Kamis, 17 November 2011

Yang Tak Tersampaikan

Aku memanjat pohon itu seperti yang biasa aku lakukan, dengan penuh semangat, malam ini entah kenapa aku begitu bertekad. Aku kangen sekali sama Upit dan senyumannya, aku kangen ngobrol dengannya. Ketika sampai di depan jendela lantai dua, aku melompat sehingga mendarat dengan sukses di lantai balkonnya, kulihat Upit sedang duduk di kursi belakangnya, kacamatanya terpasang dan dia sedang serius menghadap komputernya.



Dengan lembut kuketuk jendela kamarnya,  Sekali, dua kali ahkirnya aku berhasil membuyarkan konsentrasi sahabatku itu, dia menoleh ke jendela, dan seperti biasanya reaksi pertamanya adalah cemberut. Aku sengaja memasang ekspresi lucu di depan jendela, membuat Upit makin cemberut. Tetapi walaupun begitu, sahabatku itu tetap berdiri dan membukakan jendela untukku,

“Lewat jalan yang normal-normal saja nggak bisa ya ?”, gerutu Upit ketika aku melompati ambang jendelanya dan memasuki kamarnya.



Aku tergelak,

“Kalo lewat pintu depan yang ada aku harus ngobrol sama papamu di ruang tamu, dan ujung-ujungnya bukannya ketemu sama kamu, aku harus meladeni tantangannya untuk main catur”

Upit tersenyum dan menepuk bahuku dengan sayang,

“Kamu sih, sekali-kali ngalah dong sama papa, jadi dia nggak akan penasaran nantangin kamu main catur terus”

Aku tergelak mendengarnya, lalu dengan santai kubantingkan tubuhku ke ranjang Upit yang begitu feminim, bermotifkan strawberry warna pink.

Segera Upit menyusulku duduk di pinggir ranjang, sambil menggerutu bahwa spreinya baru diganti, bahwa ranjangnya pasti kotor karena aku habis dari luar naik-naik pohon. Aku hanya tersenyum dan menganggapnya sebagai angin lewat. Upit memang selalu begitu, cerewet, cemberut, dan tukang ngomel, tetapi di balik itu, dia penuh kasih sayang luar biasa kepadaku.

Kami sudah berteman sejak lama, kalau boleh dibilang sejak lahir. Kami hanya selisih satu hari. Upit yang lebih tua satu hari dariku dan mungkin itu juga yang membuatnya menobatkan diri sebagai kakak angkat perempuanku. Mungkin juga karena aku sebagai laki-laki memang sejak kecil selalu lemah dan sakit-sakitan. Aku tidak seberuntung Upit yang lahir sehat, aku terlahir dengan katup jantung yang tidak normal, sehingga kerjaanku hanyalah keluar masuk rumah sakit. Aku tidak bisa sekolah seperti anak-anak biasa, aku sekolah dirumah karena tubuhku sangat lemah. Tetapi Upit tidak pernah meninggalkanku karenanya, sejak kecil, setiap pulang sekolah dia selalu mengunjungiku ke rumah, berbagi cerita. Kami sudah seperti kakak adik yang sangat saling menyayangi. Dan itu berlangsung bahkan sampai Upit sudah hampir lulus kuliah di jurusan hukum yang sangat disukainya, sedangkan aku semakin sering menghabiskan waktuku di rumah sakit. Dalam setahun mungkin 7 bulannya aku habiskan di rumah sakit, dan hebatnya Upit tetap setia mengunjungiku, di sela-sela kesibukannya dia tetap selalu menyempatkan diri mampir di rumah sakit ketika aku di rawat.

Aku sebenarnya punya seorang kakak laki-laki yang tiga tahun lebih tua dariku, dulu di masa kecil kami lumayan akrab. Kak Bagas, aku dan Upit selalu bermain bersama-sama. Sebenarnya aku dan Upit yang bermain bersama dan kak Bagas yang bertugas menjaga kami. Tetapi bagaimanapun juga kami sangat akrab, Seperti tiga kakak beradik yang saling menyayangi.

“Kemarin kan kamu masih di Rumah Sakit toh Mario, kok tiba-tiba kamu nongol di sini, kapan kamu diperbolehkan pulang dari Rumah sakit? Kok aku nggak liat mobil om Marlon ya?”, Upit melongokkan wajahnya ke seberang jendela, ke arah rumahku berusaha mencari penampakan mobil papaku, tapi ini kan sudah jam 11 malam, dan diluar sudah gelap jadi yang tampak diluar hanya kegelapan pekat.

Aku mengangkat bahu,

“Kamu tidur kali pas aku pulang”,

Sambil terkekeh Upit melemparkan bantal ke mukaku,

“Sembarangan. Aku dari tadi siang berkutat di dapur sama mama, nyiapin makanan buat buka puasa tau !”, Suara Upit tiba-tiba berubah lembut, “Gimana hasil diagnosa dokter, Mario?, kemarin kak Bagas cerita kalau kamu harus operasi katup jantung yang ke dua kalinya... tapi katanya kamu nolak”

Aku memalingkan muka, menghindari tatapan Upit,

“Bisa nggak kita nggak ngomongin itu ? Aku capek.”

“Tapi kamu harus berani Mario”, Upit tetap melanjutkan tidak peduli dengan tubuhku yang menegang kaku, “Operasi itu kemungkinan suksesnya besar, kamu mungkin akan bisa sehat seperti sedia kala”

“Kemungkinan kesuksesan operasi itu Cuma 50:50”, sambarku getir, kutatap Upit tajam, berusaha menahan kegetiran, “Kamu nggak tahu betapa takutnya aku kalau harus mati di atas meja operasi.... “, aku nggak mau mati sebelum aku mengungkapkan betapa aku mencintaimu Pit, Desahku dalam hati. Tentu saja hanya dalam hati, aku sampai sekarang tidak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaan cintaku secara terang-terangan kepada sahabatku ini. Ya. Sudah sejak lama, mungkin sejak dulu aku mencintai Upit. Perasaan itu semakin berkembang seiring dengan bertambahnya usia dan bertambah lamanya kebersamaanku dengan Upit, dan kadang memendam cinta seperti ini terasa begitu menyakitkan.

Dan entah kenapa malam ini aku bersemangat. Bersemangat untuk menyatakan cintaku kepada Upit. Entah nanti aku akan diterima atau tidak, aku ingin mengungkapkan perasaanku. Di dalam kantongku ada sebentuk cincin mungil dengan ukiran bunga. Cincin yang indah, seindah perempuan di depanku ini. Kalau Upit mau menerima cintaku, aku ingin memberikan cincin itu kepadanya, dan mungkin aku berani untuk melakukan operasi katup jantung itu. Demi Upit.

“Tapi aku ingin kamu sehat Mario”, Mata Upit berkaca-kaca dan menatapku penuh perasaan, membuat lidahku kelu.

“Pit....”, suaraku bergetar ragu, “ Pit... kamu sayang enggak sama aku?”

Upit mengernyitkan kening lalu tersenyum,

“Ya tentulah aku sayang sama kamu, kita ini udah lebih dari sodara, kamu itu sangat berarti buatku Mario....”

“Bukan begitu.... maksudku....”

“Lagipula sebentar lagi kan kita akan menjadi saudara....”, gumam Upit penuh rahasia.

Pengakuan cinta yang tadi sudah di ujung lidahku terhenti seketika, aku menatap Upit bingung.

“Maksudnya...?”

Pipi Upit mulai bersemu merah ketika menatapku, lalu dia tersenyum malu-malu,

“Sebenarnya kami ingin merahasiakannya dulu Mario... tapi.. kamu kan bukan orang lain, jadi menurutku dia juga nggak akan marah kalau aku memberitahumu lebih cepat”,  Upit berdehem pelan, membuatku merasa gugup.

“Maksudnya...?”, rasanya aku seperti kaset rusak yang mengulang-ulang kata yang sama.

Upit memegang pipinya yang memerah,

“Kak Bagas melamarku, Mario... rencananya begitu aku menyelesaikan skripsi, kak Bagas mau melamarku ke Papa....”.

Senyum bahagia Upit bagaikan sembilu yang menusuk jantungku.

Sejenak aku terpana dan tidak bisa berkata-kata.

“Maksudmu.... kamu dan kak Bagas....?”, aku berusaha mencerna kenyataan ini, tetapi entah kenapa batinku menolak tak mau menerima, “Kapan...? Bagaimana....?”, tanpa sengaja jemariku meremas cincin mungil di sakuku, sampai tulang jemariku terasa sakit.

“Selama ini kami merahasiakannya ke kamu Mario, aku yang meminta kak Bagas melakukannya, habis aku malu dan takut kamu nanti menertawakanku habis-habiskan karena ahkirnya pacaran sama kak Bagas.... tapi Mario... sebenarnya sejak kecil aku sudah jatuh cinta kepada kak Bagas, dan sangat mengidolakannya, tak disangka kak Bagas juga menyimpan perasaan yang sama”, mata Upit bersinar, mata perempuan yang sedang dimabuk cinta.

Saat aku masih terpana membisu, Upit menyentuh lenganku dan meremasnya lembut,

“Aku senang Mario, kalau aku nanti menikah dengan kak Bagas, kita benar-benar bisa menjadi satu keluarga, Kamu tahu aku itu senang sekali menjadi kakakmu, kamu pasti juga senang kan kalau kita benar-benar menjadi kakak adik?

Lidahku kelu, dan hatiku hancur, tetapi tidak ada yang bisa aku katakan. Aku mematung membisu dalam patah hati yang luar biasa dalam.

Upit mengernyitkan keningnya menatapku,

“Mario? Kok kamu jadi pucat sekali?” Jemarinya menyentuh lenganku lagi, “Astaga kamu dingin banget !!! harusnya pulang dari rumah sakit kamu langsung istirahat bukannya kemari, pake manjat-manjat pohon segala....!”, dengan panik Upit mengambil selimut dan menyelimutiku, “Sebentar aku akan telephone kak Bagas untuk menjemputmu....”

Baru saja Upit hendak mengangkat ponsel, pintunya diketuk dengan keras. Lama-lama ketukannya semakin keras dan mendesak, 

“Siapa sih malam-malam begini ?”, Upit menggerutu dan melangkah ke pintu, lalu membukanya.

Kulihat kak Bagas berdiri di sana, wajahnya tampak pucat dan kuyu, rambutnya berantakan,

“Lho, kak Bagas? Kebetulan sekali, aku baru saja mau menelephone kak Bagas....”

“Pit, kita harus segera ke rumah sakit...”, Suara kak Bagas tampak serak penuh kepedihan.

Kudengar Upit tersentak kebingungan,

“Siapa yang sakit kak?”

Sedetik kulihat kak Bagas menatap Upit bingung, lalu menggelengkan kepalanya, air mata menetes pelan dari matanya, mengaliri pipinya,

“Mario Pit, satu jam yang lalu dia mendapat serangan, dan jatuh koma, dokter berusaha menyadarkannya. Tetapi dia tidak bangun lagi. Dia meninggal Pit....”

Kali ini aku dan Upit sama-sama tersentak. Upit menjerit kaget dan menatap kak Bagas tidak percaya,

“Tidak mungkin kak !!! Barusan saja aku dengan Mario....”, kulihat Upit menoleh ke ranjang, menatapku....

Tapi saat itulah kusadari bahwa yang dilihat Upit hanyalah ranjang kosong. Tak ada siapa- siapa di situ.
Kulihat Upit semakin pucat. Dan kemudian dia jatuh pingsan di pelukan kak Bagas yang segera menangkapnya. Suara-suara gaduh kemudian terdengar karena mama dan papa Upit menyusul ke atas.
Sementara aku masih duduk di ranjang itu, menatap tanganku sendiri yang sekarang menjadi tembus pandang. Dihantam kenyataan bahwa bahkan sampai ahkir hidupku, aku tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan yang telah kupendam sekian lama kepada perempuan yang kucintai.

Anganku melayang ke kotak kecil berisi cincin di laci kamarku yang tersimpan dengan baik di sana. Cincin itu tidak akan pernah di serahkan... tidak akan pernah tersampaikan. Aku memejamkan mata dengan setetes air mata bergulir, sebelum semuanya menjadi kabur dan lenyap

Selesai 

13 komentar:

  1. Haloo :D lama tak berkunjung ke sini :)

    BalasHapus
  2. Oh tangan mungil terangkai jemari lemah
    menggurat sajak-sajak sendu
    cinta-cinta muram
    temaram
    di belahan jiwa sebelah sini
    sudah lama sepi
    Ku tengok ke lawang sebelah sana
    lajang-lajang cantik tak lagi percaya cinta
    cinta hanya ada di awan
    tempat dewa dewi bersemayam
    dihambakan manusia yang tetap bodoh akan cinta...

    Sekarang cinta berembus di tiap sudut kota hingga ke desa
    bisa tertukar dengan lembaran merah muda hingga avanza

    Oh dewa...gapailah jemari lemahku
    Oh dewi, sentuhlah tangan mungilku
    Ajaklah aku bersemayam di lingkung cinta
    Aku rindu cinta...
    Cinta yang menyeruak tanpa syarat
    Cinta yang menyeretku dalam ketidakpastian
    tak apa
    toh aku hanya sebentar hidup
    hidup sebentar janganlah tanpa cinta

    BalasHapus
    Balasan
    1. dan selalu seperti biasa
      seperti biasa alunan kata-katamu
      kata-katamu semakin dan semakin membuatku yakin
      membuatku yakin ada sebentuk cinta di sana
      cinta di sana menunggu untuk kurengkuh
      cinta di sana menunggu untuk kumiliki

      Hapus
    2. Ah tak perlu repot2 kau rengkuh
      tak perlu berusaha untuk kau miliki
      lihatlah ke dalam dan ubahlah kata di sana dengan di sini
      karena cinta itu ada di situ
      cinta itu sudah ada lama di hatimu
      kuselipkan disana bahkan kaupun tak sadari
      biarkan dia disana ya...
      please...

      Hapus
    3. kalimat terahkirmu itu
      mengingatkanku pada suatu malam dalam lelapku
      saat larut berdentang lewat pukul satu
      kau, lelaki terindahku dan aku berbaring dalam peluk
      lalu kau tatap aku sendu, denyut jantungmu berpacu
      berbisik suaramu menggantung syahdu :

      "undaa undaaa mau cempedak goreng pleaseeee..."

      kukerjapkan mata tuk singkirkan kunang-kunang menyerbu
      hatiku ragu ini nyata atau hanya kembang tidurku?
      lalu kuputuskan bahwa ini hanya sekian dari mimpi2ku yang tak berujung
      dan kupejamkan lagi mataku larut dalam selimut dan tertidur
      tinggalkanmu termenung dengan tatapan pilu

      *hehehehe muach*

      Hapus
  3. aduh, sakit banget. Malah tahu kebenarannya di akhir hayat..
    Mendingan sekalian nggak tahu aja ya...

    *terinspirasi,aku mau ngungkapin cintaku sebelum mati ah,do'a-kan aku* hahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe lakukan selagi ada kesempatan
      *sambil dorong2 faril*
      :D

      Hapus
  4. Cinta yang tak tersampaikan.. Sungguh perih.. :'(

    BalasHapus
  5. ceritanya bagus,menyedihkan ya,ga sempat ngungkapin perasaannya ya.

    BalasHapus
  6. ya ampun berasa jantung ini diremas-remas

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus