Rabu, 21 November 2012

KASIH


 
Pram pernah menginginkan kehadiran Kasih, sangat mengharapkannya. Tetapi sekarang tidak lagi. Pram tidak menginginkannya. Tidak, kalau Lena sudah tidak ada lagi di sisinya…

 
 
 
 
 
Semua yang ada di ruangan itu tampak tegang, wajah-wajah kelelahan yang tidak tidur semalaman, dan sekarangpun mereka belum bisa tidur. Pram terdiam, menatap lampu di atas ruangan operasi. Lampu itu masih menyala merah, pertanda operasi masih berlangsung. Delapan jam operasi yang melelahkan, dan Lena, mungkin masih terbaring pucat disana, membiarkan para dokter membelah perutnya yang rapuh itu. Bayangan itu membuat perutnya bergolak dan Pram merasa mual. Tentu saja, dia tidak makan apa-apa sejak tadi, hanya secangkir kopi yang sempat mengisi perutnya, dan semua ketegangan ini membuat asam lambungnya naik.

Segalanya terasa baik-baik saja tadi, bahkan Pram tidak pernah memimpikan saat-saat ini akan ada. Mereka pasangan yang bahagia, mereka menikah setahun yang lalu, setelah masa pacaran yang panjang. Pram dan Lena seperti sudah menjadi sepasang kekasih seumur hidupnya. Mereka mengenal sejak kecil, menghabiskan waktu bersama sejak kecil, dan saling mencintai sejak kecil.
 
Mereka dibesarkan dengan pengetahuan bahwa mereka akan menikah suatu hari nanti, dan itulah yang terjadi, pernikahan yang bahagia, pasangan yang saling mencintai, dan berkah yang luar biasa besar dengan kehamilan Lena hanya beberapa bulan setelah pernikahan mereka. Pada awalnya semua sangat membahagiakan, sampai saat Lena mengalami pendarahan-pendarahan yang makin lama makin parah seiring dengan bertambahnya usia kehamilannya. Plasenta bayinya terletak di tempat yang tidak semestinya, sehingga kondisi janin sangat rapuh, hal itu juga mempengaruhi kondisi sang ibu, yang semakin pucat dan lemah seiring dengan perutnya yang semakin besar. Saat usia kehamilannya mencapai tujuh bulan, Lena harus berbaring seharian di tempat tidur, aktivitas seringan apapun bisa memacu pendarahan yang membahayakan bayinya, dan dirinya.

Pram sangat cemas, tetapi Lena sangat optimis, dia begitu bersemangat, dia begitu mencintai sang calon bayi dan selalu berusaha menenangkan ketakutan-ketakutan Pram akan kondisi Lena. Setiap malam, di tempat tidur mereka, ketika Pram memeluk Lena dengan perutnya yang mulai membuncit. Lena akan mengelus pipi Pram dengan senyumnya yang teduh,

“Aku baik-baik saja sayang”, dengan lembut jemari itu menyentuh alis Pram dan kerutan di dahinya, berusaha menghilangkan kerutan itu, “Kau harus percaya kepadaku, kami berdua baik-baik saja di sini”

Pram mendesah, dia tidak mencemaskan bayi itu, dia mencemaskan Lena, bayi itu lebih baik tidak ada kalau dia membahayakan kesehatan Lena. Tapi Pram memilih untuk tidak mengungkapkan pemikirannya, itu hanya akan membuat Lena terluka karena Lena sangat menyayangi bayi dalam perutnya itu, dan pemikiran bahwa Pram sama sekali tidak keberatan kehilangan bayi itu asalkan Lena baik-baik saja pasti akan sangat melukai isterinya.

“Kau lebih sering mengalami pendarahan ahkir-ahkir ini, dan dokter menyuruhmu berbaring seharian di tempat tidur, bagaimana mungkin aku tidak mencemaskanmu?”, bisik Pram serak.

Lena tersenyum dan menyentuhkan jemarinya ke bibir Pram, membiarkan Pram mengecupnya,

“Aku tidak keberatan berbaring seharian di ranjang demi anak kita”.

Dengan putus asa Pram mencoba mempererat pelukannya kepada tubuh rapuh itu,

“Aku tidak akan bisa tahan kalau harus kehilanganmu Lena…”, suaranya menghilang ditelan emosi, membuat Lena segera merengkuhnya lembut,


“Aku akan baik-baik saja Pram, kau tidak akan kehilanganku, aku berjanji.”

Dan sekarang Pram mulai meragukan janji itu. Kemarin sore, ketika akan ke kamar mandi, Lena terpeleset, jatuh di lantai kamar mandi dan mengalami pendarahan hebat, pembantu menemukannya hampir setengah jam setelah Lena terjatuh, terbaring tak sadarkan diri di sana dan kehilangan banyak darah.

Seperti orang gila Pram menyusul ke rumah sakit, hanya untuk menemukan bahwa Lena sudah masuk ke ruang operasi dan dia tidak boleh melihatnya,

“Anda tunggu saja di sini, kami akan berusaha menyelamatkan bayinya”, Seorang dokter senior yang sudah mengenakan pakaian operasi menepuk bahunya, berusaha menenangkan Pram yang tampak begitu pucat pasi,

“Aku tidak peduli dengan bayinya !!! selamatkan isteriku !! dia harus hidup !!”, Pram berteriak seperti orang gila, mengiringi dokter itu masuk ke pintu ruangan operasi yang segera tertutup di belakangnya.

Sudah delapan jam berlalu, dan pintu operasi itu masih belum terbuka.

Pram menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap lelah ke sekelilingnya, kedua orang tuanya duduk disana, berikut kedua orang tua Lena, mereka tampak sama menyedihkannya dengan Pram, pucat, kusut dan penuh kecemasan luar biasa. Dengan sedih Pram menatap ke langit-langit, berusaha menyingkirkan ketakutan-ketakutan yang mulai membayangi pikirannya.

Lalu pintu ruang operasi itu terbuka, seketika itu juga Pram berdiri, diikuti seluruh keluarganya, Dokter operasi yang sebelumnya masuk dengan wajah segar dan optimis kini tampak lelah dan tak bersemangat, dia menyalami Pram dengan lembut,

“Selamat Tuan Pram, Puteri anda lahir dengan selamat meskipun prematur, dia bayi yang sangat cantik dan begitu kuat”,

Pram tidak peduli, bukan itu yang ingin didengarnya.

“Bagaimana dengan isteriku?”

Bahkan sebelum dokter itu mengucapkannya, dia sudah tahu, hanya dengan melihat sorot kesedihan di mata dokter itu, dia sudah tahu…

“Maafkan kami Tuan Pram, kami sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi isteri anda tidak dapat diselamatkan, dia kehilangan banyak darah, kami lalu memfokuskan untuk menyelamatkan nyawa kecil di dalam perutnya, sebelum kami kehilangan kedua-duanya, maafkan kami…..”

Dokter itu tidak sempat melanjutkan kata-katanya karena Pram menghantamnya dengan keras, tubuhnya merangsek maju dengan brutal, sehingga dua perawat pria yang dibantu petugas keamanan langsung meringkusnya

Pram meronta-ronta seperti orang gila, berusaha menyerang dokter itu, matanya nyalang penuh keinginan membunuh,

“Kenapa tidak kau selamatkan isteriku ?? aku tidak butuh anak itu !! aku butuh isteriku !! Lebih baik kau bunuh saja bayi itu, karena aku tidak menginginkannya, dia membunuh isteriku !!!”

***

Pram menatap ke balik kaca, sosok bayi kecil yang tertidur dalam kotak inkubator. Pram sudah tenang sehingga ibunya membiarkannya menengok ke ruang bayi, berharap agar Pram mengubah pikirannya tentang si bayi.

“Dia bayi yang kuat bukan?”, Ibunya menatap ke balik kaca, ke arah cucunya dengan penuh kasih.

Pram hanya terdiam, tidak mengatakan apa-apa. Bagaimana bisa monster pembunuh yang begitu kejam bersembunyi dibalik sosok yang begitu lemah? Bayi itu sangat mungil, dia tidak cantik, kulitnya keriput dan matanya terpejam. Sosok itu tampak rapuh, tapi Pram tahu, dibalik kerapuhan itu, tersembunyi kekuatan besar yang telah merenggut nyawa Lena, isteri yang sangat dicintainya.

Ibumu sangat mencintaimu. Tetapi kau begitu tega merenggut nyawanya dengan kehadiranmu.

Pada saat Pram membawa pulang jenazah isterinya dan memakamkannya, dia berdiri di depan tanah yang masih merah itu, mengucapkan sumpah dalam hatinya.

Lena, kau selalu hidup di dalam hatiku, dan kini saat kau meninggalkan dunia ini, hatiku akan ikut mati bersamamu. Kau bisa pegang sumpahku ini.

***

Tujuh tahun telah berlalu dan si bayi prematur itu telah tumbuh menjadi anak yang cantik, dia diberi nama Kasih, nama yang sudah disiapkan ibunya lama sebelum dia dilahirkan. Kasih tinggal bersama kakek dan neneknya yang sangat mencintainya. Namun begitu, sebuah pertanyaan selalu muncul di dalam hatinya, sebuah pertanyaan bocah kecil yang polos, yang hanya menginginkan kejujuran,

“Kenapa Papa tidak pernah menengokku, nenek? Apakah dia tidak merindukanku?”

Dan sang nenek akan memandangnya dengan pedih, lalu memalingkan muka.

“Papamu orang yang sangat sibuk sayang, dia sering berpergian ke luar negeri dan jarang pulang, nanti kalau dia sudah bisa menyisihkan waktu, dia pasti akan menengokmu”, rasa bersalah muncul di hati sang nenek setiap kali dia membohongi kasih dengan harapan semu, tetapi Kasih masih terlalu kecil untuk menanggung kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri sangat membencinya, dan menyalahkannya atas kematian ibunya, sang Nenek menenangkan hati bahwa apa yang dia lakukan sekarang adalah menyelamatkan kasih dari luka hati,

Kasih menatap foto kedua orang tuanya di pigura kecil berbentuk hati, pigura foto itu selalu dibawanya kemana-mana karena dia memang tidak pernah merasa memiliki orang tua yang sesungguhnya. Mama yang dia ketahui, hanyalah dia kenal lewat foto-foto dan cerita kenangan dari kakek dan neneknya.
 
Sedangkan Papanya, Kasih bahkan hanya mempunyai sedikit ingatan tentangnya, sosok lelaki dingin yang tidak mau melihatnya, dan kunjungan singkat sang papa yang begitu kaku, sama sekali tidak membantunya untuk membuat ingatan kenangan tentang Papanya, bahkan hari-hari ulang tahunnya berlalu tanpa ucapan dari sang papa.
 
Kasih tidak tahu bahwa hari ulang tahunnya merupakan peringatan paling menyakitkan dari Pram. Itu adalah hari dimana isteri yang sangat dicintainya direnggut paksa dari sisinya. Kasih sama sekali tidak paham itu, dia hanyalah seorang anak, dengan pemikiran anak-anak, yang hanya ingin dicintai oleh orangtuanya. Dan seminggu lagi, kasih akan merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh, seperti impian-impian sebelumnya yang tidak pernah terkabul, ia hanya ingin papanya datang di hari ulang tahunnya.

“Nenek, apakah papa akan datang di hari ulang tahunku nanti?”, Kasih tahu pertanyaannya mengganggu sang nenek, karena ekspresi wajah neneknya langsung berubah sedih. Tapi dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

Sang Nenek mengalihkan pandangan dari buku yang dibacanya dan mengusap rambut Kasih dengan lembut,

“Nenek akan berbicara dengan papamu, semoga dia bisa meluangkan waktunya ya”

Pancaran bahagia yang berkilauan di mata Kasih membuat hati sang nenek mencelos, karena dia tahu, pancaran mata itu akan hilang begitu dia dikecewakan seperti tahun-tahun sebelumnya, dan anehnya itu tidak pernah membuat Kasih berhenti berharap. Setiap tahun Kasih masih terus memohonkan kehadiran papanya di hari ulang tahunnya, dengan kepolosan anak-anak yang tidak mengerti kenapa sang Papa tidak menginginkannya,

***

“Ibu mohon, sekali ini, hadirlah di pesta ulang tahun Kasih, dia sangat mengharapkanmu”, Liana menatap Pram dengan penuh permohonan. Hari ini dia menyempatkan diri mengunjungi Pram di kantornya. Itulah satu-satunya cara menemui putra semata wayangnya ini sekarang, karena Pram jarang sekali ada di rumah, dia selalu berpergian ke luar kota untuk keperluan bisnisnya, seolah-olah putranya itu tidak tahan berada satu kota dengan Kasih.
 
Dan jika Pram ada di rumah, maka sudah pasti dia tidak mau mengunjungi rumah kedua orang tuanya. Tujuh tahun sudah berlalu, tetapi Pram menghindari Kasih seperti menghindari wabah cacar yang menular, dan itu sangat menyedihkan, bukankah Kasih adalah anak kandungnya? Anak semata wayangnya, buah cintanya dengan isteri yang sangat dicintainya? Selama ini Liana diam saja melihat perlakuan Pram kepada Kasih, berharap naluri kebapakan Pram akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu, tetapi harapannya itu tidak pernah terwujud, bukannya bisa mengubah sikap menjadi menyayangi Kasih, anaknya itu malahan semakin lama semakin menjauh dan menghindari putri kandungnya sendiri.

Pram duduk di belakang meja kerjanya yang besar dan memandang sang ibu diseberangnya dengan dingin,

“Bukankah aku sudah mengirimkan uang untuk merayakan pesta ulangtahunnya secara besar-besaran setiap tahun? Tidakkah itu cukup untuknya?”

Liana memperhatikan bahwa Pram bahkan menghindari untuk menyebut nama anaknya, dan itu terasa sangat menyedihkan,

“Dia menginginkan kehadiran papanya, Pram. Dia sudah semakin besar dan sudah bisa berpikir kenapa Papanya tidak pernah menemuinya, kau pikir ibu tidak sedih ketika dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentangmu?”

Rahang Pram mengeras, dia tidak suka di desak, dia tidak suka membicarakan tentang Kasih. Dia ingin semua keadaan tetap seperti ini dimana dia dan Kasih sebagai individu yang terpisah, tidak perlu berhubungan sama sekali. Oh, bukannya dia tidak ingin tahu, pernah suatu kali rasa ingin tahu mendorongnya melakukan perbuatan yang disesalinya, pernah dia mengemudikan mobilnya diam-diam dan parkir di sudut tak terlihat di depan sekolah Kasih, lalu dia melihat anak itu, sialnya, Kasih bagaikan pinang dibelah dua dengan Lena, semua yang ada di diri kasih mengingatkannya kepada Lena, dan itu menyakiti hatinya sampai ke dasar.
 
Siang itu Pram pulang ke rumah, mabuk-mabukan, merasakan hatinya dihancurkan untuk kesekian sekalinya. Lalu dia bersumpah, dia tidak akan membiarkan dirinya tergoda untuk melihat Kasih lagi, sudah cukup hatinya hancur terberai, tak akan dibiarkannya kesakitan yang sama menderanya lagi. Pram membenci Kasih, anak itu seharusnya tidak pernah dilahirkan. Kalau saja Pram tahu bahwa kehamilan Lena akan membunuhnya, Pram tidak akan pernah membiarkan Lena hamil. Lebih baik dia hidup tanpa anak, daripada kehilangan Lena.

“Jangan paksa aku ibu, aku tidak bisa”, suara Pram terdengar dingin dan dia berpura-pura menyibukkan diri dengan tampilan data di layar komputernya.

“Pram, kau tidak bisa selamanya seperti ini. Kasih adalah putri kandungmu, kau adalah ayahnya, kau bisa menyangkal segalanya, tetapi garis darah adalah sesuatu yang tidak bisa disangkal, ibu ingin kau menyadari ini, menghilangkan semua kebencianmu dan berusaha menyayangi Kasih seperti seharusnya seorang ayah menyayangi puterinya, kau tidak bisa terus menyalahkan Kasih atas kematian Lena, kematian Lena adalah takdir yang digariskan Tuhan, dan kau tidak akan pernah bisa menyangkal takdir”.

“Aku akan melakukan apapun yang aku mau. Lagipula Apa tidak cukup aku memberikan pembiayaan yang melimpah untuk mencukupi kehidupan anak itu? Dan itu sudah melebihi batas toleransiku, aku tidak bisa melakukan lebih, seperti yang ibu harapkan”

“Pram !”, suara Liana meninggi menanggapi kekerasan hati anak laki-lakinya, “Kasih sangat mencintaimu, ingatlah itu, meskipun perlakuanmu begitu kejam kepadanya, dia mencintaimu… dia….”

“Ibu”, suara dan ekspresi Pram tampak begitu tersiksa, hingga Liana menghentikan kata-katanya, “Tolong jangan paksa aku, aku tidak bisa… aku tidak akan tahan lagi”, kepedihan dalam suara Pram menyuarakan hatinya yang sudah terkoyak hancur sehingga mau tak mau Liana merasa terenyuh. Kematian Lena sudah tujuh tahun berlalu, dan putranya itu masih patah hati.

“Maafkan ibu Pram, ibu mencintai kalian berdua, karena itu ibu melakukan ini, ibu hanya ingin kalian berdua bahagia”

“Kalau begitu biarkan keadaan tetap seperti ini”, gumam Pram dengan suara memohon, sekaligus menutup pembicaraan.

Malam itu Pram berkemas, dia menugaskan dirinya sendiri untuk melakukan perjalanan bisnis ke Jepang selama dua minggu. Pergi jauh-jauh dari anak itu dan hari ulang tahunnya. Hari dimana anak itu membunuh Lena, isterinya.

***

“Jadi papa tidak akan datang?” , kesedihan di suara kekanak-kanakan itu mengiris hati Liana, dia mengelus kepala cucu perempuannya itu, semakin bertambah umurnya, Kasih semakin menyerupai Lena, mungkin itu juga yang membuat Pram tidak tahan melihatnya, tetapi Kasih adalah pribadi yang berbeda dengan Lena, dia lebih ceria, dan dia lebih lincah, senyumnya seperti matahari yang membawa kebahagiaan dimana-mana. Seandainya saja Pram sadar, bahwa luka hatinya mungkin akan tersembuhkan ketika dia mau menerima kehadiran Kasih,

“Tapi papa bilang dia akan mengirimkan hadiah untukmu”, Liana mendesah dalam hati. Pram tidak pernah lupa mengirimkan hadiah. Tetapi hadiah itu tidak pernah diberikan secara personal. Pram selalu memberikan uang kepada Liana, dan Lianalah yang membelikan hadiah untuk Kasih dan menuliskan nama Pram di kartunya. Sangat menyentuh ketika melihat binar bahagia di mata Kasih ketika menerima hadiah yang dikiranya dari papanya.

Kasih memeluk neneknya erat-erat.

“Kasih ingin bertemu papa, nek… kenapa semua anak lain bisa selalu bersama papanya, tetapi Kasih bahkan tidak bisa bertemu papa Kasih sendiri?”

Liana memeluk Kasih erat-erat, dan mengecup puncak kepala cucu kecilnya itu,

“Bersabarlah nak, semoga papamu akan punya waktu untukmu suatu saat nanti…”, suaranya tercekat ketika merasakan betapa dinginnya tubuh Kasih, anak itu sudah setengah lunglai di pelukannya,

“Astaga Kasih, badanmu dingin sekali…. Kau sakit..???”, suara Liana berubah menjadi teriakan panik dan ketakutan.

***

Pram sedang duduk di sofa hotelnya setelah pertemuan yang melelahkan dengan mitra bisnisnya. Dia menatap pemandangan ke luar jendela, musim gugur sudah hampir berahkir di Jepang dan udara mulai dingin di luar, sedingin hatinya. Hari ini adalah hari ulang tahun anak itu. Pram sudah berusaha melupakannya, tetapi entah kenapa dia selalu mengingatnya. Hatinya yang penuh dendam selalu mendorongnya untuk mengingat hari ini sebagai hari pembunuhan yang dilakukan anak itu kepada isterinya. Tetapi entah kenapa selalu ada suara berbisik di sisi lain hatinya, mengatakan kebenaran yang tak terbantahkan. Hari ini adalah hari ulang tahun anaknya, dan dia seharusnya ada di sisi anaknya, ikut merayakan bersamanya.

Tetapi bisakah dia ? Pram memikirkan kemungkinan itu dan perasaannya terasa pedih, bisakah dia merayakan hari kelahiran anak itu? Bukankah itu sama saja dengan merayakan hari kematian isterinya?

Tiba-tiba ponselnya berdering. Pram meliriknya dan melihat nama ibunya di LCD. Dia mendesah, apa yang ada di pikiran ibunya? Menelfonnya pada saat ini? Apakah ibunya akan memaksanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada anak itu?

Pram membiarkan ponsel itu berdering tanpa mengangkatnya, tetapi ibunya di sana rupanya sangat keras kepala, sejenak Pram tergoda untuk mematikan ponselnya, tapi dia lalu sadar kalo hal itu terkesan kekanak-kanakan untuk lelaki seumuran dia. Dengan enggan diangkatnya telephone itu.

”Ibu?”

Suara panik disana bahkan tidak menunggu Pram menyelesaikan sapaannya,

“Kau harus pulang sekarang, Kasih masuk rumah sakit. Kondisinya kritis, katup jantungnya bermasalah. Kau harus pulang sekarang Pram, mungkin ini satu-satunya kesempatanmu melihat putrimu, kau akan menyesal kalau tidak melakukannya”, suara tangis ibunya terdengar makin keras di seberang sana, dan hubungan telephone tertutup.

Sepuluh menit kemudian, Pram masih duduk disana, menatap layar ponselnya seperti terhipnotis, berusaha mencerna kata-kata ibunya. Dan ketika dia mengerti semuanya, jantungnya berdegup begitu kerasnya. Apakah mungkin ini salah satu taktik ibunya agar dia mau menemui anak itu? Tapi tidak, ibunya tidak pandai berakting, dan tangis yang didengarnya tadi benar-benar tangis panik yang penuh kesedihan. Lagipula ibunya tidak akan berbohong untuk hal-hal segenting ini.

Kemudian, didorong oleh kekuatan yang tidak diketahuinya, Pram menekan nomor telephone sekertarisnya,

“Iya Pak Pram?”

“Carikan aku penerbangan pertama ke Jakarta sekarang juga!, putriku sakit parah”

***

Lorong rumah sakit yang sama, dan Pram melangkah dengan hati-hati. Setiap langkah seperti membawa kepedihan ke dalam hatinya. Sejak kematian Lena, Pram selalu menghindari Rumah Sakit. Dan ini adalah rumah sakit yang sama tempat Lena meregang nyawanya saat itu, hanya sekarang Pram diarahkan ke bagian anak-anak.

Kedua orang tuanya ada disana, juga orang tua Lena. Wajah-wajah cemas yang sama seperti malam itu, sejenak Pram merasakan keironisan yang menggelikan. Kenapa Tuhan mengumpulkan mereka di tanggal yang sama dan tempat yang sama seperti malam itu?

Liana langsung menghambur ke pelukan Pram begitu melihat anaknya, tangisnya tak tertahankan.

“Katup jantungnya bermasalah Pram. Kita sudah tahu ketika pertama kali Kasih dikeluarkan dari incubator, bahwa katup jantungnya tidak normal, tetapi selama ini Kasih tampak baik-baik saja, dan tadi dokter mengatakan bahwa kondisi Kasih sangat mengkhawatirkan”, suara Liana pecah, “Dia… dia mungkin tidak akan bertahan… anak sekecil itu…”

Pram menatap ke arah kamar tempat Kasih dirawat tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya dia senang? Mungkin Tuhan memberikan pembalasan dendam yang terbaik untuknya, anak itu, yang telah membunuh isterinya, akan mati. Tetapi mengapa jantungnya serasa diremas sampai ngilu? Kenapa rasanya begitu sakit memikirkan anak itu akan dicabut nyawanya dari dunia ini?

Dengan tenang dia melepaskan diri dari pelukan Ibunya, dan melangkah masuk ke dalam kamar perawatan itu. Semuanya membiarkannya, seakan-akan memberikan kesempatan kepada Pram untuk berdua saja dengan Kasih. Kesempatan yang mungkin menjadi saat pertama dan terahkirnya.

Pram duduk di tepi ranjang, matanya masih tidak berani menatap ke arah ranjang anaknya, tatapannya terpaku kepada tangan mungil itu, yang ditusuk dengan jarum infus dan selang selang lain yang terhubung dengan alat elektronik yang memonitor detak jantungnya. Tangan itu kurus sekali, dan terlihat begitu rapuh, dengan takut-takut, Pram menyusuri pandangannya dari tubuh mungil yang terbungkus selimut itu, naik ke wajah kecil yang terpejam itu.

Seketika itu juga dadanya terasa ditinju.

Itu adalah versi mungil dari Lena, yang dicintainya. Versi mungil yang lebih montok dan lebih kekanak-kanakan, tetapi sudah jelas menunjukkan kalau dia adalah anak Lena…. dan anaknya. Bibir itu jelas-jelas diturunkan darinya. Bibir penuh yang menipis tegas kalau marah. Anak ini adalah putrinya, darah dagingnya.

Pikiran Pram melayang ke masa-masa sebelum anak itu lahir. Masa ketika dia memeluk erat Lena dan menciumnya berkali-kali setelah mendengar diagnosa positif hamil dari dokter, masa dimana dia dengan manja meletakkan kepalanya di perut Lena, memejamkan mata dengan damai, dekat dengan bayinya dan menikmati elusan tangan Lena di kepalanya. Masa dimana dia menciumi perut Lena dan menangis bahagia ketika merasakan tendangan pertama sang bayi. Masa dimana dia dan Lena berbaring bersama, dengan segenap impian calon orang tua, mencari-cari nama bayi, membayangkan bagaimana mereka akan mendidik anak mereka nanti.
 
Anak itu diciptakan dengan penuh cinta dalam pelukannya dengan Lena, anak itu dikandung dalam kebahagiaan dan cinta kasih semua orang tua yang menantikan kehadiran calon bayinya. Anak itu adalah hasil dari cinta yang tulus antara dia dengan isterinya, dan dia dengan kejam menolaknya, tidak mau melihatnya, tidak mau mengakui hubungan darahnya. Salah apakah anak ini sampai dia tega menghakiminya atas perbuatan yang tidak dia lakukan? Demi Tuhan!, anak ini baru berusia tujuh tahun!

Tangan Pram gemetar ketika dia menggenggam jemari Kasih yang begitu rapuh,

“Kasih”, nama itu terucap di bibirnya bagaikan mantra, nama yang selama ini bagaikan sesuatu yang tabu dan terlarang untuk terucap dari bibirnya selama tujuh tahun, dan sekarang ketika dia berhasil mengucapkannya, nama itu seolah mengalir tak mau berhenti, “Kasih… Kasih”, air mata mengalir dari mata Pram, membasahi bibirnya yang gemetar. “Kasih, ini papa nak, ini papa….”, Pram menyadari betapa dia akan menanggung penyesalan seumur hidupnya kalau sampai dia tidak punya kesempatan lagi untuk melihat mata anaknya terbuka, untuk memeluk tubuh mungil itu, untuk meminta maaf kepadanya, untuk membiarkan bibir mungil itu memanggilnya ‘papa’

“Maafkan Papa nak, selama ini papa tidak pernah ada untukmu. Kau adalah buah cinta dari mamamu, dan papa menelantarkanmu”, Pram meremas tangan kasih, “Berjuanglah nak, beri papa kesempatan untuk menebus semuanya, papa akan berusaha sekuat tenaga agar kau sembuh, ada dokter-dokter di luar sana yang pasti bisa menyembuhkanmu, papa tahu itu. Tetapi sekarang papa mohon kepadamu untuk berjuang, bertahanlah, sadarlah nak, berilah papa kesempatan untuk menyayangimu, yang tidak pernah bisa papa lakukan selama tujuh tahun ini…”

Pram menatap Kasih penuh kesempatan, tetapi putri mungilnya itu tetap terbaring pucat tak bergeming, seperti puteri tidur yang tak ingin bangun lagi.

Sebuah tangan meremas bahunya lembut, Pram mendongak dan melihat Liana berdiri di sampingnya, wajahnya penuh air mata, tetapi senyumnya penuh dukungan.

“Dia tidak mau bangun ibu”, suara Pram pecah, “Mungkin dia bahkan tidak mengenali suaraku”

Liana menggelengkan kepalanya,

“Dia pasti mendengar suaramu, meskipun dia tidak sadar Pram, hanya kaulah yang disayanginya selama ini, kau tahu, dia selalu membawa-bawa fotomu, kisah tentangmu adalah dongeng pengantar tidurnya, dia mencintaimu dengan sepenuh hatinya”

Pram meremas tangan mungil yang lunglai itu, hatinya teriris mendengar kata-kata Liana, Sungguh tidak adil, selama ini dia menolak putrinya sendiri, memperlakukannya seperti musuh, dan gadis kecil ini tetap mencintainya, sungguh dia tidak pantas dicintai seperti itu. Tuhan memang pantas menghukumnya, tetapi bukan dengan mengambil Kasih darinya, dia tidak akan tahan kalau harus kehilangan Kasih sebelum dia bisa menunjukkan kepada anak itu betapa dia mencintainya.

“Kau anak yang kuat Kasih”, Pram mengecup jemari mungil itu, “Waktu itu kau terlahir dengan bobot kurang dari bayi normal, kulitmu keriput dank kau jelek sekali”, Pram tertawa di antara tangis, “Tapi kau anak yang kuat, kau bertahan dan kau mengalahkan semuanya, kau bahkan mengalahkanku….. dan untuk sekarang ini, papa mohon, berjuanglah nak, bertahanlah, papa berjanji akan melakukan apapun untuk membuatmu sehat lagi”

Pram menatap Kasih, dan anak itu tetap terdiam tak bereaksi, tangisnya pecah dan dia membenamkan kepalanya ke pinggiran ranjang, hatinya hancur dan dia hanya bisa meratap.

Sampai kemudian dirasakannya tangan rapuh itu menyentuh kepalanya, dengan takut-takut Pram mengangkat kepalanya dan bertatapan dengan mata bening itu. Mata yang sama dari perempuan yang dulu pernah dicintainya sepenuh hati, mata putri semata wayangnya,

“Papa?”,

Suara lemah itu bagaikan alunan musik ditelinganya, dan hati Pram meledak dipenuhi oleh rasa syukur dan bahagia.

Terimakasih Lena, terimakasih telah meninggalkan malaikat kecil ini untuk kucintai. Aku akan menjaganya. Kau boleh pegang sumpahku ini.

The End

24 komentar:

  1. sedih bacanya........., oh y mba' verna dam hujan part 3 nya kapan ya di share. penasaran....

    BalasHapus
    Balasan
    1. dear Enik... iyaa enik, verna dan hujan lagi di revisi endingnya, kmrin ditarik lagi pas mau diposting heee tungguin yah,
      oh iyaa...mungkin besok sinopsis sleep with the devil dan epilog arsas sudah bisa diposting di www.portalnovel.blogspot.com

      Hapus
  2. sedih banget, sampai nangis jadinya :'(

    BalasHapus
  3. bener bener sedih banget sampe terisak isak...T_T

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaa kok jadi banyak yang nangiiisss maafkan akuuu hiks hiks

      Hapus
  4. mbae yg cantik, aku udah baca nih seperti biasa air mata g bisa berenti, apalagi gebayangin perjuangan seorang ibu, for all mam in the world, love u mom , special for my mom....
    asyik vernanya udah mw diposting tpi cuma 3 bab yah mba....
    SWTD kpn naik cetaknya mba? hehehe udah g sabar....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Fathyyy aku selalu membuatmu menangis ya huhuhu maafkan akuuu :D yup betul seorang ibu yang bahkan sebelum anaknya lahir sudah mencintainya sepenuh hati heeee :D

      Hapus
    2. nangisnya seneng sedih pokoknya nano2 deh mba...
      waduh komen mba santhy lebih sedih lagi, jd inget seira hiks, *knp jadi aku yg sedih minta peluk mba santhy ah hehehe..
      mba vernanya kpn??

      Hapus
    3. iya nih, vernanya sempet diposting tp di tarik ke draft lagi ada koreksi di endingnya heee tungguin yaaah ;)

      Hapus
    4. selalu ditunggu mbakku cantik...
      btw aku pinjem nama yah mba....

      Hapus
    5. iyaaa deaaaar hehehe ;) pinjem namanya siapa fathy?

      Hapus
    6. pinjem namanya mba santhy :)
      boleh y mba....

      Hapus
  5. hiks, kisah pendek penuh makna..
    bikin aku berkaca-kaca..
    mbak santhy pinter bgt merangkai kata-kata, merasuk hingga ke jiwa.. ciyus mbak, sumpah, ga o ong..

    lagi dong mbak, lagiiiiiiiiiiiii..
    *ketagihan
    yg sweet mbak, percintaan gitu :D
    *dijewer mbak santhy krna banyak maunya, hehehe..
    piiiiiiiiss mbak ^^V

    BalasHapus
    Balasan
    1. Merryyyy waaah kata-kata merry bagus bangeetttt "merasuk hingga ke jiwa" hihihihihi
      iyaaaah aku akan tampilkan kisah percintaan nanti yaah *pas lihat koleksi cerpen berkerut sendiri dahinya krn banyak kisah tragedinya* hihihihi

      Hapus
  6. @silaa : waa jangan menangis lagiii *peluk erat sambil kasih tissue* hehehe

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. mb stiap ceritamu menguras habis air mataku
    hwuaaaaaa...:(

    BalasHapus
  9. mbak..tanggung jawab...tisuku habis gara2 baca cerita ini..
    huwaaaa...huhuhu #mewek

    BalasHapus
  10. huhuhumasa tiap hari mesti nangis gini
    aduhhh mbak santhy,gimana ini

    tapi makasih mbak
    di tunggu cerita yang lebih menguras air mata
    #padahal ini aja dah nguras air mata?

    BalasHapus
  11. aaaaaaaaaa sedih bangeeeeettt.. sampe sesenggukan bacanya :(
    cerita" mba santhy emang selalu bkin terharu :'(

    BalasHapus
  12. yaampuun... sedih bgd, beneran bikin nangis. hikz hikz., :'(
    cerita Bagus2 Kak author..

    BalasHapus
  13. kayanya pernah beberapa kali baca cerita yang tema ma garis besarnya sama,tapi yang ne bener-bener beda feelnya...
    kerasa banget :'(

    BalasHapus