Menghitung tetes demi tetes yang tiada habisnya. Sendirian...
Karena kau tak pernah ada. Karena kau tak pernah sadar. Karena kau selalu tiada.
Tahukah kau setiap hari aku menghitung hujan yang turun?
Menghitung tetes demi tetes, cintaku padamu yang mulai berhamburan
Berhamburan jatuh dan menghilang ditelan bumi
"Bersamamu selalu menyenangkan." Nana merebahkan kepalanya ke pundak Rangga. Tersenyum sambil menatap hujan yang turun. "Jangan tinggalkan aku ya."
Rangga tersenyum dan mengecup dahi Nana,
"Tidak akan."
"Apakah kita bisa begini selamanya?"
"Selamanya sayang, yakinlah kepadaku."
"Kau tidak menyesal melamarku padahal aku belum lulus kuliah?"
Rangga tersenyum lembut,
"Kenapa tidak? Kau bisa menikah, dan tetap kuliah."
"Benar juga." Nana tertawa, "Tetapi hanya kau yang bekerja untuk rumah tangga kita nanti."
"Siapa bilang?" Rangga mengerutkan keningnya, pura-pura tampak serius. "Aku akan menagihkan semua pengeluaran yang kukeluarkan untukmu begitu kau lulus kuliah dan menerima gaji pertama di pekerjaanmu."
Mereka lalu tertawa bersama, sambil menatap hujan turun.
"Aku mencintaimu Nana. Aku berjanji akan membahagiakanmu, sekarang, ataupun nanti setelah kita menikah. Apapun yang terjadi, kau harus tahu. Jantungku ini akan selalu berdetak, hanya untukmu."
"Kau tidak menyesal melamarku padahal aku belum lulus kuliah?"
Rangga tersenyum lembut,
"Kenapa tidak? Kau bisa menikah, dan tetap kuliah."
"Benar juga." Nana tertawa, "Tetapi hanya kau yang bekerja untuk rumah tangga kita nanti."
"Siapa bilang?" Rangga mengerutkan keningnya, pura-pura tampak serius. "Aku akan menagihkan semua pengeluaran yang kukeluarkan untukmu begitu kau lulus kuliah dan menerima gaji pertama di pekerjaanmu."
Mereka lalu tertawa bersama, sambil menatap hujan turun.
"Aku mencintaimu Nana. Aku berjanji akan membahagiakanmu, sekarang, ataupun nanti setelah kita menikah. Apapun yang terjadi, kau harus tahu. Jantungku ini akan selalu berdetak, hanya untukmu."
***
Selamanya sayang, yakinlah kepadaku......Jantungku ini akan selalu berdetak, hanya untukmu..."
Kalimat itu terngiang ditelinga Nana sederan aliran hujan yang turun, sekarang, di depan makam Rangga dengan tanah merah yang masih basah. Apakah Rangga kedinginan di bawah sana? Pertanyaan itu menggayutinya, menghancurkan hatinya, membuatnya memeluk dirinya sendiri yang gemetaran.
Nana tidak pernah membayangkan ini akan terjadi. Sampai dengan kemarin, yang terbentang di depannya adalah kebahagiaan, kebahagiaannya bersama Rangga. Tetapi ternyata yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kekasihnya direnggut dari sisinya tepat sehari sebelum pernikahan mereka. Rangga meninggal karena kecelakaan, ketika mencari rangkaian buket bunga untuk pengantinnya di saat-saat terakhirnya.
Mereka bilang jenazah Rangga menggenggam bunga itu ketika ditemukan.... bunga mawar putih dengan kelopaknya yang hancur berguguran terkena benturan....bunga itu tidak putih lagi, berubah merah, terpercik darah Rangga. Dan jantung Rangga sudah berhenti berdetak. Sudah tidak berdetak untuk Nana lagi, terkubur diam di sana, dalam tanah yang dingin, tidak terjangkau.
Apakah yang dipikirkan Rangga pada saat-saat terakhirnya? Nana mengernyit, tak mempedulikan hujan deras yang membasahi pakaian dan rambutnya sampai kuyup, dia berdiri dengan tegar, di depan makam itu, menatap nisannya dengan nanar. Apakah Rangga memikirkan dirinya? Pernikahan mereka? Air mata mulai menetes lagi di mata Nana, mata yang sudah kelelahan meneteskan kesedihannya. Bagaimana mungkin Rangga meninggalkannya seperti ini? Bagaimana mungkin Rangga tega? Nana berhak marah bukan? Tetapi apa gunanya dia marah? Rangganya sudah tidak ada, dan kesedihan sudah menelannya sampai remuk redam.
Pelaminan itu kosong sekarang, tak akan pernah ditempati. Persiapan pesta berubah menjadi duka yang kelabu dan tumpahan air mata. Hati Nana hancur, hancur sejak Rangga pergi meninggalkannya, selamanya.
***
Sepertinya hujan akan turun lagi.
Nana mendesah, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sambil menatap ke arah langit. Ini masih jam dua siang, tapi mendung menggayut seakan terlalu berat membawa isiannya yang kelabu, membuat langit makin menggelap. Hujan yang turun pasti akan deras sekali. Nana menoleh ke kiri dan kanan dengan cemas, angkot yang ditunggunya belum tampak juga. Kalau sampai hujan deras turun dan dia belum dapat angkot, Nana akan kehujanan.
Dia harus mencari tempat berteduh. Putusnya ketika rintik-rintik hujan mulai membasahi tubuhnya, menimpa kepalanya. Pandangannya terpaku pada sebuah cafe di sudut jalan. Cafe itu tampak nyaman, dengan kanopi hijau dan tulisan "Warung Kopi Purnama" dengan huruf putih dan merah tebal berlatar hitam tergantung di ujung depan, seolah-olah memanggilnya. Itu warung kopi kuno, alih-alih seperti sebuah coffe shoop, malahan lebih mirip bangunan masa lampau yang salah tempat di tengah-tengah gedung-gedung ruko yang begitu tinggi.
Sejenak Nana merasa ragu, tetapi hujan turun makin deras, hingga dia akhirnya memutuskan masuk. Suasana tampak sepi, dan ternyata bagian dalam warung kopi itu lebih bagus daripada bagian luarnya. Seperti cafe jaman belanda, dengan dinding berwarna krem dan kursi meja yang terbuat dari kayu jati, dengan hujan yang turun deras di sana, suasana tampak lebih dramatis.
Ini adalah jenis cafe dimana Nana bisa duduk berjam-jam tanpa bosan. Nana duduk, lalu memesan secangkir kopi, dan roti bakar sebagai temannya. Sepertinya dia akan lama di sini menunggu hujan, jadi tidak ada salahnya dia memesan makanan. Nana menolehkan kepalanya ke sekeliling. Suasana Cafe cukup sunyi, hanya ada beberapa orang yang duduk menikmati kopi di sana, mungkin berteduh, mungkin juga sedang bernostalgia.
Ketika pesanannya datang, Nana mengeluarkan buku, tetapi setelah beberapa lama mencoba berkonsentrasi membaca, dia menyerah. Hujan itu menghalau konsentrasinya, dia lebih tertarik menatap hujan, menghitung helaan buliran air yang menghempas tanah, dan mengenang Rangga. Hari itu juga hujan, ketika Rangga kecelakaan. Apakah hujan jugakah yang membunuh kekasih hatinya?
Suara berisik di pintu mengalihkan perhatian Nana dari hujan, dia mengernyit dan terpana menatap sosok yang memasuki pintu dengan rambut basah. Rangga?
Sejenak jantung Nana berdegup kencang. Tetapi kemudian kesadarannya kembali, itu sudah pasti bukan Rangga. Rangganya sudah meninggal karena kecelakaan itu, dia sendiri yang menaburkan bunga terakhir ke sana sebelum mereka mengubur jenazahnya. Bagaimana bisa dia mengira orang ini sebagai Rangga?
Lelaki itu menatap ke arah Nana, lalu berkedip sejenak, kemudian mengalihkan matanya, dan melangkah menuju sudut lain di warung kopi itu, Nana terus mencuri-curi menatapnya, mencoba menemukan jawaban. Lelaki ini tidak mirip dengan Rangga, apalagi penampilannya berbeda. Rangga selalu rapi, sederhana dan tampan dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya. Sedangkan lelaki ini berbeda, lebih urakan, lebih santai sekaligus elegan dengan rambut cokelat tua dan mata cokelat muda, hidung mancung dan bibir tipis yang sangat sesuai dengan keseluruhan wajahnya yang maskulin. Lelaki ini begitu tampan, seperti lukisan. Jenis lelaki yang sudah pasti dihindarinya, karena pasti seorang pemain perempuan.
Dengan gugup Nana meneguk kopinya, berusaha menenangkan diri. Kenapa dia begitu tertarik dengan lelaki ini, seolah tidak mampu mengalihkan pandangannya? Dan kenapa dia langsung teringat kepada Rangga? apa karena caranya memasuki ruangan? dengan rambut basah tapi tidak peduli, khas Rangga. Dan kenapa pula Rangga terus memenuhi pikirannya, bahkan ketika dia sudah ingin melangkah, meninggalkan masa lalu dan melupakan Rangga? Apakah ini pertanda bahwa dia tidak boleh melupakan kekasihnya itu?
***
"Mungkin kau salah lihat, atau kau terbawa lamunan sehingga kau berpikir lelaki itu tampak mirip dengan Rangga." Nirina melirik ke arah sahabatnya yang begitu murung setelah bercerita.
Nana menghela napas, "Masalahnya lelaki itu tidak mirip dengan Rangga. Dia lebih seperti pangeran hedonis yang salah tempat di warung kopi itu."
"Kalau kau sebegitu penasarannya, kenapa kau tidak mendekati laki-laki itu?"
Nana mengerjapkan matanya, "Aku... aku takut..."
"Takut apa? Takut jadi korban pesona sang pangeran hedonis?" Nirina terkekeh
Bukan. Gumam Nana dalam hati. Aku takut kalau aku sudah gila dan mengira semua orang sebagai Rangga. Aku takut kalau ternyata aku hidup di dunia khayalanku selama ini.
Nirina menatap Nana dengan simpati, sahabatnya itu masih sering melamun dan tampak sedih, bahkan setelah setahun kematian Rangga. Ya, siapa juga yang tidak sedih, ditinggalkan kekasihnya sehari sebelum pernikahan mereka, kalau Nirina mungkin tidak akan bisa setegar Nana menghadapinya.
"Datanglah ke sana lagi."
"Apa?" Nana mendongakkan kepalanya, mengernyit.
"Datanglah ke warung kopi itu lagi, mungkin saja kau akan berjumpa laki-laki itu lagi, Entah dia memang mirip Rangga atau dia hanya halusinasimu, setidaknya kau tidak akan bertanya-tanya lagi."
***
Nana melangkah ragu memasuki warung kopi itu. Hari ini, tepat seminggu kemudian, pada jam yang sama, hari yang sama. Dia duduk dan memesan seperti biasa, lalu menunggu sambil mengeluarkan buku bacaan yang selalu dibawanya kemana-mana, terjemahan novel sastra inggris lama lama, berjudul Jane Eyre.
Hari ini juga sama, hujan turun begitu deras di luar, mendung membuat langit menghitam, sehingga suasana sore ini tampak seperti malam. Dan Nana menunggu. Menunggu laki-laki yang mirip Rangga itu.
Lama. Hampir satu jam Nana menunggu, tetapi lelaki itu tak kunjung datang. Mungkin dia tak akan datang lagi, Nana mendesah. Mungkin kemarin memang hanya halusinasinya. Halusinasi yang muncul kala hujan turun. Karena dia terlalu merindukan Rangga...
Warung kopi itu sudah hampir tutup karena sore sudah menjelang. Dan meskipun hujan masih turun dengan derasnya di luar, Nana mengemasi tasnya, kemudian melangkah pergi. Dengan gontai, dia berjalan menyusuri trotoar, berpayungkan payung kecil warna merah hati. Entah kenapa dia merasakan sebersit kekecewaan karena ternyata laki-laki itu tidak ada. Yah, lagipula apa yang diharapkannya? Mana mungkin sebuah kebetulan terjadi dua kali?
"Nona. Tunggu sebentar."
Langkah Nana terhenti ketika menyadari panggilan itu ditujukan kepadanya. Kepada siapa lagi? Trotoar itu sepi karena semua orang memilih berteduh di dalam, menghindari hujan deras.
Dengan hati-hati Nana membalikkan badannya, dan untuk kesekian kalinya.... tertegun.
Lelaki itu. Dan memang tidak mirip dengan Rangga. Sedang melangkah tergesa mengejarnya, tanpa mempedulikan baju dan rambutnya yang basah kuyup di terpa hujan. Novel Jane Eyre-miliknya terlindung dalam lengan laki-laki itu.
***
"Kau meninggalkannya di meja ." Lelaki itu berdiri, begitu tinggi menjulang di atas Nana, membuat Nana harus mendongakkan kepalanya ketika menatapnya.
Ketika Nana tidak berkata apa-apa, lelaki itu terkekeh, "Aku biasanya mampir di warung kopi itu pukul empat, sepulang kuliah, tetapi hari ini terlambat, karena hujan deras membuat jalanan macet dan banjir, ketika aku datang cafe sudah hampir tutup dan aku melihat buku itu di meja, dan melihatmu melangkah di trotoar ketika aku masuk. Betul bukan ini bukumu?" Lelaki itu mengulurkan bukunya, suara laki-laki itu mengeras, mencoba mengalahkan derasnya hujan.
Nana masih terpana menatap sosok itu, kemudian mengerjap ketika mendapati lelaki itu menatapnya dengan bertanya-tanya, dia lalu menganggukkan kepalanya dan menerima buku itu, dengan hati-hati memasukkannya ke dalam tasnya.
"Terimakasih."
"Sama-sama. Namaku Reno."
Nana menelan ludahnya,
"Oh...aku Nana." dengan gugup dia menghela napas. Sudah selesai. Lelaki ini sama sekali tidak mirip dengan Rangga, mungkin Nana memang sudah sedikit gila, mengira semua lelaki sebagai Rangga . Nana mencoba membalikkan tubuhnya, "Terimakasih, aku.. aku harus pergi."
"Nana." Reno menggenggam tangannya, menahan Nana, ketika Nana hanya terdiam dan melirik tangan Reno yang mencengkeram tangannya, lelaki itu langsung melepaskannya dan berdiri dengan gugup.
"Eh.. maaf, aku merasa, mungkin kita bisa lebih mengenal lagi. Aku juga suka membaca, meskipun sastra inggris kuno bukanlah kesukaanku." Reno tampak terkekeh lagi, begitu ceria. "Kau akan sering ada di warung kopi itu kan?"
Nana tercenung. Beranikah dia? Bertemu lagi dengan lelaki ini? Hening yang lama, kemudian dia mengangguk,
"Mungkin aku akan datang ke sana, ketika aku ingin menikmati secangkir kopi dan menghitung hujan." jawabnya pelan,
Reno mengangguk, "Menghitung hujan, istilah yang bagus, itulah yang sering kulakukan setiap sore di warung kopi itu. Semoga aku beruntung bisa menjumpaimu lagi di sana. Sampai jumpa Nana."
Dan kemudian lelaki itu membalikkan tubuhnya, berlari menembus hujan deras. Nana terpaku menatapnya, sampai bayangan lelaki itu tertelan kabut hujan.
***
"Jadi, kau tidak berani ke sana lagi?" Nirina menatapnya dengan mencemooh, "Kau menjanjikan sesuatu pada seseorang, lalu kau mengingkarinya."
Nana memalingkan muka, tidak kuat menanggung rasa bersalah, Memang dia pengecut. Sangat pengecut. Ini sudah satu bulan sejak pertemuannya dengan lelaki bernama Reno yang sangat mirip Rangga itu, dan Nana sama sekali tidak berani menginjakkan kakinya ke warung kopi itu. Dia... takut, entah kenapa.
"Untuk apa aku ke sana Nirina? toh aku hanya memandang lelaki itu sebagai pengganti Rangga, sebagai orang yang entah kenapa mirip dengan Rangga."
"Tetapi dia bukan Ranggamu, kau sendiri yang bilang kalau penampilan mereka berbeda."
"Dia tetap mirip Rangga. Bukan dari segi fisik, dia mirip dengan cara yang berbeda." Dan Jantungku berdebar setiap ada di dekatnya. Nana mendesah, putus asa.
Nirina menggeleng-gelengkan kepalanya, "Nana. Kau tahu, aku sedih melihatmu terpuruk seperti ini. Sudah setahun sejak kematian Rangga, dan kau seharusnya sudah melangkah. Kau masih muda, jalanmu masih panjang. Mungkin Tuhan punya misteri dan rencana tersendiri mempertemukanmu dengan lelaki yang mirip Rangga, mungkin. Dan kau tidak akan mengetahui rencana apa itu, kalau kau takut melangkah."
"Jadi menurutmu aku harus menemui laki-laki itu?"
Nirina mengangkat bahunya, "Mirip atau tidak dengan Rangga. Setahuku, laki-laki itu adalah satu-satunya yang kau pikirkan selain Rangga. Temuilah dia."
***
Reno mendongakkan kepalanya. Sekejap dia mengerjapkan matanya, seolah terkejut, tetapi kemudian senyumnya terkembang,
"Nana." senyumnya makin melebar, "Duduklah."
"Kau ada di sini setiap sore?" Nana mengalihkan pandangan ke luar. Entah kenapa hujan turun lagi dengan derasnya, dan entah kenapa nana tidak kuat menghadapi pandangan tajam laki-laki itu.
"Setiap sore." Reno meletakkan bukunya, "Sepertinya kau sangat sibuk ya."
Nana menganggukkan kepalanya gugup. Dia tidak sibuk apa-apa. Dia cuma tidak berani datang dan menemui Reno, tetapi kebohongan itu sudah meluncur mulus di bibirnya.
"Aku sibuk dengan kuliah dan pekerjaan rumahku bulan ini, jadi tidak sempat keluar-keluar,"
Reno menatapnya memaklumi. Meskipun Nana sadar, Reno jelas-jelas mengerti bahwa Nana sudah berbohong kepadanya.
"Aku senang pada akhirnya kau bebas dan bisa datang." Lelaki itu menunjukkan sampul buku yang dibacanya, "Lihat aku sudah menyelesaikan satu set buku ini sambil duduk di sini setiap hari.
Nana melirik ke sana. Bacaan itu tidak dikenalnya, bukan tipe bacaan yang disenangi Nana.
"Kau tidak tahu ya. Ini novel karangan Michael Scott, yang ada di tanganku ini adalah buku ke enam dari serial The Secret of The Immortal Nicholas Flamel, yang ini judulnya The Enchantress." Reno tetap menjelaskannya meskipun judul buku itu sudah tertera jelas di halaman depannya, membuat Nana tertawa.
"Kenapa kau tertawa?"
"Tidak." Nana menahan kekehan gelinya, "Hanya saja buku itu bukan tipeku."
"Ah tentu saja. Kau penggemar bacaan romansa gelap dari masa lalu, kisah pengasuh yang jatuh cinta kepada majikannya yang dingin, kejam dan tak berperasaan tetapi sebenarnya romantis." Reno mencibir, "Tipikal bacaan perempuan."
"Tapi kau tahu isi Jane Eyre, berarti kau membacanya."
Reno memutar bola matanya, "Aku ingin tahu, ketika melihat seorang perempuan meninggalkannya di meja sebuah cafe, jadi aku mencari tahu dan membacanya."
Nana terpana, lalu tersenyum. Hatinya terasa hangat, entah kenapa. Sudah lama sekali dia tidak merasakan kehangatan ini. Sama seperti dulu, ketika bersama Rangga, berdebat masalah buku di tengah hujan, perasaannya sama. Dan meskipun secara fisik Reno berbeda jauh, lelaki ini mengingatkannya kepada Rangga. Mengingatkannya kepada masa-masa bersama Rangga.
"Kau belum memesan. Aku rekomendasikan kau membeli roti Palm Suiker sebagai teman minum kopimu." Lelaki itu mengedipkan matanya ke arah buku menu.
Nana mengernyit. Biasanya dia hanya memesan roti bakar standar sebagai teman minum kopinya di sini, "Apakah enak?"
"Enak kalau sambil minum kopi diiringi hujan, sambil menyantap selembar roti sederhana yang ditaburi brown sugar dengan aroma harum yang khas."
"Kau membuat air liurku keluar." Nana tertawa, lalu memesan roti itu, dan secangkir kopi. "Sampai di mana kita tadi?"
"Sampai ketika aku bilang bahwa perempuan selalu menyukai tipikal penjahat romantis di buku-buku roman mereka."
Dan percakapan itu berlanjutlah. Di tengah hujan deras yang mengiringi di luar, diantara harumnya uap beraroma kopi dan harumnya roti yang baru keluar dari pemanggangan. Nana terlarut bersama Reno, di sebuah warung kopi yang temaram.
***
Bersambung ke Part 2
Baca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/menghitung-hujan-part-2.html
Sejenak Nana merasa ragu, tetapi hujan turun makin deras, hingga dia akhirnya memutuskan masuk. Suasana tampak sepi, dan ternyata bagian dalam warung kopi itu lebih bagus daripada bagian luarnya. Seperti cafe jaman belanda, dengan dinding berwarna krem dan kursi meja yang terbuat dari kayu jati, dengan hujan yang turun deras di sana, suasana tampak lebih dramatis.
Ini adalah jenis cafe dimana Nana bisa duduk berjam-jam tanpa bosan. Nana duduk, lalu memesan secangkir kopi, dan roti bakar sebagai temannya. Sepertinya dia akan lama di sini menunggu hujan, jadi tidak ada salahnya dia memesan makanan. Nana menolehkan kepalanya ke sekeliling. Suasana Cafe cukup sunyi, hanya ada beberapa orang yang duduk menikmati kopi di sana, mungkin berteduh, mungkin juga sedang bernostalgia.
Ketika pesanannya datang, Nana mengeluarkan buku, tetapi setelah beberapa lama mencoba berkonsentrasi membaca, dia menyerah. Hujan itu menghalau konsentrasinya, dia lebih tertarik menatap hujan, menghitung helaan buliran air yang menghempas tanah, dan mengenang Rangga. Hari itu juga hujan, ketika Rangga kecelakaan. Apakah hujan jugakah yang membunuh kekasih hatinya?
Suara berisik di pintu mengalihkan perhatian Nana dari hujan, dia mengernyit dan terpana menatap sosok yang memasuki pintu dengan rambut basah. Rangga?
Sejenak jantung Nana berdegup kencang. Tetapi kemudian kesadarannya kembali, itu sudah pasti bukan Rangga. Rangganya sudah meninggal karena kecelakaan itu, dia sendiri yang menaburkan bunga terakhir ke sana sebelum mereka mengubur jenazahnya. Bagaimana bisa dia mengira orang ini sebagai Rangga?
Lelaki itu menatap ke arah Nana, lalu berkedip sejenak, kemudian mengalihkan matanya, dan melangkah menuju sudut lain di warung kopi itu, Nana terus mencuri-curi menatapnya, mencoba menemukan jawaban. Lelaki ini tidak mirip dengan Rangga, apalagi penampilannya berbeda. Rangga selalu rapi, sederhana dan tampan dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya. Sedangkan lelaki ini berbeda, lebih urakan, lebih santai sekaligus elegan dengan rambut cokelat tua dan mata cokelat muda, hidung mancung dan bibir tipis yang sangat sesuai dengan keseluruhan wajahnya yang maskulin. Lelaki ini begitu tampan, seperti lukisan. Jenis lelaki yang sudah pasti dihindarinya, karena pasti seorang pemain perempuan.
Dengan gugup Nana meneguk kopinya, berusaha menenangkan diri. Kenapa dia begitu tertarik dengan lelaki ini, seolah tidak mampu mengalihkan pandangannya? Dan kenapa dia langsung teringat kepada Rangga? apa karena caranya memasuki ruangan? dengan rambut basah tapi tidak peduli, khas Rangga. Dan kenapa pula Rangga terus memenuhi pikirannya, bahkan ketika dia sudah ingin melangkah, meninggalkan masa lalu dan melupakan Rangga? Apakah ini pertanda bahwa dia tidak boleh melupakan kekasihnya itu?
***
"Mungkin kau salah lihat, atau kau terbawa lamunan sehingga kau berpikir lelaki itu tampak mirip dengan Rangga." Nirina melirik ke arah sahabatnya yang begitu murung setelah bercerita.
Nana menghela napas, "Masalahnya lelaki itu tidak mirip dengan Rangga. Dia lebih seperti pangeran hedonis yang salah tempat di warung kopi itu."
"Kalau kau sebegitu penasarannya, kenapa kau tidak mendekati laki-laki itu?"
Nana mengerjapkan matanya, "Aku... aku takut..."
"Takut apa? Takut jadi korban pesona sang pangeran hedonis?" Nirina terkekeh
Bukan. Gumam Nana dalam hati. Aku takut kalau aku sudah gila dan mengira semua orang sebagai Rangga. Aku takut kalau ternyata aku hidup di dunia khayalanku selama ini.
Nirina menatap Nana dengan simpati, sahabatnya itu masih sering melamun dan tampak sedih, bahkan setelah setahun kematian Rangga. Ya, siapa juga yang tidak sedih, ditinggalkan kekasihnya sehari sebelum pernikahan mereka, kalau Nirina mungkin tidak akan bisa setegar Nana menghadapinya.
"Datanglah ke sana lagi."
"Apa?" Nana mendongakkan kepalanya, mengernyit.
"Datanglah ke warung kopi itu lagi, mungkin saja kau akan berjumpa laki-laki itu lagi, Entah dia memang mirip Rangga atau dia hanya halusinasimu, setidaknya kau tidak akan bertanya-tanya lagi."
***
Nana melangkah ragu memasuki warung kopi itu. Hari ini, tepat seminggu kemudian, pada jam yang sama, hari yang sama. Dia duduk dan memesan seperti biasa, lalu menunggu sambil mengeluarkan buku bacaan yang selalu dibawanya kemana-mana, terjemahan novel sastra inggris lama lama, berjudul Jane Eyre.
Hari ini juga sama, hujan turun begitu deras di luar, mendung membuat langit menghitam, sehingga suasana sore ini tampak seperti malam. Dan Nana menunggu. Menunggu laki-laki yang mirip Rangga itu.
Lama. Hampir satu jam Nana menunggu, tetapi lelaki itu tak kunjung datang. Mungkin dia tak akan datang lagi, Nana mendesah. Mungkin kemarin memang hanya halusinasinya. Halusinasi yang muncul kala hujan turun. Karena dia terlalu merindukan Rangga...
Warung kopi itu sudah hampir tutup karena sore sudah menjelang. Dan meskipun hujan masih turun dengan derasnya di luar, Nana mengemasi tasnya, kemudian melangkah pergi. Dengan gontai, dia berjalan menyusuri trotoar, berpayungkan payung kecil warna merah hati. Entah kenapa dia merasakan sebersit kekecewaan karena ternyata laki-laki itu tidak ada. Yah, lagipula apa yang diharapkannya? Mana mungkin sebuah kebetulan terjadi dua kali?
"Nona. Tunggu sebentar."
Langkah Nana terhenti ketika menyadari panggilan itu ditujukan kepadanya. Kepada siapa lagi? Trotoar itu sepi karena semua orang memilih berteduh di dalam, menghindari hujan deras.
Dengan hati-hati Nana membalikkan badannya, dan untuk kesekian kalinya.... tertegun.
Lelaki itu. Dan memang tidak mirip dengan Rangga. Sedang melangkah tergesa mengejarnya, tanpa mempedulikan baju dan rambutnya yang basah kuyup di terpa hujan. Novel Jane Eyre-miliknya terlindung dalam lengan laki-laki itu.
***
"Kau meninggalkannya di meja ." Lelaki itu berdiri, begitu tinggi menjulang di atas Nana, membuat Nana harus mendongakkan kepalanya ketika menatapnya.
Ketika Nana tidak berkata apa-apa, lelaki itu terkekeh, "Aku biasanya mampir di warung kopi itu pukul empat, sepulang kuliah, tetapi hari ini terlambat, karena hujan deras membuat jalanan macet dan banjir, ketika aku datang cafe sudah hampir tutup dan aku melihat buku itu di meja, dan melihatmu melangkah di trotoar ketika aku masuk. Betul bukan ini bukumu?" Lelaki itu mengulurkan bukunya, suara laki-laki itu mengeras, mencoba mengalahkan derasnya hujan.
Nana masih terpana menatap sosok itu, kemudian mengerjap ketika mendapati lelaki itu menatapnya dengan bertanya-tanya, dia lalu menganggukkan kepalanya dan menerima buku itu, dengan hati-hati memasukkannya ke dalam tasnya.
"Terimakasih."
"Sama-sama. Namaku Reno."
Nana menelan ludahnya,
"Oh...aku Nana." dengan gugup dia menghela napas. Sudah selesai. Lelaki ini sama sekali tidak mirip dengan Rangga, mungkin Nana memang sudah sedikit gila, mengira semua lelaki sebagai Rangga . Nana mencoba membalikkan tubuhnya, "Terimakasih, aku.. aku harus pergi."
"Nana." Reno menggenggam tangannya, menahan Nana, ketika Nana hanya terdiam dan melirik tangan Reno yang mencengkeram tangannya, lelaki itu langsung melepaskannya dan berdiri dengan gugup.
"Eh.. maaf, aku merasa, mungkin kita bisa lebih mengenal lagi. Aku juga suka membaca, meskipun sastra inggris kuno bukanlah kesukaanku." Reno tampak terkekeh lagi, begitu ceria. "Kau akan sering ada di warung kopi itu kan?"
Nana tercenung. Beranikah dia? Bertemu lagi dengan lelaki ini? Hening yang lama, kemudian dia mengangguk,
"Mungkin aku akan datang ke sana, ketika aku ingin menikmati secangkir kopi dan menghitung hujan." jawabnya pelan,
Reno mengangguk, "Menghitung hujan, istilah yang bagus, itulah yang sering kulakukan setiap sore di warung kopi itu. Semoga aku beruntung bisa menjumpaimu lagi di sana. Sampai jumpa Nana."
Dan kemudian lelaki itu membalikkan tubuhnya, berlari menembus hujan deras. Nana terpaku menatapnya, sampai bayangan lelaki itu tertelan kabut hujan.
***
"Jadi, kau tidak berani ke sana lagi?" Nirina menatapnya dengan mencemooh, "Kau menjanjikan sesuatu pada seseorang, lalu kau mengingkarinya."
Nana memalingkan muka, tidak kuat menanggung rasa bersalah, Memang dia pengecut. Sangat pengecut. Ini sudah satu bulan sejak pertemuannya dengan lelaki bernama Reno yang sangat mirip Rangga itu, dan Nana sama sekali tidak berani menginjakkan kakinya ke warung kopi itu. Dia... takut, entah kenapa.
"Untuk apa aku ke sana Nirina? toh aku hanya memandang lelaki itu sebagai pengganti Rangga, sebagai orang yang entah kenapa mirip dengan Rangga."
"Tetapi dia bukan Ranggamu, kau sendiri yang bilang kalau penampilan mereka berbeda."
"Dia tetap mirip Rangga. Bukan dari segi fisik, dia mirip dengan cara yang berbeda." Dan Jantungku berdebar setiap ada di dekatnya. Nana mendesah, putus asa.
Nirina menggeleng-gelengkan kepalanya, "Nana. Kau tahu, aku sedih melihatmu terpuruk seperti ini. Sudah setahun sejak kematian Rangga, dan kau seharusnya sudah melangkah. Kau masih muda, jalanmu masih panjang. Mungkin Tuhan punya misteri dan rencana tersendiri mempertemukanmu dengan lelaki yang mirip Rangga, mungkin. Dan kau tidak akan mengetahui rencana apa itu, kalau kau takut melangkah."
"Jadi menurutmu aku harus menemui laki-laki itu?"
Nirina mengangkat bahunya, "Mirip atau tidak dengan Rangga. Setahuku, laki-laki itu adalah satu-satunya yang kau pikirkan selain Rangga. Temuilah dia."
***
"Hai." Nana berdiri gugup, di depan laki-laki itu yang sedang menundukkan kepala, tenggelam dalam bacannya.
Reno mendongakkan kepalanya. Sekejap dia mengerjapkan matanya, seolah terkejut, tetapi kemudian senyumnya terkembang,
"Nana." senyumnya makin melebar, "Duduklah."
"Kau ada di sini setiap sore?" Nana mengalihkan pandangan ke luar. Entah kenapa hujan turun lagi dengan derasnya, dan entah kenapa nana tidak kuat menghadapi pandangan tajam laki-laki itu.
"Setiap sore." Reno meletakkan bukunya, "Sepertinya kau sangat sibuk ya."
Nana menganggukkan kepalanya gugup. Dia tidak sibuk apa-apa. Dia cuma tidak berani datang dan menemui Reno, tetapi kebohongan itu sudah meluncur mulus di bibirnya.
"Aku sibuk dengan kuliah dan pekerjaan rumahku bulan ini, jadi tidak sempat keluar-keluar,"
Reno menatapnya memaklumi. Meskipun Nana sadar, Reno jelas-jelas mengerti bahwa Nana sudah berbohong kepadanya.
"Aku senang pada akhirnya kau bebas dan bisa datang." Lelaki itu menunjukkan sampul buku yang dibacanya, "Lihat aku sudah menyelesaikan satu set buku ini sambil duduk di sini setiap hari.
Nana melirik ke sana. Bacaan itu tidak dikenalnya, bukan tipe bacaan yang disenangi Nana.
"Kau tidak tahu ya. Ini novel karangan Michael Scott, yang ada di tanganku ini adalah buku ke enam dari serial The Secret of The Immortal Nicholas Flamel, yang ini judulnya The Enchantress." Reno tetap menjelaskannya meskipun judul buku itu sudah tertera jelas di halaman depannya, membuat Nana tertawa.
"Kenapa kau tertawa?"
"Tidak." Nana menahan kekehan gelinya, "Hanya saja buku itu bukan tipeku."
"Ah tentu saja. Kau penggemar bacaan romansa gelap dari masa lalu, kisah pengasuh yang jatuh cinta kepada majikannya yang dingin, kejam dan tak berperasaan tetapi sebenarnya romantis." Reno mencibir, "Tipikal bacaan perempuan."
"Tapi kau tahu isi Jane Eyre, berarti kau membacanya."
Reno memutar bola matanya, "Aku ingin tahu, ketika melihat seorang perempuan meninggalkannya di meja sebuah cafe, jadi aku mencari tahu dan membacanya."
Nana terpana, lalu tersenyum. Hatinya terasa hangat, entah kenapa. Sudah lama sekali dia tidak merasakan kehangatan ini. Sama seperti dulu, ketika bersama Rangga, berdebat masalah buku di tengah hujan, perasaannya sama. Dan meskipun secara fisik Reno berbeda jauh, lelaki ini mengingatkannya kepada Rangga. Mengingatkannya kepada masa-masa bersama Rangga.
"Kau belum memesan. Aku rekomendasikan kau membeli roti Palm Suiker sebagai teman minum kopimu." Lelaki itu mengedipkan matanya ke arah buku menu.
Nana mengernyit. Biasanya dia hanya memesan roti bakar standar sebagai teman minum kopinya di sini, "Apakah enak?"
"Enak kalau sambil minum kopi diiringi hujan, sambil menyantap selembar roti sederhana yang ditaburi brown sugar dengan aroma harum yang khas."
"Kau membuat air liurku keluar." Nana tertawa, lalu memesan roti itu, dan secangkir kopi. "Sampai di mana kita tadi?"
"Sampai ketika aku bilang bahwa perempuan selalu menyukai tipikal penjahat romantis di buku-buku roman mereka."
Dan percakapan itu berlanjutlah. Di tengah hujan deras yang mengiringi di luar, diantara harumnya uap beraroma kopi dan harumnya roti yang baru keluar dari pemanggangan. Nana terlarut bersama Reno, di sebuah warung kopi yang temaram.
***
Bersambung ke Part 2
Baca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/menghitung-hujan-part-2.html
PS : Dear all, maafkan yang sudah menunggu lama yah karena beberapa halangan dan kurang sehat beberapa hari ini aku jadi nggak bisa posting di blog dan nggak bisa online :) semoga all readers memaafkan yah :) *peluk sayang semuanya*
Abis sakit mbak ?
BalasHapusGWS ya mbak :)
aseeek ada cerita baru tapi ntar jangan di karetin ya lama bukanya hihihihi
hihihi sebenernya mau posting sweet enemy ara, tapi naskahnya belum disiapin, kondisi lagi ga fit hiks hiks..., jadi selingannya dikasih cerbung ini dulu yah hehehe :D
Hapusnanti kalo udah sehat langsung dipostingin SE yah *aku lagi nyiapin UH juga buat di PN hee semoga pada sabar yah dear* :D
asik cerita baru dari mbak santhy,,,,
BalasHapusngomong2 mbak santhy tu suka hujan ya? karena di setiap novel mbak santhy selalu ada unsur ujannya hehehee,,,
semoga mbak santhy di beri kesehatan selalu,,
amin,,,
#kiss n hug mbak santhy :)
hihihihi iyaa zhi, habisnya aku hidup di bandung yang kadang2 dr pagi sampai malam hujaan mulu, sampai tidur pakai selimut tetep aja menggigil kedinginan hehee, lama2 belajar untuk menikmati dan kemudian menyukai
Hapusaku suka hujan, apalagi dipadukan dengan kopi #eh kok jadi curhat hihihi
amiin makasih yaaa , zhiana juga jaga kesehatan jd kita bisa terus ngobrol2 di sini yah *peluk*
akhirnya mbg shanty nongol juga setelah sekian lama menghilang dari peredaran.....
BalasHapuskemana aja mbg sakitkah dirimu....???
*diatas kepalanya ada bintang2 dan tanda tanya*
hihihihi iyaa sayaaaang aku sakit dari sabtu, :D
Hapustapi sekarang udah lumayan, udah bisa buka2 laptop lagi meskipun belum maksimal hehehe
maapkan akuuuu menghilang laamaaaa
*sambil teriak penuh penyesalan*
hihihihi
hhahhahaha, tenang aja udah tak maafin...
Hapusmoga cepet sembuh ya mbg biar bisa trs berkarya....
cayooo mbg shan2
*peluk cium mbg shanty biar cpet smbh*
mb saan,
BalasHapuskalo sakit mah istirahat badan n pikiran,
jangan mikir dlo mau posting ini mau posting itu
kami para reader sangat sabar menunggu koq.
kan ga mau mb santhy sakit lama-lama
GWS ya haniih banih
xixixiii
hihihihi iyaaaa tapi aku selalu mikirin readers apalagi yg nengokin blog trus ga ada postingan trus kecewa huhuhuhu maapkan yaaaa *peluk2 sambil lap ingus* hihihihi
Hapusmakasih ya sayaaang doakan akuuu semoga makin kuaat heee ;D
mbak san habis sakit? Sakit apa mbak? Semoga cpt sembuh ya...
BalasHapusCerita ini juga g kalah keren kok, mbak santhy emang T0P deh :D
heeeee sakit dear campur2 huhuhuhu
Hapushuwaa makasih deaar aku belum nyiapin Sweet enemy jadi cerbungnya ini dulu yah yg sudah siap :D semoga suka meski kesannya kelam dan mendung terus ini ceritanya hehehe :)
waaahhh...cerita baru yg nemenin liburanku,,,hehehehe..thanks mbak san...^^
BalasHapusjadi penasaran ama buku serial immortal yg punya michael scott..aku cuman punya serial immortal yg karya alyson noel, itu pun masih sampai buku ke-3(nah loh,,kok jdi curhat...??hihihihi)..
mbak,,masih kurang fit ya??jgn di paksa terus mbak,,banyak istirahat ya,,Get well soon..*peluk mbak san,,^^
hehehehe semoga suka yaah sebagai selingan sambil nungguin sweet enemy yaah :D
Hapuswaaah aku yang alyson noel belum punya dear
kalo michael scott punya lengkap, sama yang cassandra clare yang seri mortal instrument waah penasaran hehehe sebenrnya yg suka cerita fantasi ini si om, jd aku nyomot koleksi bukunya buat di cerpen hihihi
iya sayaaang doakan aku makin sehat makin kuat yaa, kangen sama semuanya huhuhuhu
gawees ya mbk..
BalasHapusblog nya udh dipantengin terus kangen sama cerita2nya aplg SE yg msh pnasaran sma klanjutannyaXD hahay
wah cerita baru..bru awal aja udh sedih hadiuhh kasian nana nya:'(
hmm apa ya konfliknya kira2..?msh abu2 nihh *nebak2*hihihiii~;-D
sambil nungguin SE dikasih ini dulu gpp yah heee :p
Hapusiya nih cerita pada dasarnya kelam dan kelabu :)
jadi suasananya mendung mulu habis tokoh utamanya menyimpan kesedihan hehehe
konfliknya belum ketahuan yah ;p
mba santi canti,ditunggu" dengan penuh harap" cemas akhirnya ad postingan juga (*lebay*)
BalasHapusoooo mba bis sakit y,cpt sembuh y mba.....
selalu setia menanti,tetap semangat y mba,,,,
big hug buat mba santi cantik,,,,,,
heeee makasih sayaaaang :D doakan makin sehat yah diriku dear huhuhuhu *terharu sambil peluk2*
Hapus:D
Ada cerita baru nih mbak..., emang deh mbak santhy cantik jempoool.
BalasHapusGak sabar baca part selanjutnya...., Tapi..
Mbak santhy yg cantik dan keren abizz, jangan dipaksa u posting dulu mbak kalau masih belum fit bener, entar mbak tambah sakit lho.., Jangannn lupa minum vitamin+air hangat+istirahat yg banyak mbak supaya cepat sembuh.
Big Hug bwat mbak santhy,
Selalu setia menanti mbak santhy yg cantik. Tetap semangat...
naoraaa heeeeee
Hapusiyaa sayaang sebenernya mau posting SE tp ternyata naskahnya belum siap, kebetulan Menghitung hujan sudah siap sampai part 2 jadi diposting langsung deh, semoga bisa jadi pengobat hati para readers sambil menunggu SE yaah *peluk sayang*
makasih sayaang itu tipsnya sangat penting aku jarang minum air putih soalnya huhuhu aku akan semangaat biar lekas fit lagi hee :)
mba santhy,
BalasHapuskangeeen,
hehe
dpt kbr mba santhy posting langsung meluncur.
waaaa kangen jugaaa
Hapusheeee aku juga kangen banget ini ngobrol2 sama semuanyaa. heeeee :D begitu bisa online langsung buka blog + twitter hehehee :)
*peluk2*
Kyaaaa~ mbak santhy posting lagi. :D
BalasHapusHihihi... Aku cengar-cengir pas baca kalimatnya reno tentang bacaan perempuan. XD ih, reno tau aja, kan buat cewek ga ada hal klise buat urusan romantis. Hehehehe...
Jaga kesehatan ya, Mba. Semoga cepet fit. :) *peluk*
iya tuh Reno ternyata tau tipe cowo kesukaan perempuan di novel yah hihihi :)
Hapusamin sayaang aku akan berusaha supaya sehat lagi jd bisa terus ngobrol di sini yaah, kangen banget rasanya heeee :D
*peluk*
ih mksh mba,sweet.uh keren euy,ttp smangat.pluk cium :'
BalasHapusheeee makasih renaaa hehehhe semoga suka yaah sama kisah Nana ini, selingan sambil nungguin SE :)
Hapusasiik ada bahan bacaan buat liburan di rumah ;-)
BalasHapusawal yg bagus buat move on tuh,na XD
keep writing mba!
eh kpn nih novel barunya diposting di PN? hee
oiaaa.. aku pikir2 karakter wanita di cerita fiksi mba santhy itu pasti nama akhirannya 'na' .. nessa, lana, serena, nana dan nirina
hihih
eh dear jangan lupa ada yg belum : Delina, sama tokoh utamanya UH : Elena hihihihi
Hapuswaaah beneran aku baru sadar kalau akhirannya na semua yah hihihi ternyata aku ga kreatip huhuhu... nanti aku mau ganti ah kalau ada novel baru yah :D
untung FDTS namanya Sharin yah xixixi
heee iya sayaang :) kisah ini sebenarnya menyimpan nasehat buat move on :) dan juga kisah ttg cinta sejati, semoga suka yaa
Mbak Santh,,,,
BalasHapusMoga Cepat Sembuh,,
Tulisan baruny sungguh indah,,
Aq suka,,t'amat suka,,beneran degh,,
hehehehhe makasih Riskaaaa :)
Hapusini lumayan udah sehat, lagi ngeberesin UH finishing tampilan halaman, sebelum diberikan ke editor heee :D
waaaah syukurlah riska sukaaa :D
ceritanya baguus.
BalasHapusaq sukaa.
peluk juga bwat mba santhy..
g sabar nunggu UH di posting di PN..
heee syukurlah sayang suka yaaah :D
Hapussiaaap UH lagi diproses, sebentar lagi yah di PN :D
waahh novel nya sdih mba ... ga kbyang dh klo di tinggalin pacar pas shari sblum nikah ?!!!OMG mba ... mksih yah ttap smangat and shat sllu mba cantiik
BalasHapusheeee iyaaaa ga kebayang sedihnya, aku dulu pas nikahan di Solo. udah dirumah duluan. si om masih nyusul mobilan sama keluarganya dari Bandung. Dari dia berangkat sampai diperjalanan yang ada aku deg2an setengah mati dear heeeee ... tapi aku juga ngalamin H-1 sebelum resepsi aku sama om masih muter2 ke toko bunga malem2 nyari buket bunga heee :D
Hapusmakanya Nana ini sungguh kasihan yah dear hiiksss
mbak ceritanya bagus-bagus loh. jadi ikutan sering liat blognya nungguin cerita baru hehehe.. mbak tiap hari kerjanya nulis yah kok tulisannya bagus2?(jadi nanya kerjaan bukannya cerita hahaha)
BalasHapushihihihi aku kerjaannya auditor dear jd tiap hari bikin jurnal dan laporan pemeriksaan keuangan heeee :D mungkin aku stres sama kerjaan yah jd mengalirnya ke nulis hihihhi :D
HapusGws kkku syg. :-)
BalasHapusamiiiiin makasih sayaaaanng :D
HapusCeritanya bagus mbk
BalasHapusmakasih dah berbagi ceritanya
mbk santy sakit ap? cepet sembuh ya mbk..biar bisa nulis lagi hehe
aku penggemar baru nich mbk, aku suka ceritanya mbk santy q tunggu karya2 mbk santy lainnya
dan salam kenal
heee sama2 sayaang makasih sudah suka yaah :D aku semakin semangat nulisnya tiap ada yang suka hehehe :D
Hapusamin makasih sayaang
salam kenal jugaa :)
mba shanty pa kbr nih?dah sehatan kan,,,,,,,,,,moga cepet sembuh ya dan bsa posting lg nih. dibandung kebanjiran enga mba,klw dirmh sya hampir msk nih air ya tp klw dijln dah sedengkul tuh air ya,,,,,,,,,
BalasHapussudah lumayan sehat sayang makasih yaaaa heeee :D amiiin aku akan semangat biar makin sehat :D
Hapusbandung belum banjir sayang, tapi kalo hujannya begini terus sih kayaknya akan banjir. soalnya hujan terus sudah beberapa hari ini dari subuh sampai malamnya lagi dear :D
waaaah isti rumahnya di Jakarta yaah aku dulu pernah ikut ngalamin banjir besar di Jakarta tahun 2007 kalau ga salah, sampai ga bisa keluar2 rumah hehe
Nicholas Flamel!!! dulu kayaknya punya ebooknya deh.. tapi lupa disimpen dimana.. hahaha
BalasHapusmba Santhy, kangeeennnn
hehehe itu buku kegemarannya si om, aku comot aja buat cerita di sini :p
Hapusheeeeee ariniiii aku juga kangeennn :D
Hii Mba Shanty,,,
BalasHapusCepet sembuh ya, udah ga sabar nich pengen baca postingan terbarunya.
Salam kenal ya,
salam kenal.. :D
BalasHapusaku suka sekali sama ceritanya yang ini,, eh ralat, semua sebenarnya, salam kenal ya, aku ajeng. :D
salam kenal shanty aq br bbrp minggu ini menikmati blogmu....bikin betah hihihi.....mw tny dikit ya....apa km penggemar diana palmer....soale tokoh2nya baik ce/co mirip dgn tokoh dinovel DP terlbh lg dicrt ini nana membc roman ttg jane eyre soale itu muncul dinovelnya DP yg jdlnya LADY LOVE....aq suka bgt ma tulisanmu dlm blog ini...serasa aq yg jd tokoh crtnya...makasih ya dah mw berbagi......
BalasHapusOh ya ampun, nana, it's my name.. dan kok penggambaran rangga mirip banget ma tipe cowok ku, kacamata, sederhana-- dan terlebih lagi aku juga suka hujan. Kok bisa klopp?!ehehehe.. jadi menjiwai nih cerita.
BalasHapushai kak :D aku tergila2 dengan novel kakak dan mulai mencintai karyamu ( hehe lebay) hmm, menyangkut rasa penasaranku yg begitu dalam. kakak ada buat kisah tentang romeo gak ? sedih banget pas baca akhiran datting with the dark yg kk buat :( tlg balasannya ya kak :)
BalasHapusIya kak santhy aq jg penasaran lanjutan kisah romeo spt apa. dibalas y
Hapusizin posting ulang dengan sumbernya boleh mbak? :) saya suka banget novel ini :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus🙏🏻
BalasHapusAku masih jatuh cinta dengan cerita ini. Apakah versi cetak sudah ada?
BalasHapusAku masih jatuh cinta dengan cerita ini. Apakah versi cetak sudah ada?
BalasHapus