Rabu, 06 Maret 2013

You've Got Me From Hello Part 5



Pagi harinya Sani masih tertidur dan meringkuk di atas ranjangnya ketika suara interkom pintunya berbunyi. Sani mengernyit, meraih jam beker di sebelah ranjangnya. Masih jam enam pagi. Siapa yang berkunjung sepagi ini?

Dengan susah payah Sani turun dari ranjang, matanya pasti bengkak karena dia menangis semalaman sampai ketiduran, dan kepalanya pening karenannya.





Dia memijit tombol interkom yang berhubungan langsung dengan resepsionis di depan.

“Ya?” gumamnya dengan suara yang masih serak.

“Nona Sani, ada tamu untuk anda.”

Sani langsung waspada, apakah Jeremy masih belum menyerah juga?

“Siapa?”

“Tuan Azka meminta akses untuk naik dan menemui anda.”

Jantung Sani langsung berdebar, teringat akan kecupan lembut di dahinya malam itu. Kenapa Azka datang menemuinya pagi ini?

“Nona Sani?” resepsionis di bawah memanggilnya lagi karena dia terdiam lama.

“Eh iya. Iya, perbolehkan beliau naik.”

Setelah mematikan interkom, dalam sekejap Sani melompat ke kamar mandi, menggosok gigi, dan mencuci mukanya. Dia mengernyitkan kening ketika menatap wajahnya di cermin, ada lingkaran hitam di matanya, bengkak seperti panda. Rasanya malu menemui Azka dengan penampilan seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi. Kedatangan Azka sama sekali tidak diduganya. Dia selesai mengganti baju tidurnya dengan kaos longgar dan celana jeans yang nyaman ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Dengan gugup Sani membuka pintu itu.

Azka berdiri di sana, tampak luar biasa tampan dengan kemeja warna hitam dan celana jeans abu-abu. Lelaki itu membawa kantong plastik di tangannya. Dan tiba-tiba saja Sani merasa malu ketika membayangkan penampilannya yang berantakan ini dihadapkan dengan penampilan Azka yang begitu sempurna.

“Selamat pagi.” Azka menyapa dengan lembut.

Sani sejenak hanya terpaku, terpesona dengan senyum itu, “Se...selamat pagi juga.”

“Aku membawakan sarapan.” Azka menunjukkan plastik di tangannya, “Boleh aku masuk.”

Saat itulah Sani sadar bahwa dia hanya berdiri terpaku sambil menatap Azka. Dia langsung memundurkan langkahnya, memberi jalan bagi Azka untuk melangkah masuk.

Lelaki itu tampak nyaman, tidak canggung sama sekali ketika memasuki apartemen Sani,

“Di mana aku meletakkan makanan ini? Kau punya meja makan?”

Apartemen Sani adalah apartemen model kecil dan sederhana, dengan ruang tamu, menyambung ke dapur yang menyatu dengan meja makan kecil,  satu kamar mandi, dan satu kamar tidur di ujung ruangan. Azka hanya tinggal berjalan sedikit untuk menuju dapur.

“Di sebelah sana ada meja makan, tapi mungkin lebih baik kita duduk di sini saja.” Sani yang merasa canggung di sini, tidak pernah sebelumnya dia berduaan dengan seorang lelaki apalagi di dalam apartemen yang cukup privat.

“Aku meminta Albert untuk menyiapkan makanan kita.” Azka meringis, “Omelet dan sup dari cafe, juga cokelat panas andalan kami. Ada untungnya juga menjadi pemilik cafe.” Azka lalu duduk di sofa itu sementara Sani berdiri canggung di dekat pintu, membuat Azka mengerutkan keningnya,

“Sini, icipilah omelet buatan kokiku, ini menu andalan cafe untuk sarapan. Oh ya ambilkan piring ya.”

Sani ke dapur menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya mengambil piring dan sendok, lalu melangkah pelan, dan akhirnya duduk di sofa samping Azka. Lelaki itu membuka kantong-kantong kertas makanannya, dan memindahkan omelet yang beraroma sangat harum itu ke dalam piring.

Sani hampir meneteskan air liur mencium aroma yang sangat enak itu. Azka lalu menyerahkan piring itu ke tangan Sani.

“Cicipilah.” Azka menatapnya sambil tersenyum, seolah-olah menyadari ekspresi lapar Sani dan kemudian merasa geli. Sani menerima piring itu dan membelah gulungan omelet yang tampak begitu lembut. Begitu dibelah isian keju yang masih panas bersama sayuran yang dicacah meleleh keluar, menebarkan aroma yang makin harum.

Sani menyendok omelet itu dan memejamkan matanya merasakan kenikmatan yang begitu gurih meleleh di mulutnya. Oh astaga, makanan ini enak sekali.

Ketika dia membuka mata dia menyadari bahwa Azka mengamatinya, pipinya langsung memerah membuat Azka terkekeh.

“Enak ya.”

Sambil mengambil suapan kedua, Sani mengangguk.

“Percayakah kau kalau kubilang aku yang memasaknya?”

Sani ternganga, “Kau bilang kokimu yang memasaknya.”

“Kalau dari awal kubilang aku yang memasaknya, mungkin kau tidak mau memakannya.” Azka tertawa, suaranya terdengar menyenangkan memenuhi ruangan.

“Jadi kau bisa memasak?” Omelet itu meskipun sederhana terasa begitu nikmat, kelembutan dan rasanya seolah semua sudah diukur dengan ahli.

Azka tampak merenung ketika menjawab pertanyaan Sani, “Impianku adalah menjadi seorang koki profesional.  Aku sempat bersekolah di Prancis menjalani impianku untuk menjadi seorang koki. Tetapi kemudian aku dipanggil pulang.”

“Kenapa?”

“Karena ayahku meninggal, dialah yang selama ini mengendalikan perusahaan kami. Dan Keenan... kau sudah bertemu dengan Keenan kan?” Azka menatap Sani tajam, mengamati ekspresinya. Dia menatap Sani mengangguk dengan ekspresi biasa, dan hatinya lega, tidak ada sesuatu yang istimewa yang dirasakan oleh Sani ketika membicarakan tentang Keenan. Dia lalu melanjutkan,

“Keenan tidak bisa diandalkan karena hasratnya adalah di bidang seni, dan karena itulah dia tidak mau mengambil alih tanggung jawab perusahaan yang ditinggalkan ayah kami. Seseorang harus bertanggung jawab.”

“Jadi kaulah yang mengambil tanggung jawab itu?”

“Ya.” Azka tersenyum sedih, “Kutinggalkan impianku di Prancis, dan aku pulang untuk menjadi seorang bisnisman.”

“Bukankah kau diwarisi cafe itu? Seharusnya kau bisa mengembangkan impianmu sebagai koki di sana.” Sani mengamatinya dengan lugu hingga Azka tersenyum. Sani tidak tahu bahwa perusahaan ayahnya menyangkut jaringan luas di beberapa kota besar, di bidang kuliner dan perhotelan, dan beberapa resor besar adalah milik perusahaan ayahnya. Sani mungkin berpikir bahwa bisnisnya hanyalah cafe itu, dan mungkin sebaiknya Sani tetap berpikir begitu. Azka tidak mau membuat Sani menjauh dan kaku ketika menyadari bahwa dia adalah seorang miliarder.

“Perusahaan ayahku mencakup cafe itu dan beberapa hal lain.” Jelas Azka berusaha menyederhanakan semuanya, “Dan beberapa hal lain itu membuatku tidak bisa bekerja sebagai koki.”

“Oh.” Sani tampak termangu, lalu menatap Azka dengan penuh rasa ingin tahu, “Apakah kau bahagia?”

“Apa?”

“Kau memilih meninggalkan impianmu dan memilih memikul tanggung jawab, apakah kau bahagia?”

Apakah dia bahagia? Pertanyaan itulah yang sering dia tanyakan berulang-ulang kepada dirinya sendiri. Dan dia tahu pasti jawabannya, hatinya terasa kosong.

Sama seperti ketika dia memilih untuk memikul tanggung jawab terhadap Celina. Hatinya terasa hampa.

“Aku merasa tenang.” Azka tersenyum pahit menjawab pertanyaan Sani, “Tetapi, apakah aku bahagia? ...Tidak... aku tidak bahagia. Kadang aku ingin bertindak egois, seperti Keenan memilih mengejar impiannya dan tidak peduli pada yang lain. Jauh di dalam hatinya dia pasti menemukan kebahagiaan sejati.” Azka tersenyum lembut, “Mungkin aku memang tidak diciptakan untuk menikmati itu.”

Azka tampak begitu murung, begitu gelap, dan begitu kesepian. Hingga entah kenapa hati Sani merasakan kepedihan. Tanpa dapat ditahannya dia menyentuhkan jemarinya di lengan Azka, membuat lelaki itu terbangun dari lamunan murungnya dan menoleh menatap Sani,

“Kau memilih melakukan apa yang menurutmu benar.” Sani bergumam lembut, “Setiap orang berbeda-beda, ada yang bisa melepaskan tanggung jawabnya begitu saja, tetapi kau tidak bisa melakukannya. Kau terlalu bertanggungjawab untuk melakukannya.”

Azka tersenyum, “Ya. Terkadang melelahkan menjadi orang yang bertanggungjawab.” Lelaki itu lalu menatap Sani dengan hangat, “Aku iri kepadamu.” Gumamnya.

“Kenapa?”

“Karena kau bisa melakukan apa yang menjadi hasratku.”

“Menjadi hasratku?”

“Menulis.” Azka tersenyum, “Kau hidup dari menulis. Dan aku yakin menulis adalah hasratmu, hobimu.”

Sani tertawa, “Menulis adalah hobiku. Aku menulis sejak lama. Kalau kau mau tahu, di dalam benakku itu penuh dengan fantasi dari berbagai tokoh dan kisah.”

“Kisah romantis?”

“Iya.”

Azka tertawa, “Pantas kau begitu kesulitan menulis akhir-akhir ini,” Matanya melembut, “Karena masalahmu dengan Jeremy?”

“Ya. Penerbit dan editorku sudah mengejar-ngejarku karena aku jalan di tempat akhir-akhir ini. Aku kehilangan hasrat dan kemampuan untuk menulis kisah romantis. Ketika semua tulisanku jadi, mereka bilang tidak ada roh dalam tulisanku, tidak seperti yang dulu.”

Tatapan Azka berubah redup, “Mungkin kau hanya perlu mengalami pengalaman romantis lagi untuk bisa mendapatkan kemampuan menulismu.” Jemarinya yang ramping menyentuh pipi Sani dengan lembut, lalu tanpa diduga-duga lelaki itu menunduk dan menciumnya.
Bibir Azka terasa lembut menempel di bibirnya, semula begitu hati-hati dan lembut, memberi kesempatan kepada Sani untuk menolak. Kemudian ketika tidak menemukan penolakan apapun dari Sani, Azka melumat bibir Sani dengan lebih berani, mencicipi kemanisan bibir itu dan mencecapnya dengan penuh perasaan. Mata Sani  terpejam menghirup aroma maskulin yang begitu menggoda dan melingkupinya.

Mereka berciuman cukup lama, saling menikmati, dan mengenali satu sama lain. Dan ketika bibir mereka berpisah, napas mereka terengah, hidung dan bibir mereka masih menempel dan mata mereka bertatapan dengan redup. Azka mencium bibirnya sekali lagi dengan kecupan lembut sebelum kemudian menjauhkan kepalanya dan tersenyum,

“Maafkan aku karena melakukannya.”

Sani langsung memundurkan tubuhnya menjauh, tanpa sadar mereka sudah berpelukan dekat sekali. Pipinya merah padam, dan jantungnya berdebar keras, merasakan perasaan yang tidak pernah dirasakannya.

Malu, bingung, dan semua perasaannya bercampur menjadi satu. Dan dia tidak tahu harus berkata apa.

“Aku juga minta maaf.” Sani akhirnya berhasil mengeluarkan kata-kata meskipun terdengar serak dan tercekat, “Sepertinya aku terbawa suasana...”

Azka menghela napas panjang, menyentuh pipi Sani dengan lembut, “Aku tidak bermaksud untuk merendahkanmu atau apa. Ini semua terjadi begitu saja.”

Sani menghela napas panjang, “Mungkin kau harus pergi.”

“Baiklah.” Azka tersenyum penuh pengertian, “Aku tahu kau mungkin membutuhkan waktu sendiri.” Lelaki itu lalu bangkit dari duduknya dan melangkah ke pintu, “Aku pergi dulu, habiskan makanannya ya.”
***

Sani memeluk bantal dan merenung, menatap ke jendela kaca luar yang memantulkan pemandangan langit yang biru. Merenungkan kejadian tadi.

Selama ini dia selalu membawa prinsipnya dengan ketat, tetapi ketika bersama Azka seakan dia menabrak semua hal yang diyakininya. Dia tidak pernah memasukkan laki-laki ke dalam tempat pribadinya, dia tidak pernah membiarkan dirinya disentuh dengan begitu mesra, dan membiarkan dirinya dicium. Padahal tidak ada ikatan apapun di antara mereka.

Dengan sedih Sani menyentuh bibirnya. Apakah karena patah hati dia berubah menjadi perempuan murahan? Perempuan murahan yang membiarkan dirinya disentuh oleh seorang laki-laki tanpa ikatan?

Dengan kesal Sani melempar bantal itu ke lantai, mendesah keras. Tidak. Ini bukan dirinya, perasaannya kepada Azka tidak dapat dideskripsikan dengan nalar. Sani tidak pernah begini sebelumnya, bahkan dengan Jeremy sekalipun.
***

Dengan dingin Azka mengamati berkas laporan di depannya, itu adalah report lengkap dari pegawainya di kota asal Sani tentang kehidupan Sani dan juga Jeremy. Dia sedang berada di kantor pusat perusahaannya, di lantai paling atas di gedung paling mewah dalam kawasan resor paling elit di kota itu. Azka berpakaian seperti penampilannya yang biasa ketika bekerja. Rambut disisir ke belakang dan setelan tiga potong berwarna hitam dengan dasi kelabu. Penampilannya secara keseluruhan tampak dingin dan kaku, sangat berbeda dengan penampilan informalnya ketika sedang berada di cafe ataupun di depan Sani.

Azka membaca semuanya dengan cepat, dan langsung mendapatkan semua informasi, tentang ayah dan ibu Sani, tentang keluarganya, sekolahnya, dan kehidupan masa kecilnya. Dan dia menyimpan dalam ingatannya yang jenius. Ya, Azka memang memiliki kelebihan khusus dalam hal kemampuan otak. Keenan dilahirkan dengan bakat seni yang luar biasa, sedangkan Azka dengan kemampuan otak yang di atas rata-rata.

Setelah itu Azka mengambil berkas tentang Jeremy, setelah mencermatinya sejenak, dia menemukan sesuatu.

“Jeremy bekerja di salah satu anak cabang kita.” Gumamnya, yang disambut dengan anggukan pegawainya.

“Minta sekretarisku menghubungi GM kita di sana, bilang aku ingin pertemuan darurat.”
***

Keesokan harinya hanya dalam waktu satu hari setelah Azka memberi perintah, GM itu datang menghadapnya. Dia dibawa langsung ke ruangan Azka. Pemilik perusahaan misterius yang jarang sekali terlihat, tetapi keputusan bisnisnya yang jeniuslah yang telah menggerakkan seluruh jaringan perusahaan ini sehingga bisa menjadi semakin maju. Bahkan berkali lipat lebih maju daripada ketika perusahaan ini dipimpin oleh almarhum ayahnya.

Dia dipanggil untuk sebuah meeting penting yang tidak tahu mengenai apa, dan diharapkan bisa datang secepat mungkin. Hari itu masih pagi ketika GM itu memasuki ruangan besar pimpinan tertinggi sekaligus pemilik perusahaan dan mengernyit ketika melihat ruangan itu kosong. Hanya ada dirinya dan sang pemilik perusahaan di sana. Bagaimana mungkin? Karena begitu urgentnya status panggilannya, dia menyangka bahwa rapat darurat yang dimaksudkan adalah rapat yang dihadiri seluruh pimpinan cabang.

Azka yang duduk di kursinya tersenyum melihat kebingungan sang GM.

“Silahkan duduk.” Azka menunggu sampai GM itu duduk dan memulai percakapan,  “Anda pasti bingung kenapa anda dipanggil kemari sendirian.”

GM itu mengangguk dan mulai tampak gugup, membuat Azka tersenyum geli dalam hati. Dia mengeluarkan berkas tentang Jeremy di mejanya.

“Orang ini .... ” Azka menunjukkan foto Jeremy yang tampak jelas, “Bekerja di perusahaan kita.”

GM itu menganggukkan kepalanya. Tentu saja dia mengenali wajah itu, itu adalah Jeremy, Manager Pemasaran mereka. “Dia adalah Manager Pemasaran untuk cabang yang saya pegang,” GM itu memberikan informasi meskipun yakin bahwa sang pemilik perusahaan sudah tahu.

“Aku merasa terganggu dengan orang ini,” gumam Azka dingin. “Bisa dikatakan dia mengusik ketenangan orang yang aku sayangi.”

GM itu mengernyit. Jeremy melakukannya? Pasti lelaki itu melakukannya karena tidak tahu bahwa Azka adalah pemilik perusahaan mereka. Kalau sudah begini dia tidak akan bisa apa-apa untuk membantu Jeremy.

“Anda ingin saya memecatnya?” gumamnya, mencoba menebak apa keinginan Azka yang saat ini memandangnya dengan tatapan kelam dan misterius.

Azka menggelengkan kepala, “Tidak. Aku hanya ingin dia tersingkir jauh dan tidak bisa menjangkau ke dekat-dekat sini.” Matanya bersinar tajam, “Bilang padanya bahwa dia berprestasi, lakukan apapun untuk meyakinkannya, kau mendapatkan izinku. Setelah itu berikan dia promosi tetapi tempatkan dia ke anak cabang kita yang paling jauh dari sini.” Azka nampak berpikir, “Cari tempat di mana dia sulit untuk sering-sering berkunjung ke area sekitar sini.”

GM itu hanya bisa menganggukkan kepalanya. Gosip itu ternyata benar. Mereka bilang bahwa pemilik perusahaan mereka yang misterius sangat tampan tetapi kejam. Betapa tidak beruntungnya orang-orang yang berani mengusiknya. Karena lelaki itu tidak segan-segan memberikan pembalasan yang lebih menyakitkan. Seperti halnya pada kasus Jeremy, Azka rupanya tak segan-segan memberikan kedok promosi hanya agar Jeremy menyingkir dari kehidupannya dan Sani.
***

Sani sedang mengetikkan adegan romantis di tengah hujan, jemarinya mengalir lumayan lancar untuk mengetik kisah itu. Mungkin karena didukung suasana hujan di luar yang membuat kamarnya temaram dan syahdu.

Lalu ponselnya berkedip-kedip. Sani tersenyum ketika melihat nama ibunya di sana.

“Kau pasti tidak akan percaya.” Gumam ibunya bahkan sebelum Sani mengucapkan salam.

“Tidak percaya apa?”

“Jeremy.” Ibunya menyebutkan nama Jeremy dengan hati-hati, “Dia tadi kemari, untuk berpamitan.”

“Berpamitan?”

“Ya. Dia bilang dia mendapatkan promosi yang sangat bagus di tempatnya bekerja, jabatannya naik tiga tingkat. Tetapi dia harus pindah ke tempat yang jauh.” Sang ibu menyebutkan tempat yang sangat jauh dari tempat mereka sekarang, “Kasihan dia, Sani. Ibu memang jengkel kepadanya, tetapi dia, meskipun mendapatkan promosi yang harusnya membahagiakan, dia tampak kurus dan sedih.... mungkin itu semua karena dirimu.”

“Itu karena salahnya sendiri dan dia yang harus menanggungnya.” Sani mencoba bersikap kejam. Dia harus begitu, kalau tidak kelemahannya akan dimanfaatkan oleh Jeremy lagi.

Setelah bercakap-cakap dengan ibunya di telepon sejenak, Sani mengakhiri percakapan dan menutup telepon, tiba-tiba merasakan kelegaan yang luar biasa.

Jeremy sudah pindah ke tempat yang jauh, itu berarti Jeremy tidak akan bisa mengganggunya lagi. Sekarang dia bisa fokus untuk menyembuhkan dirinya, dan menata kehidupannya yang baru.
***

Malam itu Sani menatap cafe itu dengan ragu. Sejak kejadian ciuman tak disengaja itu, Sani tidak pernah datang ke cafe itu lagi. Dia takut. Ya, kedekatannya dengan Azka yang begitu cepat ternyata membuatnya ketakutan dan lari. Mungkin karena dia belum siap membuka hatinya untuk lelaki lain, mungkin juga karena dia masih belum sembuh dari prasangkanya bahwa semua lelaki itu sama, hannya akan menyakitinya.

Tetapi malam itu Sani berusaha memberanikan diri, dia harus bisa menghadapi Azka, dan menelaah perasaannya. Mencoba mencari tahu kenapa lelaki itu sangat sulit dikeluarkan dari benaknya.
*** 
bersambung ke part 6

18 komentar:

  1. wah wah Azka main cium2 ajah ne *.*
    Mau jg donk di cium #eh

    Hmm Azka koq kejam yah? :/
    Moga2 cma sgitu ajh kejam'y :D

    Thanks mba San :* *peluk erat*

    BalasHapus
  2. Azka jgn kejam2 y ŜãÝåňĢ, tar sani atut, xixixixixix
    Azka(kayak nama anak dedy corbuzer)hohihihihihi
    º°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º ya mba san

    BalasHapus
  3. azka diam2 menghanyutkan...
    makasih mbk shanty

    BalasHapus
  4. makin romantis... Cie2 kapan mereka akan saling terbuka? D tunggu kelanjutanx, thanks mbak santhy *lope*

    BalasHapus
  5. aaiiihh,,,,Azkaaa,,,,
    Nakal,,yaa,,
    Lapor Papi Deddy nih yaaa,,???

    Hehehhhee

    Mbak Santh,,,maakaasiih so much,,,

    BalasHapus
  6. kasian azka nya..tp gpp lah kan dy org yg brtanggung jwab..hahay:D

    BalasHapus
  7. Ahihihi asiik, mereka udah ciumaan
    Ayolah Sani, akui, dirimu itu jatuh cinta sama Azka :3
    Makasih mb saan :D

    BalasHapus
  8. Mba Santhy pengen omelet na kayakna enak banget, Tar Sani gimana Azka khan mo married? Mksh Mb Santhy nunggu lanjutanna;-)

    BalasHapus
  9. oh, nooooooo..
    knpa mereka ciuman..
    shrusx ciuman itu buat aku.. Hikss.. @_@

    BalasHapus
  10. Hwaaaaaaaaaaa ciyuuusssss part ini keceeeeeeee......hwahwahwa
    Akhirnya Jeremy minggat jauh!!!#pelukAzka*eh

    BalasHapus
  11. yes ..akhirnya si jeremy enyah juga yah ..dia pndah ke tmpat yang jauuuhhhh ..bagus azka stuju dgnmuuu ..
    aduuh kangen abang keenan nih mba shan ..ko ga muncul yah ??

    BalasHapus
  12. Uuuh,,Azka aku padamu deh,,,,
    Tpi Azka kan udah bertunangan ,dan sebntr lgi menikah
    Gimana perasaan sani entr klo tahu azka udah bertunangan ???

    Mba Shanty gak sbr nunggu bab itu,,

    BalasHapus
  13. akhirnya jeremy enyah juga...
    waaah ternyata azka kejam juga ya ma jeremy hihihi

    azka... kmu maenn cium sani z deh
    inget kmu msh punya tunganan loh hihihi

    BalasHapus
  14. Aih aih azka ternyata agresif possesif..
    Bisa masak lagi...oh so cweeet
    wah tu jeremy buang aj ke merauke klo perlu yg sering kena tsunami

    BalasHapus
  15. Wahaha Novelnya Mbak Shanty emang TOP nihh walaupun Azka nggak sekejam seperti [ara tokoh2 novel ARSAS and series tapi disini Azka cukup keren
    Novel ini khas Mbak Shanty bgt
    Hehehehe

    BalasHapus
  16. LanjuT nya kapan. . ? NOvel yg 1 ne qu D tgGu bngt. . .
    Tanks.

    BalasHapus
  17. si azka ternyata romantis juga
    haha maen langsung cium lagi?
    kapan mbak kelanjutannya?
    udah gak sabar ni?
    makasih mbak santhy

    BalasHapus