Senin, 22 Oktober 2012

Cerpen : Setelah sepuluh tahun







Mencintai cinta, dan airmata itu sendiri di sisi lain.
Mencintai Lintang bagaikan menelan pil bersalut gula yang mengandung 90 persen kebahagiaan, tetapi terselip 10 persen racun kepedihan di dalamnya. Dan Dina meskipun tahu bahwa dibalik kebahagiaan itu ada racun yang terserap tubuhnya perlahan-lahan dan menggerogoti jiwanya dengan kepedihan, tetap saja dengan sukarela menelan pil itu setiap ada kesempatan. Tidak peduli bahwa mungkin saja racun dalam pil itu mungkin akan mengendap dan mengendap dalam aliran jiwanya dan membunuhnya dari dalam, tanpa terasa.


Tuhanku....
Dina menatap kekosongan di depannya dan menarik napas panjang, rasa nyeri itu menyeruak makin dalam, menghimpit dadanya, membuatnya sesak nafas,
Tuhanku... Betapa aku mencintainya...

Nah, dia sudah berhasil mengakuinya, tapi pengakuan itu tidak membuatnya lega sama sekali, malahan semakin menghimpit perasaannya,

Kenapa cinta yang Kau berikan padaku ini terasa begitu pedih? Mencintainya, mencintai cinta yang bagai dua sisi mata uang yang bertolak belakang : cinta itu sendiri di sisi depan, dan airmata di sisi belakang yang tersembunyi.

Mencintai cinta, dan disisi lain, mencintai air mata pula.





Tetapi bukankah keputusan ini sudah dia ambil masak-masak? Bukankah semua konsekuensi sudah dia pertimbangkan sebelumnya? Mencintai Lintang sama saja menyerahkan hatinya untuk dipatahkan, dihancurkan berkeping-keping dengan sukarela. Dan bahkan dia melakukannya dengan kesadaran penuh, menyerahkan hatinya untuk dihancurkan berkeping-keping.

Lintang, yang sudah tidak sendiri lagi. Lintang yang sudah menjadi milik orang lain. Dan Dina dengan rela membiarkan hatinya dimiliki Lintang sepenuhnya, tanpa menuntut Lintang untuk memberikan seluruh hatinya kepadanya.

Dia sudah mengambil keputusan bukan? Menjadi wanita nomor dua Lintang, wanita yang tidak bisa diakui, dan tidak bisa mengakui Lintang. Merelakan posisinya tersembunyi sedemikian rupa. Tidak apa-apa, katanya pada dirinya sendiri waktu itu. Aku rela, asalkan aku boleh mencintai Lintang dan bisa mereguk cinta dari Lintang.

Tapi ternyata tidak semudah itu. Hatinya selalu terasa nyeri, bahkan saat dia bersama Lintang, dalam pelukannya. Dia merasa sebagai wanita yang rendah, merenggut lelaki yang seharusnya menjadi hak milik perempuan lain.

Dosakah dia melakukan ini? Bahkan dengan mengatas namakan cintapun, tidak akan pernah ada manusia yang bisa mengerti. Mereka akan memandang hina dirinya, merendahkannya. Dibelahan manapun di dunia ini, wanita seperti Dina, seorang selingkuhan, wanita simpanan, perebut kasih sayang laki-laki yang seharusnya menjadi milik pasangannya yang sah, selalu dipandang sebagai pihak yang salah, pihak yang hina, pihak perusak yang tidak seharusnya ada.

Mereka semua kadang tidak paham, bahwa wanita seperti itu terkadang melakukannya karena cinta yang begitu mendalam yang tak tertahankan.

"Aku mencintaimu Dina, tubuhku boleh menjadi miliknya, tapi hatiku milikmu", kata Lintang di suatu malam, dalam pertemuan-pertemuan rahasia mereka yang penuh cinta.

Dan Dina tidak bisa menjawab. Memiliki tubuh atau hati seseorang. Kenapa Tuhan begitu kejam membuatnya memilih? Tidak bisakah dia memiliki kedua-duanya? Seringkali pertanyaan itu terjerit dalam hatinya, ingin diteriakkan entah kepada siapa. Tetapi kemudian selalu tertahan di bibir, menjadi gumpalan-gumpalan berat yang menyesakkan dadanya, semakin menahan napasnya, menyakitinya.

Dan Dina selalu menanggung semuanya seorang diri, tidak pernah membiarkan Lintang tahu apa yang berkecamuk di dadanya, Oh Lintang, Lintangnya, satu-satunya lelaki yang dicintainya, satu-satunya lelaki yang mampu membuat Dina menyerahkan hatinya dengan sepenuhnya, tenggelam sedalam-dalamnya ke kubangan cinta tanpa peduli akan sakit yang menusuknya tiap dia menyerahkan diri.

Tuhan, ketika kau membiarkanku jatuh cinta, kenapa harus dengan lelaki yang sudah termiliki oleh perempuan lain?

Terkadang saat memandang Lintang dalam tidurnya yang damai, Dina ingin menangis. Lelakinya, yang sangat ingin Dina doakan kebahagiaannya, betapa kehadiran Dina dihidup Lintang telah memporak porandakan ketenangan yang seharusnya terjalin dalam garis kehidupan lelaki itu.

Lintang seharusnya tidak bertemu dengan Dina, lelaki itu sudah memiliki istri yang mencintainya, dengan hubungan yang harmonis, keluarga kecil yang bahagia, dan pastinya akan terus bahagia seandainya tidak ada insiden yang mempertemukan Lintang dengan Dina, yang mengubah seluruh kehidupan Lintang, juga Dina.

Mereka berdua bertemu, dan seluruh dunia seakan jungkir balik, Dina melupakan semuanya, melupakan bahwa dibalik kebahagiaan yang direnggutnya, diam-diam dia menari dibawah pengkhianatan terhadap seorang isteri, seorang wanita pula yang seperti dirinya. Melupakan bahwa tidak seharusnya dia bertindak egois, semakin memperdalam cintanya kepada Lintang, bahkan di saat dia tahu bahwa Lintang adalah lelaki yang tidak boleh dia cintai.

"Aku merasakan cinta yang sebenar-benarnya bersamamu", bisik Lintang lembut pada suatu malam.

Dan mata Dina yang kelam menyapu malam, menelan kepedihan yang terlalu sering dirasakannya hingga hampir mati rasa,

"Kau juga merasakan cinta yang sama kepada isterimu bukan?"

"Aku pikir aku dulu mencintainya", jawab Lintang tegas.

Dan Dina menggelengkan kepalanya,

"Seharusnya aku tidak pernah muncul di antara kalian, seharusnya aku tidak pernah ada"

Lintang merengkuh bahu Dina dan memeluknya erat,

"Jangan. Jangan mengatakan itu. Itu sungguh menyakitiku, bersamamu aku benar-benar mengerti apa artinya bahagia, bersamamu aku benar-benar mengerti apa artinya mencintai. Aku memang egois menahanmu disini, bersamaku, mereguk cintamu yang tanpa batas itu sepuas-puasnya, tanpa bisa menjanjikan apa-apa kepadamu. Aku yang salah di sini, seharusnya aku bisa menahan diriku, tapi aku tak bisa, aku mencintaimu Dina, dan kesempatan sekecil apapun yang kau berikan kepadaku aku akan mereguknya"

Dina membalas pelukan Lintang, bulir air mata hangat membasahi pipinya tanpa sadar,

"Aku juga mencintaimu Lintang, dan aku berpikir aku ingin melimpahimu dengan cinta ini selagi bisa, selagi boleh",

Kalimat Dina terhenti ketika Lintang memeluknya makin dalam dengan sendu. Percuma. Rintih Dina dalam hati, percuma kalau dilanjutkan. Mereka memang bisa saling mencurahkan cinta, tetapi mereka akan tetap saling menyakiti tanpa sadar.

Mencintai cinta, dan airmata itu sendiri di sisi lain.

Mencintai Lintang bagaikan menelan pil bersalut gula yang mengandung 90 persen kebahagiaan, tetapi terselip 10 persen racun kepedihan di dalamnya. Dan Dina meskipun tahu bahwa dibalik kebahagiaan itu ada racun yang terserap tubuhnya perlahan-lahan dan menggerogoti jiwanya dengan kepedihan, tetap saja dengan sukarela menelan pil itu setiap ada kesempatan. Tidak peduli bahwa mungkin saja racun dalam pil itu mungkin akan mengendap dan mengendap dalam aliran jiwanya dan membunuhnya dari dalam, tanpa terasa.
Biar saja. Desah Dina pelan, toh jiwaku sepertinya sudah mati kalau aku tidak bisa mencintai Lintang lagi.

Yang penting sebelum jiwanya ini mati, dia sudah pernah mencurahkan cintanya ini, dia sudah pernah mencintai Lintang dengan sepenuh hati.

Ya dia mencintai Lintang, cinta inilah yang membuatnya mampu menahan kepedihan dimalam-malam dia melepas kepulangan Lintang dari pelukannya, kembali kepada isterinya, yang tidak tahu apa-apa di rumah. Cinta inilah yang membuat Dina mampu menahan tangisannya di malam-malam gelap ketika menahankan kepedihan dan kecemburuan, membayangkan kebersamaan Lintang bersama isterinya di rumah. Cinta ini pulalah yang membuat Dina menahan perasaan dingin yang seakan memukul tulang belakangnya, ketika menyadari bahwa dia tidak bisa mengakui Lintang sebagai kekasihnya, dan dia tidak akan pernah bisa diakui sebagai kekasih Lintang.

Tapi Cinta ini pulalah yang membawa Dina kepada kesadaran menyakitkan bahwa dia harus melepaskan Lintang. Bahwa dia harus membebaskan Lintang dari mantra yang disebut cinta sejati ini.

Salah satu dari mereka harus memutuskan untuk pergi, dan Dina tahu bahwa Lintang tidak mungkin meninggalkannya. Lintang sangat mencintainya, jadi lelaki itu tidak akan pernah menyakitinya dengan meninggalkannya. Dulu Dina tidak akan pernah sanggup meninggalkan Lintang. Tetapi sekarang, entah kenapa kekuatan itu ada, kekuatan itu muncul dari dalam jiwanya, dan membuatnya semakin bertekad kuat mengambil keputusan ini.

Tidak. Dina meralat kata-katanya, kekuatan ini bukan muncul dari dalam jiwanya, kekuatan ini muncul dari dalam tubuhnya.

Dengan lembut Dina mengelus perutnya, ada kekuatan disini. Buah cintanya dengan Lintang yang sedang bertumbuh di dalam perutnya, yang semakin lama semakin bertambah kuat, semakin menegaskan keberadaannya.

Ketika pertama kali menyadari bahwa dirinya hamil, Dina menangis. Tidak, tangisannya bukanlah tangisan putus asa seorang perempuan yang hamil tanpa suami. Tangisannya adalah tangisan bahagia, tangisan bahagia seorang perempuan yang ahkirnya bisa memiliki bagian dari laki-laki yang dicintainya, di dalam tubuhnya. Selama ini dia selalu membagi lelaki yang dicintainya, entah tubuhnya, entah hatinya, dengan perempuan lain. Tetapi yang ini berbeda. Anak yang tumbuh di dalam tubuhnya adalah bagian dari Lintang, yang benar-benar miliknya. Anak ini jugalah yang memberikan kekuatan kepada Dina untuk memutuskan meninggalkan Lintang.

Dina menatap perutnya dan tersenyum lembut,

"Anakku, beri mama kekuatan ya. Mama akan meninggalkan papa, semoga kau mengerti nak, itu demi kebahagiaan papamu.

******

Sepuluh tahun telah berlalu sejak Dina menghilang, lenyap dari kehidupan Lintang. Dina menatap tubuh mungil yang sedang tertidur pulas di depannya, dielusnya rambutnya dengan penuh sayang, Alita, buah cintanya dengan Lintang telah tumbuh menjadi anak perempuan lucu yang sangat cerdas dan sangat memenangkan hatinya.

Dina menatap wajah Alita yang begitu damai dalam tidurnya, Tidak mungkin tidak membayangkan Lintang ketika menatap Alita, Lintang adalah gambaran versi feminim dari Lintang. Keseluruhan dirinya adalah penggambaran dari Lintang. dan Dina senang karenanya. Kadang-kadang dimalam sunyinya saat dia mengantarkan Dina ke dalam tidurnya, dia mengambil waktu untuk mengamati wajah Alita, lalu mengenang kembali saat-saat indahnya bersama Lintang, saat-saat itu masih menjadi bagian dalam kehidupannya yang sangat disyukurinya, fase kehidupannya yang paling berharga, yang akan selalu dikenangnya.

Kenangan memang akan selalu memudar seisi berjalannya waktu. Tapi hanya kenangan yang Dina punya tentang Lintang, karena itulah dia selalu memperbaharui kenangannya setiap malam, menjaga agar Lintang akan tetap selalu terjaga di dalam hatinya.

Dan Lintang telah memberinya Alita, bagian dari Lintang yang juga amat sangat dicintainya. Setiap malam itu pula, hati Dina akan dipenuhi oleh rasa syukur yang tiada terkira.
 
******
 
"Ibu Dina, kolega dari perusahaan Jepang itu sudah datang di ruang pertemuan", suara sang sekertaris terdengar dari intercom.

"Aku akan segera kesana", Dina mengalihkan perhatiannya kembali kepada ponsel di telinganya,

"... dan ibu guru tadi memuji gambarku sebagai gambar terbaik ma, aku dapat nilai sembilan"
Dina tersenyum membayangkan wajah anaknya yang berbinar,

"Alita sudah makan siang?"

"Sudah ma, pulang sekolah tadi Bi Inu memasak ayam kecap kesukaan Alita"

"Ya sudah, kerjakan dulu PR Alita sebelum bobok siang ya, nanti mama bawakan donat cokelat kesukaan Alita kalau mama pulang ya."

"Mama?"

“Iya?”

“Alita sayang sama mama.”

Setetes air mata bergulir di pipi Dina,

“Mama juga sayang sama Alita”

*****

Dina berjalan menuju ruang pertemuan dengan hati riang, ucapan sayang dari Alita membuat dadanya mengembang penuh rasa cinta yang luar biasa. Mereka berdua berjuang bersama, Dina membesarkan Alita sebagai orang tua tunggal. Dan Alita adalah anak yang cerdas, hanya sekali anak itu pernah bertanya kenapa dia tidak punya papa seperti anak-anak yang lain, lalu Dina menjawab dengan hati-hati,

“Alita, papa pasti sangat mencintai Alita dan bangga mempunyai putri kecil seperti Alita, tetapi kalau papa ada bersama kita, papa tidak akan bahagia. Jadi papa harus berpisah dari kita. Alita ingin papa bahagia kan?”

“Iya ma”

“Kalau begitu, biarkan semua tetap seperti ini ya? Kita tidak bisa bersama papa, tetapi mama yakin, papa sangat mencintai kita berdua. Mama akan memberikan kasih sayang dua kali lipat untuk memenuhi jatah kasih sayang dari papa untukmu”

Lalu Alita, anak kecil itu, yang seharusnya masih belum bisa menanggung penjelasan yang begitu rumit, menganggukkan kepalanya dengan penuh pengertian. Mungkin anak itu masih belum mengerti, mungkin pikiran anak-anaknya masih belum menerima kondisi ini. Tetapi Alita sangat menyayangi mamanya, dan percaya.

Saat itu Dina memandang putri kecilnya, lalu memeluknya erat-erat dan menangis.

“Terimakasih nak”

Sejak saat itu, Alita tidak pernah menanyakan papanya lagi.

Dina mendesah, mungkin dia salah waktu itu. Meninggalkan Lintang tanpa penjelasan apapun dalam kondisi hamil. Mungkin seharusnya Lintang berhak tahu bahwa dia mempunyai puteri yang sangat cantik yang pasti akan membuatnya bangga. Tapi hati Dina dipenuhi ketakutan, dia takut akan merusak rumah tangga Lintang kalau dia mengatakannya kepada lelaki itu... terlebih lagi sekarang, mungkin Lintang sudah memiliki anak-anaknya sendiri dengan isterinya, Dina sangat tidak ingin mengganggu rumah tangga lelaki itu. Lagipula Dina takut jangan-jangan Lintang memutuskan akan merebut anak itu dari dirinya, Dina tidak akan sanggup tanpa Alita, anak itulah satu-satunya alasannya bertahan hidup selama ini.

“Ibu Dina, perkenalkan ini bapak Lintang, perwakilan dari kolega perusahaan Jepang yang akan menjalin kerjasama dengan kita”

Suara itu memecah lamunan Dina di ambang pintu, wajahnya pucat pasi. Lelaki itu, lelaki yang berdiri di depannya, adalah lelaki yang selama ini selalu mengisi kenangan Dina pada malam-malam sepinya, selalu ada di sana, jauh di dalam benaknya yang mencintai selama sepuluh tahun. Lintang ada di sini !

Lintang menatap Dina dengan datar, seolah tidak mengenalinya, lalu mengulurkan tangannya. Dina menatap tangan itu dengan panik. Apakah Lintang tidak mengenalinya? Tidak mungkin! Dina melihat tatapan tersirat Lintang dan menyadari ada kemarahan tersembunyi yang bercampur dengan kelegaan di sana, lelaki itu mengenalinya!

Dengan gugup Dina menyambut genggaman tangan Lintang, dan menarik napas panjang merasakan remasan tangan Lintang di jabatannya. Remasan itu terasa tegas dan kuat. Nanti. Itu isyarat yang ingin dikatakan oleh Lintang tanpa kata kepadanya.
 
******

“Tidak kusangka, setelah mencarimu kemana-mana, aku menemukanmu disini”, Lintang tersenyum getir, menatap Dina yang duduk di depannya dengan tubuh tegang seperti ingin lari dengan wajah pucat pasi.

Dengan gusar, Lintang meraih tangan Dina, mencoba menggenggamnya, Dina menghindar, tentu saja, tetapi Lintang tidak mau menyerah, digenggamnya tangan Dina erat-erat, sampai jemari Dina melemah dan menyerah,

“Kenapa kau lakukan itu kepadaku Dina? Kenapa kau meninggalkanku dengan cara kejam seperti itu? Kau menghilang tiba-tiba, tanpa perpisahan, kau tidak bisa kutemukan dimana-mana, padahal malam sebelumnya kau masih memelukku dengan penuh kasih sayang”, Mata Lintang menatap tajam pada mata Dina yang gelisah, “Kau menghilang tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa kata-kata perpisahan.....apakah kau tidak tahu betapa paniknya aku? Betapa hancurnya aku? Aku seperti orang gila mencarimu kemana-mana, tetapi kau seolah-olah lenyap ditelan bumi, HPmu tidak pernah aktif, aku benar-benar telah kehilanganmu...”

Dina memalingkan mukanya sedih,

“Aku memang berencana untuk tidak bisa ditemukan....”

“Kenapa kau lakukan itu Dina? Kenapa kau lakukan itu kepadaku?”

“Karena aku tidak tahan lagi dalam perasaan bersalah.”

“Kau tidak perlu merasa bersalah Dina, pernikahankupun pasti akan hancur, bahkan kalaupun aku tidak bertemu denganmu”

Dina menggelengkan kepalanya,

“Karena bertemu denganku kau jadi tidak mencintai isterimu lagi, itu dosaku yang tak termaafkan Lintang, jadi aku harus pergi sebelum aku makin merusak segalanya.”

“Bukankah aku sudah bilang kepadamu, saat itu aku mengira mencintai isteriku, cintaku yang sesungguhnya hanya kepadamu!”, suara Lintang meninggi menahankan perasaannya. Kemudian dia menarik napas panjang, “Tapi sudahlah, mungkin ini semua sudah terlambat.... yang pasti aku senang bertemu denganmu, kau sehat dan baik-baik saja, itu sudah cukup memuaskanku....”, sekali lagi Lintang menghela nafas panjang, lalu melepaskan genggamannya dari Dina, “Aku akan pergi, dan aku tidak akan mengganggumu Dina kalau itu maumu, sebenarnya dulu, kalau kau mengatakan tidak ingin kau ganggu, aku pasti akan pergi juga, seharusnya kau tidak perlu menghilang seperti itu”

Kau tidak tahu mengapa aku harus menghilang. Dina membayangkan Alita.

Lintang menatap Dina dalam-dalam, tersenyum sedih,

“Yah... kalau begitu, selamat tinggal Dina.”

Dina tertegun. Ada sesuatu, ada yang disembunyikan oleh Lintang. Karena itulah reflek ketika Lintang hendak beranjak, Dina mencengkeram lengannya, menahan lelaki itu.

Ada apa Lintang?”, tanyanya dengan lembut, selembut bisikannya dulu ketika dia memeluk kepala Lintang dan membuainya di dadanya pada malam-malam mereka bersama.

Sejenak Lintang tampak kehabisan kata-kata. Lalu menarik napas panjang,

“Sangat menyakitkan bagiku ketika bisa bertemu denganmu lagi, tetapi menyadari bahwa aku tidak pantas bahkan untuk mencoba memilikimu lagi’

“Apa maksudmu?”

Lintang menundukkan kepalanya,

Lima tahun lalu aku mengalami kecelakaan.... fatal.... sebagai akibatnya, aku... aku masih bisa berfungsi sebagai laki-laki normal... tetapi aku tidak akan pernah bisa mempunyai anak”, suara Lintang bergetar, lalu memandang tangannya, tangan yang sekarang sudah tidak memakai cincin, “Isteriku.... dia tidak bisa menerima keadaanku, dia meninggalkanku setelahnya....”, Lintang menatap Dina dan tersenyum pedih, “Sekarang aku lelaki yang menyedihkan Dina, melihatmu disini, masih mencintaimu sama dalamnya seperti yang dulu, tapi terbelenggu oleh perasaan hina bahwa aku tidak pantas untukmu, aku tidak mungkin mengejarmu sementara aku tidak bisa menawarkan apa-apa kepadamu, aku tahu kau sangat mencintai anak-anak, dan aku... aku tidak bisa punya anak....”, setitik bening mengalir di sudut mata Lintang, dia mengusapnya buru-buru lalu bangkit berdiri, “Sudahlah, aku tidak mau memberatkan dirimu dengan kisahku yang menyedihkan ini.....”, Lintang menoleh dan tersenyum kepada Dina, “Setidaknya kau sehat dan bahagia, itu sudah cukup untukku, hiduplah dengan bahagia Dina...”, tangan Lintang terulur dan meremas lengan Dina, lalu membalikkan badannya tanpa kata.

Sementara itu Dina terpaku seperti patung. Ketika Lintang sudah semakin menjauh, Dina bagaikan tersadarkan, dia berseru memanggil Lintang,

“Lintang?”

Lintang tertegun, lalu berbalik, ada kepedihan di sana,

“Ya?”

“Maukah kau....”, Dina menelan ludahnya, “Maukah kau ikut denganku ke rumahku?”

Lintang mengernyitkan keningnya tidak mengerti,

“Untuk apa?”

Dina tersenyum, jantungnya berdetak keras,

“Mungkin... mungkin ada seseorang yang sangat ingin bertemu denganmu disana”

“Maksudmu...?”

“Sudahlah, ayo ikut aku, kau akan tahu ketika kau disana”
 
******

Mereka turun dari mobil, dihalaman rumah Dina yang mungil dan asri. Lintang sejenak tampak tertegun dan terpaku di balik kemudi,

“Dina.... aku.... aku tidak bisa menjalin hubungan lagi denganmu meskipun aku masih amat sangat mencintaimu... tetapi aku tidak mungkin egois, membiarkanku bersamamu, sekaligus membunuh impianmu untuk memiliki anak dalam sebuah perkawinan....”

“Ayo ikut aku Lintang”, Dina menyela, turun dari mobil sehingga mau tidak mau Lintang turun mengikutinya.

Begitu Dina membuka pagar, diikuti Lintang yang melangkah ragu-ragu di depannya, pintu depan terbuka, dan sosok mungil berpita dengan rok putih yang cantik menghambur keluar,
“Mama....!!! mama pulang cepat hari ini....!!! aku membawa gambar yang di puji oleh ibu guru, mama pasti senang melihatnya... aku....”, cuara celotehan gembira Alita terdengar memenuhi udara, tanpa henti, tak menyadari petir yang disambarkan oleh kehadirannya kepada Lintang.
Lintang hanya perlu menatap Alita, memperkirakan usianya, lalu menyadari kemiripan dirinya yang terpatri jelas di wajah Alita. Matanya berkaca-kaca, jantungnya berdegup keras, dengan gugup dia menatap mata Dina yang tersenyum, mencari jawaban di sana.

Benarkah? Tanyanya tanpa kata, hanya lewat tatapan matanya. Sejenak Dina hanya tersenyum dan jantung Lintang berdegup keras. Oh Tuhan, kumohon, semoga ini bukan mimpi, semoga ini bukan mimpi.... Lintang merapalkan doanya seperti mantra.

Lalu Dina mengangguk dan hati Lintang meledak oleh perasaan bahagia yang tidak bisa dilukiskan, begitu pula air matanya.

Kemudian, baru Alita menyadari kehadiran lelaki asing di belakang mamanya, lelaki itu nampak seperti menangis sekaligus tertawa, Alita menatap mamanya ingin tahu,

“Siapa ma?”, tanyanya penuh senyum. Alita anak yang ramah, yang selalu membagi senyum kepada siapapun, bahkan meskipun itu lelaki asing yang dibawa mamanya.

Dina merasakan matanya panas, ingin menangis. Dadanya terasa penuh, dia menatap wajah Lintang, wajah lelaki yang masih sangat dicintainya meski sepuluh tahun sudah mereka tidak pernah berjumpa. Lelaki itu tampak kehilangan kata-kata, tetapi Dina tahu, Lintang sangat bahagia. Semua penjelasan bisa dilakukan nanti. Yang penting adalah saat-saat ini, momen-momen berharga ketika mereka bisa bertemu lagi.

“Ini papamu nak”,

THE END

25 komentar:

  1. hiks hiks hiks,,,,
    mba kenapa cuma sampe situ ja?? ceritnya nanggung mba, reaksinya alita gmna?? mba lanjutin hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Fathy : heeee endingnya membuat jantung pembaca serasa di remas yah ;) tp yang pasti meski nuansanya sedih, ini happy ending banget :)
      *membayangkan dua orang tua memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang*

      Hapus
  2. hiks hiks . . nangis di kantor de jadinya..
    waah, tissue sekotak habis de.

    BalasHapus
    Balasan
    1. @ayro : waaa tapi ini kan happy ending? hiks hiks *peluk erat ayro biar ga nangis*

      Hapus
  3. Dari awal baca sy ngga tersentuh dgn perasaan dina,krn sy antipati dgn yg namanya selingkuhan,wanita simpanan&sejenisnya....apapun alasannya!
    Menerka-nerka endingnya jd males baca!
    Tapi begitu ikuti alurnya.......Woouw.....
    Diluar dugaan....hiks...Luar biasa mbak hiks.hiks :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. hiks hiks iyaaaa :) aku membuat cerita ini "setelah 10 tahun" dan "catatan terahkir untuk mas Irwan"
      adalah untuk menelaah sisi lain dari sebuah perselingkuhan, selama ini kita melihat dr sisi sang isteri... aku ingin mencoba mengorek sisi hati terdalam sang wanita ke dua

      Cerita ini sebenarnya pengembangan dari kisah "Catatan Terahkir untuk Mas Irwan"

      Hapus
  4. Huaaaa,,,untung dbkin happy ending...
    Wlw awalny udh mw triak2 "bhong!!cwo sk cr2 pmbelaan" k Mba Santhy pas Lintang blg cntany cm bwt Dina n cnta k istriny ntuh slah dl,,eh g twny ujung2ny istriny bnern ninggalin Lntang..
    Untung smpt pny anak sm Dina..hehehe...
    Keyeennn Mbaaaa,,, bkin aer mata kluar scra g sdar... *trtunduk malu*

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya yah, mungkin Lintang sedang dilematis
      menurut penelitian, laki2 bisa lho jatuh cinta pada dua orang sekaligus :)

      huwaaa vieee ini udah happy ending tp vie masih menangis hiksss maafkan akuuu membuatmu menangis yah *tepuk2 punggung vie*

      Hapus
  5. Mba kembangin jadi novel bisa gak??
    aku suka banget sama cerita ini...
    y terkadang wanita keduapun py hati yg tulus untuk g mengganggu rumah tangg orang, tpi pd akhirnya merekalah yg harus menerima caci maki, amukan n amarah org2 sekitar,,,
    mereka pula yg akhrnya mempunyai nama yg jelek,,,,
    so tw yah aku hehehehe :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. setuju Fathy, itu lho yang terjadi di masyarakat sekarang, yang namanya wanita kedua itu bener2 memang selalu menjadi tumpuan kesalahan... meski nggak menutup kemungkinan memang ada beberapa yg memang salah dan tujuannya sengaja merusak hubungan orang

      tp aku memang ingin sedikit menggali kisah2 perempuan kedua yang kadang berhati baik dan sakit sendiri pada ahkirnya :)

      Hapus
    2. dulu cerpen ini dibuat untuk dilombakan :) bisa sih dikembangin jd novel, tp bikinnya harus sepenuh perasaan soalnya tema-nye berat, bukan hanya tentang cinta, tp menyangkut tanggung jawab :)

      Hapus
    3. y mba... takutnya nanti banyak yg salah paham...
      karena banyak yang gak berfikiran sama kaya kita...
      malam ini temanku cerita tentang kisahnya, cerita yang hampir sama seperti cerpen ini...
      hikss hikss aku jadi nangis karena cerpen ini dan dgr cerita temenku :"(

      Hapus
    4. heeee iyaaa,,,, takutnya nanti dianggap pendukung perebutan suami orang hhuhuhuhu
      salam buat teman Fathy, bilang : serahkan semua pada Allah, jalan dariNya adalah yang terbaik :)

      Hapus
  6. ya ni mba aq setuju bgt klo dbkin novel,, tapi siap2 ja yaa memeras otak dan menyayat persaan :((

    BalasHapus
    Balasan
    1. waduh mba rena sangat menghayati nih,,,, aku kalah meghayatinya hehehe....
      sedih tak terkira, airmata terus keluar mba :"(

      Hapus
    2. @fathy&rena : heeeee waduh ini padahal novel happy ending yah,,,, tp memang jalan menuju happy endingnya begitu terjal :)

      Hapus
  7. aq setju bgt klo dbkin novel, aq bca ni udh lma mba, pas tw blog mu ja. tp br komen. tp klo bca novel ni siap2 memeras otak, menyayat perasaan,, :(( bsa sesegukkan bcanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Renaa : iya renaa :) ini sebenarnya adalah pengembangan dari cerpen : catatan terahkir untuk mas Irwan heeee
      tapi ini happy ending renaaa jangan menangis *usap air mata Rena*

      Hapus
  8. kata kuncinya, orang melakukan perselingkuhan pasti punya alasan tertentu, yg tentunya amat sangat sulit u dipahami??

    BalasHapus
    Balasan
    1. setuju :)
      yang paling kubenci adalah selingkuh karena nafsu, itu tidak bisa dimaafkan :)
      dan kadangkala kita tidak bisa menjudge bahwa semua perselingkuhan salah, tapi juga ga boleh mendukung perselingkuhan jd posisi di tengah2 aja kali yah ;)

      Hapus
  9. ah, selingkuh yang didasarkan pada rasa cinta...
    Mba Santhy, aku suka kalau ceritanya happy ending begini..
    soalnya suka nangis sendiri kalau baca cerita sad ending..
    btw, aku kirim email ke mba Santhy, nanti dicek yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. heeeee ariniii aku baru onlinee ntar aku cek email yaah :)
      hehe iyaa aku itu kmrin sempet dimarahin suami soalnya ceritanya sad ending and melow semua :D
      ternyata cerita happy ending lebih membahagiakan hati yaaaah *peluk*

      Hapus
  10. Mba santhy.. Cerpen mu berhasil menguras air mata...
    nice story mba...
    *peluk erat2*

    BalasHapus
  11. aduh pinter banget bikin orang nangis ya?
    huhuhu
    makasih mbak dah bikin aku nangis

    BalasHapus
  12. ya Tuhan.. ini keren bangettt....aku sukaaa....

    BalasHapus