebersamaan kami selama ini, sudah lama sekali tak kulihat air matanya. Dulu air matanya hanya akan mengalir ketika aku melukainya, ketika aku melukainya dengan parah.
 
 "Jangan tinggalkan aku", katanya dalam isak pilu sambil berlutut memeluk pinggangku. "Kalau kau pergi aku tak bisa hidup, aku sangat mencintaimu, kumohon mengertilah, semua ini kulakukan untukmu, untuk kita"
 
 Aku menunduk, menatapnya terbenam dalam haru yang biru, ahkirnya kubungkukkan tubuhku, jatuh berlutut bersamanya dan memeluknya, semua kemarahan yang bergulat dalam otakku, menguap entah kemana, Dia balas memelukku dengan erat, seolah itulah harapannya untuk bertahan hidup, kukecup pelipisnya, kukecup air matanya, kuusap bahunya biar tangisannya mereda. Dan kami berpelukan dalam tangis haru yang dalam.
 
"Sudahlah jangan menangis, maafkan aku", kukecup matanya yang basah oleh air mata. Oh aku tidak akan sanggup meninggalkan lelaki ini. Kuhapus semua kemarahan dan kesedihan yang menggayutiku seharian ini. Aku seharusnya tegar, bersamanya. Mendukungnya dalam masa transisi ini, yang kutahu pasti dia juga menderita, aku seharusnya lebih tegar.....
 
Kuleburkan semua beban hatiku biarkan larut bersama aliran air, tersapu oleh hujan deras yang mengiringiku, dari ku membuka mata, sampai ahkirnya aku menutup mataku dalam hangatnya pelukan kekasihku.
 
 
- Kepada yang tercinta, I love you always, All Ways-
 

Senin, 05 November 2012

Verna dan Hujan Part 2


Created on 03rd December 2010

 
 
Disclaimer : Bandung dengan hujannya yang ( hampir ) setiap hari melahirkan cerita ini. Mau tak mau membuat saya merenungkan hujan dari dua sisi, Hujan yang mendatangkan kebahagiaan bagi manusia yang mencintainya sepenuh hati, dan hujan yang mendatangkan kesedihan bagi manusia yang belum bisa melepaskan masa lalunya.


 
 
 
 
Verna terbangun dengan kepala pening dan pandangan mata berkunang-kunang. Dicobanya memfokuskan pikirannya, memfokuskan pandangan matanya, dan dia sadar bahwa dia sudah berada di kamarnya sendiri, terbaring di atas ranjangnya. Pikirannya berputar..... Tadi dia bertemu dengan Tanza di depan pintu kostnya, lalu semuanya tiba-tiba menjadi gelap.

"Tanza...?", dengan pelan setengah mengerang, Verna memanggil nama sahabatnya itu, ketika tidak ada sahutan, Verna mencoba bangkit dan duduk, tapi langsung terbaring lagi ketika rasa nyeri yang amat sangat menghantam kepalanya.

Saat itulah pintu kamarnya terbuka, dan Tanza masuk, sedikit basah karena hujan masih turun dengan derasnya di luar,

"Verna! Lo udah bangun?", Tanza berseru cemas melihat Verna yang setengah terduduk, lalu dengan tergesa-gesa melangkah menghampirinya, "gue tadi keluar bentar buat beliin lo obat, lo demam dan mengigau dalam tidur lo", dengan lembut Tanza meletakkan punggung tangannya di dahi Verna.

Verna langsung memejamkan matanya, tangan itu terasa sejuk di dahinya yang terasa panas membara, menenangkannya.

Tanza mendesah makin cemas merasakan dahi Verna yang panas, dia mengeluarkan obat yang dibawanya, mengambilkan air lalu mencoba menarik perhatian Verna yang terpejam, setengah tertidur lagi,

"Minum dulu obatnya Verna, ini penurun demamnya, setelah itu baru tidur", bisik Tanza lembut

Verna membuka matanya dan mengernyit, mencoba duduk tapi tak mampu karena nyeri itu menyerangnya lagi,

"Biar gue bantu", gumam Tanza lembut dan menyangga punggung Verna dengan hati-hati, lalu membantu Verna meminum obatnya, setelah itu membaringkan Verna dan menyelimutinya.

Hati Verna terasa hangat ketika tangan Tanza dengan lembut mengusap-usap dahinya, dengan lemah dipegangnya tangan Tanza,