Rabu, 19 September 2012

Si Cantik yang Ingin Cantik


Aku ingin menjadi cantik. Sebenarnya aku sudah cantik. Kulitku putih bersih, bibirku ranum memerah, rambutkupun lurus dan hitam berkilau. Aku sudah cantik dari sananya. Setiap aku berkaca, aku tak bisa menahan untuk memanggil diriku sendiri : "Si Cantik". Tetapi keluargaku sangat jahat, Bapakku, ibukku, kakak-kakak perempuanku, semuanya menentang kalau aku ingin berpenampilan cantik. Bapakku bahkan pernah menamparku keras-keras dan memaksaku kembali berpenampilan jelek ketika menemukanku sedang mencoba gaun kesayangan kakakku serta mengoles gincu merahnya di bibirku.

Kakak-kakak dan ibuku juga setali tiga uang, sama jahatnya. Mereka tidak suka kalau aku berpenampilan cantik. Kupikir-pikir, mungkin mereka semua merasa iri kepadaku, karena tidak ada yang secantik aku di keluarga ini. Atau... jangan-jangan mereka semua bukan keluarga kandungku? Mungkin saja aku anak orang kaya yang diculik bapak enam belas tahun yang lalu. Ya, pasti karena itulah mereka semua berusaha mencegah aura kecantikanku terpancar keluar. Mereka jahat, mereka pendengki, mereka pasti bukan keluarga kandungku.

Malam itu aku sudah siap. Aku mau kabur saja dari rumah ini. Aku yakin pasti banyak orang yang mau menolongku nanti begitu melihat kecantikanku. Sebelum pergi kusempatkan diri berkaca, mengagumi penampilanku. Gaun biru feminim yang kuambil dari lemari kakak tampak pas ditubuhku, padahal kalau dipakai kakak gaun itu tampak jelek. Lipstick merah kakakpun menghiasi bibirku, membuatku semakin memancarkan aura kecantikan.

Aku mengambil tas pakaianku, lalu mengendap-endap keluar, aku harus cepat karena rumah sedang kosong. Sialnya tepat di depan pintu aku berpapasan dengan seluruh anggota keluargaku yang baru pulang dari acara pernikahan saudara di kampung sebelah.

Mereka ternganga menatap wajah dan penampilan cantikku, kupikir mereka pasti terpesona menyadari betapa cantiknya aku - ada rasa bangga membuncah di dadaku. Tetapi... ibu tampak pucat pasi, kakak-kakakku terlihat sedih, dan bapak... wajahnya merah padam menahan amarah.

Lalu tamparan keras bapak mendarat di pipiku, lagi, lagi dan lagi, sampai kurasakan anyir darah mengalir di sudut bibirku. Ibu berusaha menghalangi bapak yang kehilangan kendali diri menghajarku, sementara kakak-kakakku saling berpelukan, ketakutan.
"Sudah!! Sudahlah Pak !!! sabar pak, sabar !! Ini anakmu pak!!", jerit ibu berusaha menjadi tameng untukku.
Mata bapak melotot, napasnya terengah-engah, wajahnya semakin merah padam, ketika berteriak marah, ludahnya sampai muncrat kemana-mana, 
"Sabar gimana lagi bu ??!!", teriak bapak membelalak menatapku, "Anak ini harus dihajar!! Biar dia sadar kalau dia itu sudah menyalahi kodrat !!! Kamu harus sadar TONO !!! Kamu itu laki-laki !!!"