Sabtu, 30 Juni 2012

Oleh-Oleh Kebahagiaan Untuk Anak Isteriku



Aku berdiri menatap rumah berpagar tinggi itu, sudah dari satu jam lalu aku duduk di sudut warung kopi kecil ini, sebuah tempat yang paling strategis untuk mengamati rumah itu. Rumah itu masih kosong. Dan aku harap akan kosong terus sampai nanti malam. Nanti, saat rencana besarku dilaksanakan. Pikiranku menerawang, kalau rencana ini berhasil, tidak akan ada lagi tangisan si bungsu yang merengek minta susu. Tak akan ada lagi sedu sedan isteriku ketika melapor dengan cemas kalau beras sudah tak ada untuk makan malam ini. Tak akan ada lagi kepedihan menatap empat anakku yang lain, ketika berangkat pagi-pagi, bukan untuk sekolah melainkan untuk memulung dan mengamen di perempatan lampu merah. Semua penderitaan itu akan hilang kalau rencanaku malam ini suskes.

Senyumku mengembang ketika membayangkan si bungsu bisa tercukupi gizinya, kalau perlu akan kubelikan si bungsu susu kalengan bermerek yang ada di iklan-iklan susu bayi.  Akan kudaftarkan empat anakku yang lain ke SD Negeri agar mereka bisa melanjutkan pendidikan mereka yang terputus, biar bisa jadi orang besar dan berpendidikan, tidak seperti bapaknya. Dan juga akan  kubelikan isteriku perhiasan emas seperti yang di pakai Bu Murti, majikannya. Kasihan isteriku, jangankan memakai perhiasan emas, pakaiannya saja hanya pakaian bekas pemberian majikan tempat dia menjadi buruh setrika. Ya. Rencana ini harus sukses, demi isteriku, demi anak-anakku. Aku ingin membawa oleh-oleh kebahagiaan untuk mereka, sesuatu yang sampai detik ini belum mampu kuberikan kepada mereka.

Lalu malam itu dengan penuh tekad kumasuki rumah itu. Aku berhasil melompati pagar yang tinggi, merasa beruntung dan bangga dengan kemampuanku. Tetapi ternyata kesenanganku hanya sebentar. Di sana, di sudut kebun, tampak dua ekor anjing besar menatapku dengan mulut menganga, lidah menjulur dan air liur yang menetes, gigi-gigi taring mereka tampak putih dan menakutkan di bawah sinar bulan. Mereka tampak lapar menatapku. Aku panik, keberadaan anjing-anjing itu sungguh tak kusangka sebelumnya. Mereka menatapku buas, aku berteriak panik, mencoba melompati pagar kembali, anjing-anjing itu menyalak, mencoba meraih kakiku, celanaku sampai sobek karenanya.

Rupanya keributan itu terdengar oleh warga sekitar, mereka berkumpul, dan mendapatiku sedang berusaha melompati pagar, mencoba meloloskan diri dari kejaran anjing-anjing galak. Ketika aku berhasil melompati pagar kembali keluar rumah itu, aku berhadapan dengan sekumpulan warga yang marah, menatapku dengan melotot dan muka-muka bengis.
“Maling !! Maling !!! “ , teriak mereka bersahutan
“Hajar-Hajar !!!! “, mulai terdengar teriakan teriakan marah dan mereka mulai mengerubutiku
“Bakar !!! Bakar !!! Bunuh saja !! Bunuh saja biar mampus !!!”

Mereka menghajarku, menendangku, memukuliku dengan apapun yang ada di tangan mereka. Aku kandas habis-habisan, aku diperlakukan seperti sampah yang bisa seenaknya diinjak, dihantam, dan diludahi. Aku sudah hampir kehilangan kesadaran, mataku sudah berkunang-kunang, rasa sakit yang hebat hampir membuatku mati rasa. Lalu sejerigen bensin yang entah darimana diguyurkan di tubuhku, membuat sekujur kulitku yang penuh luka terasa makin pedih.

Dan ketika rasa panas itu mulai membakarku. Terbayang wajah si bungsu yang kurus dalam gendongan ibunya yang kucintai. Terbayang wajah anak-anak dan isteriku yang tidur dengan damai berdesak-desakan dalam satu kamar di malam hari. Maafkan aku isteriku, maafkan aku anakku-anakku. Aku tidak jadi membawa oleh-oleh kebahagiaan untuk kalian malam ini

4 komentar: