Pagi
harinya Sani masih tertidur dan meringkuk di atas ranjangnya ketika suara interkom
pintunya berbunyi. Sani mengernyit, meraih jam beker di sebelah ranjangnya.
Masih jam enam pagi. Siapa yang
berkunjung sepagi ini?
Dengan
susah payah Sani turun dari ranjang, matanya pasti bengkak karena dia menangis
semalaman sampai ketiduran, dan kepalanya pening karenannya.
Dia
memijit tombol interkom yang berhubungan langsung dengan resepsionis di depan.
“Ya?”
gumamnya dengan suara yang masih serak.
“Nona
Sani, ada tamu untuk anda.”
Sani
langsung waspada, apakah Jeremy masih belum menyerah juga?
“Siapa?”
“Tuan
Azka meminta akses untuk naik dan menemui anda.”
Jantung
Sani langsung berdebar, teringat akan kecupan lembut di dahinya malam itu. Kenapa
Azka datang menemuinya pagi ini?
“Nona
Sani?” resepsionis di bawah memanggilnya lagi karena dia terdiam lama.
“Eh
iya. Iya, perbolehkan beliau naik.”
Setelah
mematikan interkom, dalam sekejap Sani melompat ke kamar mandi, menggosok gigi,
dan mencuci mukanya. Dia mengernyitkan kening ketika menatap wajahnya di
cermin, ada lingkaran hitam di matanya, bengkak seperti panda. Rasanya malu
menemui Azka dengan penampilan seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi.
Kedatangan Azka sama sekali tidak diduganya. Dia selesai mengganti baju
tidurnya dengan kaos longgar dan celana jeans yang nyaman ketika bel pintu apartemennya
berbunyi. Dengan gugup Sani membuka pintu itu.
Azka
berdiri di sana, tampak luar biasa tampan dengan kemeja warna hitam dan celana
jeans abu-abu. Lelaki itu membawa kantong plastik di tangannya. Dan tiba-tiba
saja Sani merasa malu ketika membayangkan penampilannya yang berantakan ini
dihadapkan dengan penampilan Azka yang begitu sempurna.
“Selamat
pagi.” Azka menyapa dengan lembut.
Sani
sejenak hanya terpaku, terpesona dengan senyum itu, “Se...selamat pagi juga.”
“Aku
membawakan sarapan.” Azka menunjukkan plastik di tangannya, “Boleh aku masuk.”
Saat
itulah Sani sadar bahwa dia hanya berdiri terpaku sambil menatap Azka. Dia
langsung memundurkan langkahnya, memberi jalan bagi Azka untuk melangkah masuk.
Lelaki
itu tampak nyaman, tidak canggung sama sekali ketika memasuki apartemen Sani,
“Di
mana aku meletakkan makanan ini? Kau punya meja makan?”
Apartemen
Sani adalah apartemen model kecil dan sederhana, dengan ruang tamu, menyambung
ke dapur yang menyatu dengan meja makan kecil,
satu kamar mandi, dan satu kamar tidur di ujung ruangan. Azka hanya
tinggal berjalan sedikit untuk menuju dapur.
“Di
sebelah sana ada meja makan, tapi mungkin lebih baik kita duduk di sini saja.”
Sani yang merasa canggung di sini, tidak pernah sebelumnya dia berduaan dengan
seorang lelaki apalagi di dalam apartemen yang cukup privat.
“Aku
meminta Albert untuk menyiapkan makanan kita.” Azka meringis, “Omelet dan sup
dari cafe, juga cokelat panas andalan kami. Ada untungnya juga menjadi pemilik
cafe.” Azka lalu duduk di sofa itu sementara Sani berdiri canggung di dekat
pintu, membuat Azka mengerutkan keningnya,
“Sini,
icipilah omelet buatan kokiku, ini menu andalan cafe untuk sarapan. Oh ya
ambilkan piring ya.”
Sani
ke dapur menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya mengambil piring dan
sendok, lalu melangkah pelan, dan akhirnya duduk di sofa samping Azka. Lelaki
itu membuka kantong-kantong kertas makanannya, dan memindahkan omelet yang
beraroma sangat harum itu ke dalam piring.
Sani
hampir meneteskan air liur mencium aroma yang sangat enak itu. Azka lalu
menyerahkan piring itu ke tangan Sani.
“Cicipilah.”
Azka menatapnya sambil tersenyum, seolah-olah menyadari ekspresi lapar Sani dan
kemudian merasa geli. Sani menerima piring itu dan membelah gulungan omelet
yang tampak begitu lembut. Begitu dibelah isian keju yang masih panas bersama
sayuran yang dicacah meleleh keluar, menebarkan aroma yang makin harum.
Sani
menyendok omelet itu dan memejamkan matanya merasakan kenikmatan yang begitu
gurih meleleh di mulutnya. Oh astaga, makanan ini enak sekali.
Ketika
dia membuka mata dia menyadari bahwa Azka mengamatinya, pipinya langsung
memerah membuat Azka terkekeh.
“Enak
ya.”
Sambil
mengambil suapan kedua, Sani mengangguk.
“Percayakah
kau kalau kubilang aku yang memasaknya?”
Sani
ternganga, “Kau bilang kokimu yang memasaknya.”
“Kalau
dari awal kubilang aku yang memasaknya, mungkin kau tidak mau memakannya.” Azka
tertawa, suaranya terdengar menyenangkan memenuhi ruangan.
“Jadi
kau bisa memasak?” Omelet itu meskipun sederhana terasa begitu nikmat,
kelembutan dan rasanya seolah semua sudah diukur dengan ahli.
Azka
tampak merenung ketika menjawab pertanyaan Sani, “Impianku adalah menjadi
seorang koki profesional. Aku sempat
bersekolah di Prancis menjalani impianku untuk menjadi seorang koki. Tetapi
kemudian aku dipanggil pulang.”
“Kenapa?”
“Karena
ayahku meninggal, dialah yang selama ini mengendalikan perusahaan kami. Dan
Keenan... kau sudah bertemu dengan Keenan kan?” Azka menatap Sani tajam, mengamati
ekspresinya. Dia menatap Sani mengangguk dengan ekspresi biasa, dan hatinya
lega, tidak ada sesuatu yang istimewa yang dirasakan oleh Sani ketika
membicarakan tentang Keenan. Dia lalu melanjutkan,
“Keenan
tidak bisa diandalkan karena hasratnya adalah di bidang seni, dan karena itulah
dia tidak mau mengambil alih tanggung jawab perusahaan yang ditinggalkan ayah
kami. Seseorang harus bertanggung jawab.”
“Jadi
kaulah yang mengambil tanggung jawab itu?”
“Ya.”
Azka tersenyum sedih, “Kutinggalkan impianku di Prancis, dan aku pulang untuk
menjadi seorang bisnisman.”
“Bukankah
kau diwarisi cafe itu? Seharusnya kau bisa mengembangkan impianmu sebagai koki
di sana.” Sani mengamatinya dengan lugu hingga Azka tersenyum. Sani tidak tahu
bahwa perusahaan ayahnya menyangkut jaringan luas di beberapa kota besar, di
bidang kuliner dan perhotelan, dan beberapa resor besar adalah milik perusahaan
ayahnya. Sani mungkin berpikir bahwa bisnisnya hanyalah cafe itu, dan mungkin
sebaiknya Sani tetap berpikir begitu. Azka tidak mau membuat Sani menjauh dan
kaku ketika menyadari bahwa dia adalah seorang miliarder.
“Perusahaan
ayahku mencakup cafe itu dan beberapa hal lain.” Jelas Azka berusaha
menyederhanakan semuanya, “Dan beberapa hal lain itu membuatku tidak bisa
bekerja sebagai koki.”
“Oh.”
Sani tampak termangu, lalu menatap Azka dengan penuh rasa ingin tahu, “Apakah
kau bahagia?”
“Apa?”
“Kau
memilih meninggalkan impianmu dan memilih memikul tanggung jawab, apakah kau
bahagia?”
Apakah dia bahagia? Pertanyaan itulah
yang sering dia tanyakan berulang-ulang kepada dirinya sendiri. Dan dia tahu
pasti jawabannya, hatinya terasa kosong.
Sama
seperti ketika dia memilih untuk memikul tanggung jawab terhadap Celina.
Hatinya terasa hampa.
“Aku
merasa tenang.” Azka tersenyum pahit menjawab pertanyaan Sani, “Tetapi, apakah
aku bahagia? ...Tidak... aku tidak bahagia. Kadang aku ingin bertindak egois,
seperti Keenan memilih mengejar impiannya dan tidak peduli pada yang lain. Jauh
di dalam hatinya dia pasti menemukan kebahagiaan sejati.” Azka tersenyum
lembut, “Mungkin aku memang tidak diciptakan untuk menikmati itu.”
Azka
tampak begitu murung, begitu gelap, dan begitu kesepian. Hingga entah kenapa
hati Sani merasakan kepedihan. Tanpa dapat ditahannya dia menyentuhkan
jemarinya di lengan Azka, membuat lelaki itu terbangun dari lamunan murungnya
dan menoleh menatap Sani,
“Kau
memilih melakukan apa yang menurutmu benar.” Sani bergumam lembut, “Setiap
orang berbeda-beda, ada yang bisa melepaskan tanggung jawabnya begitu saja,
tetapi kau tidak bisa melakukannya. Kau terlalu bertanggungjawab untuk
melakukannya.”
Azka
tersenyum, “Ya. Terkadang melelahkan menjadi orang yang bertanggungjawab.”
Lelaki itu lalu menatap Sani dengan hangat, “Aku iri kepadamu.” Gumamnya.
“Kenapa?”
“Karena
kau bisa melakukan apa yang menjadi hasratku.”
“Menjadi
hasratku?”
“Menulis.”
Azka tersenyum, “Kau hidup dari menulis. Dan aku yakin menulis adalah hasratmu,
hobimu.”
Sani
tertawa, “Menulis adalah hobiku. Aku menulis sejak lama. Kalau kau mau tahu, di
dalam benakku itu penuh dengan fantasi dari berbagai tokoh dan kisah.”
“Kisah
romantis?”
“Iya.”
Azka
tertawa, “Pantas kau begitu kesulitan menulis akhir-akhir ini,” Matanya
melembut, “Karena masalahmu dengan Jeremy?”
“Ya.
Penerbit dan editorku sudah mengejar-ngejarku karena aku jalan di tempat
akhir-akhir ini. Aku kehilangan hasrat dan kemampuan untuk menulis kisah
romantis. Ketika semua tulisanku jadi, mereka bilang tidak ada roh dalam
tulisanku, tidak seperti yang dulu.”
Tatapan
Azka berubah redup, “Mungkin kau hanya perlu mengalami pengalaman romantis lagi
untuk bisa mendapatkan kemampuan menulismu.” Jemarinya yang ramping menyentuh
pipi Sani dengan lembut, lalu tanpa diduga-duga lelaki itu menunduk dan
menciumnya.
Bibir
Azka terasa lembut menempel di bibirnya, semula begitu hati-hati dan lembut,
memberi kesempatan kepada Sani untuk menolak. Kemudian ketika tidak menemukan
penolakan apapun dari Sani, Azka melumat bibir Sani dengan lebih berani,
mencicipi kemanisan bibir itu dan mencecapnya dengan penuh perasaan. Mata
Sani terpejam menghirup aroma maskulin
yang begitu menggoda dan melingkupinya.
Mereka
berciuman cukup lama, saling menikmati, dan mengenali satu sama lain. Dan
ketika bibir mereka berpisah, napas mereka terengah, hidung dan bibir mereka
masih menempel dan mata mereka bertatapan dengan redup. Azka mencium bibirnya
sekali lagi dengan kecupan lembut sebelum kemudian menjauhkan kepalanya dan
tersenyum,
“Maafkan
aku karena melakukannya.”
Sani
langsung memundurkan tubuhnya menjauh, tanpa sadar mereka sudah berpelukan
dekat sekali. Pipinya merah padam, dan jantungnya berdebar keras, merasakan
perasaan yang tidak pernah dirasakannya.
Malu,
bingung, dan semua perasaannya bercampur menjadi satu. Dan dia tidak tahu harus
berkata apa.
“Aku
juga minta maaf.” Sani akhirnya berhasil mengeluarkan kata-kata meskipun terdengar
serak dan tercekat, “Sepertinya aku terbawa suasana...”
Azka
menghela napas panjang, menyentuh pipi Sani dengan lembut, “Aku tidak bermaksud
untuk merendahkanmu atau apa. Ini semua terjadi begitu saja.”
Sani
menghela napas panjang, “Mungkin kau harus pergi.”
“Baiklah.”
Azka tersenyum penuh pengertian, “Aku tahu kau mungkin membutuhkan waktu
sendiri.” Lelaki itu lalu bangkit dari duduknya dan melangkah ke pintu, “Aku
pergi dulu, habiskan makanannya ya.”
***
Sani
memeluk bantal dan merenung, menatap ke jendela kaca luar yang memantulkan
pemandangan langit yang biru. Merenungkan kejadian tadi.
Selama
ini dia selalu membawa prinsipnya dengan ketat, tetapi ketika bersama Azka
seakan dia menabrak semua hal yang diyakininya. Dia tidak pernah memasukkan
laki-laki ke dalam tempat pribadinya, dia tidak pernah membiarkan dirinya
disentuh dengan begitu mesra, dan membiarkan dirinya dicium. Padahal tidak ada
ikatan apapun di antara mereka.
Dengan
sedih Sani menyentuh bibirnya. Apakah karena patah hati dia berubah menjadi
perempuan murahan? Perempuan murahan yang membiarkan dirinya disentuh oleh seorang
laki-laki tanpa ikatan?
Dengan
kesal Sani melempar bantal itu ke lantai, mendesah keras. Tidak. Ini bukan
dirinya, perasaannya kepada Azka tidak dapat dideskripsikan dengan nalar. Sani
tidak pernah begini sebelumnya, bahkan dengan Jeremy sekalipun.
***
Dengan
dingin Azka mengamati berkas laporan di depannya, itu adalah report lengkap dari pegawainya di kota
asal Sani tentang kehidupan Sani dan juga Jeremy. Dia sedang berada di kantor
pusat perusahaannya, di lantai paling atas di gedung paling mewah dalam kawasan
resor paling elit di kota itu. Azka berpakaian seperti penampilannya yang biasa
ketika bekerja. Rambut disisir ke belakang dan setelan tiga potong berwarna hitam
dengan dasi kelabu. Penampilannya secara keseluruhan tampak dingin dan kaku,
sangat berbeda dengan penampilan informalnya ketika sedang berada di cafe
ataupun di depan Sani.
Azka
membaca semuanya dengan cepat, dan langsung mendapatkan semua informasi, tentang
ayah dan ibu Sani, tentang keluarganya, sekolahnya, dan kehidupan masa
kecilnya. Dan dia menyimpan dalam ingatannya yang jenius. Ya, Azka memang
memiliki kelebihan khusus dalam hal kemampuan otak. Keenan dilahirkan dengan
bakat seni yang luar biasa, sedangkan Azka dengan kemampuan otak yang di atas
rata-rata.
Setelah
itu Azka mengambil berkas tentang Jeremy, setelah mencermatinya sejenak, dia
menemukan sesuatu.
“Jeremy
bekerja di salah satu anak cabang kita.” Gumamnya, yang disambut dengan
anggukan pegawainya.
“Minta
sekretarisku menghubungi GM kita di
sana, bilang aku ingin pertemuan darurat.”
***
Keesokan
harinya hanya dalam waktu satu hari setelah Azka memberi perintah, GM itu datang menghadapnya. Dia dibawa
langsung ke ruangan Azka. Pemilik perusahaan misterius yang jarang sekali
terlihat, tetapi keputusan bisnisnya yang jeniuslah yang telah menggerakkan
seluruh jaringan perusahaan ini sehingga bisa menjadi semakin maju. Bahkan
berkali lipat lebih maju daripada ketika perusahaan ini dipimpin oleh almarhum
ayahnya.
Dia
dipanggil untuk sebuah meeting penting yang tidak tahu mengenai apa, dan
diharapkan bisa datang secepat mungkin. Hari itu masih pagi ketika GM itu memasuki ruangan besar pimpinan
tertinggi sekaligus pemilik perusahaan dan mengernyit ketika melihat ruangan
itu kosong. Hanya ada dirinya dan sang pemilik perusahaan di sana. Bagaimana
mungkin? Karena begitu urgentnya
status panggilannya, dia menyangka bahwa rapat darurat yang dimaksudkan adalah
rapat yang dihadiri seluruh pimpinan cabang.
Azka
yang duduk di kursinya tersenyum melihat kebingungan sang GM.
“Silahkan
duduk.” Azka menunggu sampai GM itu
duduk dan memulai percakapan, “Anda
pasti bingung kenapa anda dipanggil kemari sendirian.”
GM itu mengangguk dan mulai tampak
gugup, membuat Azka tersenyum geli dalam hati. Dia mengeluarkan berkas tentang
Jeremy di mejanya.
“Orang
ini .... ” Azka menunjukkan foto Jeremy
yang tampak jelas, “Bekerja di perusahaan kita.”
GM itu menganggukkan kepalanya.
Tentu saja dia mengenali wajah itu, itu adalah Jeremy, Manager Pemasaran mereka.
“Dia adalah Manager Pemasaran untuk cabang yang saya pegang,” GM itu memberikan informasi meskipun
yakin bahwa sang pemilik perusahaan sudah tahu.
“Aku
merasa terganggu dengan orang ini,” gumam Azka dingin. “Bisa dikatakan dia
mengusik ketenangan orang yang aku sayangi.”
GM itu mengernyit. Jeremy
melakukannya? Pasti lelaki itu melakukannya karena tidak tahu bahwa Azka adalah
pemilik perusahaan mereka. Kalau sudah begini dia tidak akan bisa apa-apa untuk
membantu Jeremy.
“Anda
ingin saya memecatnya?” gumamnya, mencoba menebak apa keinginan Azka yang saat
ini memandangnya dengan tatapan kelam dan misterius.
Azka
menggelengkan kepala, “Tidak. Aku hanya ingin dia tersingkir jauh dan tidak
bisa menjangkau ke dekat-dekat sini.” Matanya bersinar tajam, “Bilang padanya
bahwa dia berprestasi, lakukan apapun untuk meyakinkannya, kau mendapatkan
izinku. Setelah itu berikan dia promosi tetapi tempatkan dia ke anak cabang
kita yang paling jauh dari sini.” Azka nampak berpikir, “Cari tempat di mana
dia sulit untuk sering-sering berkunjung ke area sekitar sini.”
GM itu hanya bisa menganggukkan
kepalanya. Gosip itu ternyata benar. Mereka bilang bahwa pemilik perusahaan
mereka yang misterius sangat tampan tetapi kejam. Betapa tidak beruntungnya
orang-orang yang berani mengusiknya. Karena lelaki itu tidak segan-segan
memberikan pembalasan yang lebih menyakitkan. Seperti halnya pada kasus Jeremy,
Azka rupanya tak segan-segan memberikan kedok promosi hanya agar Jeremy menyingkir
dari kehidupannya dan Sani.
***
Sani
sedang mengetikkan adegan romantis di tengah hujan, jemarinya mengalir lumayan
lancar untuk mengetik kisah itu. Mungkin karena didukung suasana hujan di luar
yang membuat kamarnya temaram dan syahdu.
Lalu
ponselnya berkedip-kedip. Sani tersenyum ketika melihat nama ibunya di sana.
“Kau
pasti tidak akan percaya.” Gumam ibunya bahkan sebelum Sani mengucapkan salam.
“Tidak
percaya apa?”
“Jeremy.”
Ibunya menyebutkan nama Jeremy dengan hati-hati, “Dia tadi kemari, untuk
berpamitan.”
“Berpamitan?”
“Ya.
Dia bilang dia mendapatkan promosi yang sangat bagus di tempatnya bekerja,
jabatannya naik tiga tingkat. Tetapi dia harus pindah ke tempat yang jauh.”
Sang ibu menyebutkan tempat yang sangat jauh dari tempat mereka sekarang,
“Kasihan dia, Sani. Ibu memang jengkel kepadanya, tetapi dia, meskipun
mendapatkan promosi yang harusnya membahagiakan, dia tampak kurus dan sedih....
mungkin itu semua karena dirimu.”
“Itu
karena salahnya sendiri dan dia yang harus menanggungnya.” Sani mencoba
bersikap kejam. Dia harus begitu, kalau tidak kelemahannya akan dimanfaatkan
oleh Jeremy lagi.
Setelah
bercakap-cakap dengan ibunya di telepon sejenak, Sani mengakhiri percakapan dan
menutup telepon, tiba-tiba merasakan kelegaan yang luar biasa.
Jeremy
sudah pindah ke tempat yang jauh, itu berarti Jeremy tidak akan bisa
mengganggunya lagi. Sekarang dia bisa fokus untuk menyembuhkan dirinya, dan
menata kehidupannya yang baru.
***
Malam
itu Sani menatap cafe itu dengan ragu. Sejak kejadian ciuman tak disengaja itu,
Sani tidak pernah datang ke cafe itu lagi. Dia takut. Ya, kedekatannya dengan
Azka yang begitu cepat ternyata membuatnya ketakutan dan lari. Mungkin karena
dia belum siap membuka hatinya untuk lelaki lain, mungkin juga karena dia masih
belum sembuh dari prasangkanya bahwa semua lelaki itu sama, hannya akan
menyakitinya.
Tetapi
malam itu Sani berusaha memberanikan diri, dia harus bisa menghadapi Azka, dan
menelaah perasaannya. Mencoba mencari tahu kenapa lelaki itu sangat sulit
dikeluarkan dari benaknya.
***
bersambung ke part 6
wah wah Azka main cium2 ajah ne *.*
BalasHapusMau jg donk di cium #eh
Hmm Azka koq kejam yah? :/
Moga2 cma sgitu ajh kejam'y :D
Thanks mba San :* *peluk erat*
Azka jgn kejam2 y ŜãÝåňĢ, tar sani atut, xixixixixix
BalasHapusAzka(kayak nama anak dedy corbuzer)hohihihihihi
º°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º ya mba san
azka diam2 menghanyutkan...
BalasHapusmakasih mbk shanty
makin romantis... Cie2 kapan mereka akan saling terbuka? D tunggu kelanjutanx, thanks mbak santhy *lope*
BalasHapusaaiiihh,,,,Azkaaa,,,,
BalasHapusNakal,,yaa,,
Lapor Papi Deddy nih yaaa,,???
Hehehhhee
Mbak Santh,,,maakaasiih so much,,,
kasian azka nya..tp gpp lah kan dy org yg brtanggung jwab..hahay:D
BalasHapusAhihihi asiik, mereka udah ciumaan
BalasHapusAyolah Sani, akui, dirimu itu jatuh cinta sama Azka :3
Makasih mb saan :D
Mba Santhy pengen omelet na kayakna enak banget, Tar Sani gimana Azka khan mo married? Mksh Mb Santhy nunggu lanjutanna;-)
BalasHapusoh, nooooooo..
BalasHapusknpa mereka ciuman..
shrusx ciuman itu buat aku.. Hikss.. @_@
Hwaaaaaaaaaaa ciyuuusssss part ini keceeeeeeee......hwahwahwa
BalasHapusAkhirnya Jeremy minggat jauh!!!#pelukAzka*eh
yes ..akhirnya si jeremy enyah juga yah ..dia pndah ke tmpat yang jauuuhhhh ..bagus azka stuju dgnmuuu ..
BalasHapusaduuh kangen abang keenan nih mba shan ..ko ga muncul yah ??
Uuuh,,Azka aku padamu deh,,,,
BalasHapusTpi Azka kan udah bertunangan ,dan sebntr lgi menikah
Gimana perasaan sani entr klo tahu azka udah bertunangan ???
Mba Shanty gak sbr nunggu bab itu,,
akhirnya jeremy enyah juga...
BalasHapuswaaah ternyata azka kejam juga ya ma jeremy hihihi
azka... kmu maenn cium sani z deh
inget kmu msh punya tunganan loh hihihi
Aih aih azka ternyata agresif possesif..
BalasHapusBisa masak lagi...oh so cweeet
wah tu jeremy buang aj ke merauke klo perlu yg sering kena tsunami
Wahaha Novelnya Mbak Shanty emang TOP nihh walaupun Azka nggak sekejam seperti [ara tokoh2 novel ARSAS and series tapi disini Azka cukup keren
BalasHapusNovel ini khas Mbak Shanty bgt
Hehehehe
LanjuT nya kapan. . ? NOvel yg 1 ne qu D tgGu bngt. . .
BalasHapusTanks.
si azka ternyata romantis juga
BalasHapushaha maen langsung cium lagi?
kapan mbak kelanjutannya?
udah gak sabar ni?
makasih mbak santhy
fotonya keren konsepnya :D
BalasHapus