Sani
mengernyit melihat kehadiran Azka di sana. Itu pria pemilik cafe itu, batinnya
bingung. Tetapi kemudian dia melihat kesempatan untuk melarikan diri dari Jeremy,
pegangan Jeremy di tangannya melemah, membuat Sani bisa menyentakkan tangannya
dan melepaskan diri.
“Sani.”
Jeremy masih berusaha mengikuti Sani, tetapi dengan cepat Sani melompat,
bersembunyi di belakang punggung Azka yang bidang, dan dengan penuh pengertian
pula Azka langsung berdiri melindunginya.
“Saya
rasa Sani tidak mau berbicara lagi dengan anda.’
Mata
Jeremy memancar marah menatap ke arah Azka, “Saya tidak tahu anda siapa.”
Desisnya geram, “Tetapi Sani adalah tunangan saya dan saya berhak berbicara
dengannya.”
“Mantan
tunangan.” Sani menyela dari punggung Azka, “Dan aku tidak mau berbicara
denganmu.”
“Anda
dengar bukan?” Azka melemparkan pandangan mencemooh ke arah Jeremy, “Saya rasa
lebih baik anda meninggalkan Sani sendirian.”
Kemudian
dengan sikap tegas, sebelum Jeremy bisa berbuat apa-apa, Azka menggiring Sani
memasuki mobilnya, meninggalkan Jeremy yang terperangah dengan muka masam di
sana.
***
“Dia
mantan tunanganku.” Sani melirik gelisah ke arah Azka, setelah dia berada di
dalam mobil dan Azka melajutkan mobilnya, Sani baru menyadari bahwa dia telah
begitu saja masuk ke dalam mobil seorang lelaki yang bahkan hampir sama sekali
tidak dikenalnya.
Azka
melirik sedikit ke arah Sani, ekspresi wajahnya tidak bisa ditebak, “Mantan?” tanyanya tenang.
Sani
menganggukkan kepalanya, “Ya, hubungan kami tidak berjalan sebaik semestinya,
aku memutuskan hubungan dan rupanya Jeremy masih belum terima.” Sani menatap ke
pinggir jalan, “Bisakah aku turun di depan sana?”
Azka
mengernyit, “Kenapa harus turun di depan sana?”
Dan
kenapa pula aku tidak boleh turun? Sani membatin, lagipula dia tidak tahu mobil
ini akan dibawa kemana oleh Azka, dia harus tetap waspada meskipun Azka
tampaknya baik dan tidak berniat jahat kepadanya.
“Aku
hendak ke supermarket berbelanja bahan makanan, dari pertigaan itu aku tinggal
naik angkutan umum se arah sana.” Sani berkata jujur, dia memang hendak naik
angkot ke supermarket itu sebelumnya sebelum insiden Jeremy yang mencegatnya di
jalan tadi.
“Aku
akan mengantarmu.” Dengan tangkas Azka membelokkan mobilnya ke arah tikungan
yang dimaksud Sani.
Sani
mengernyitkan keningnya, penampilan Azka seperti orang yang akan berangkat
kerja, dia sangat rapi dengan jas dan dasi yang terpasang di badannya. Apakah selain memiliki cafe lelaki ini juga
bekerja kantoran? Batinnya dalam hati.
“Kau
tidak berangkat bekerja?” Akhirnya Sani memberanikan diri untuk bertanya.
Azka
terkekeh, “Aku bisa datang semauku.” Gumamnya misterius, membuat Sani terdiam
dan menebak-nebak.
Mobil
lalu berhenti di parkiran supermarket itu, Sani membuka pintu dan turun dengan
segera.
‘Terimakasih
sudah mengantar, dan terimakasih sudah menyelamatkanku dari Jeremy.” Gumamnya
pelan.
Azka
menatap Sani dengan tatapan aneh yang sangat dalam, tidak bisa ditebak apa
artinya, lalu lelaki itu tersenyum lembut,
“Sama-sama
Sani.” Suaranya terdengar lembut dan menggetarkan. Lalu Azka memutar mobilnya
dan keluar dari parkiran itu, diiringi tatapan bingung Sani.
***
Dia tidak bisa berhenti memikirkan
lelaki itu.
Bahkan
sekarang di saat dia sudah di rumah dan sibuk memasukkan barang belanjaannya ke
dalam kulkas. Ingatan tentang Azka, dan wajahnya terngiang-ngiang terus di
benaknya.
Sani
berusaha melupakan Azka, dengan cara mengingat pengkhianatan yang dilakukan
oleh Jeremy sekaligus mengingatkan dirinya sendiri bahwa saat ini bukanlah saat
yang tepat untuk tertarik kepada lelaki baru, tetapi benaknya tidak mau
berkompromi. Seolah ada sesuatu yang menariknya, membuatnya selalu teringat
kepada Azka.
***
Malam
itu Sani berjalan dengan was-was menyeberang dari arah apartementnya menuju
Garden Cafe, dia mengintip ke seluruh jalanan tetapi tidak melihat keberadaan
Jeremy ataupun mobil birunya, dengan lega dia menarik napas,
Mungkin Jeremy telah menyerah
untuk sementara.
Sani
lalu memasuki pintu Cafe itu, seperti biasa, Albert yang sedang ada di dekat
bar menyambutnya,
“Mencari suasana bagus untuk menulis nona Sani?” sapanya ramah,
Sani
mengangguk dan tersenyum lembut,
Ketika
dia melangkah menuju tempatnya di sudut, dia hampir bertabrakan dengan sosok
lelaki yang tiba-tiba melintas cepat di sana.
“Oh.
Maaf.” Ada senyum di suara lelaki itu, “Aku tidak melihatmu, kau begitu mungil.”
Sani
mendongakkan kepalanya, dan ternganga, Lelaki itu amat sangat mirip dengan Azka
bagaikan pinang dibelah dua, tetapi meskipun begitu Sani tahu kalau lelaki ini
bukan Azka, penampilan mereka berdua yang pasti sangat berbeda, lelaki yang ada
di depannya ini berambut setengah panjang sampai menyapu kerahnya, sementara
Azka berpotongan rapi. Gaya berpakaiannyapun sangat bertolak belakang, Sani
ingat ketika bertemu Azka di malam hari waktu itu, dia mengenakan celana khaki
yang formal dan sweater panjang yang membungkus tubuhnya bagaikan model yang
elegan, sementara lelaki yang ada di depannya ini mengenakan celana jeans yang
sangat pudar hingga hampir putih dan kaos longgar yang sedikit kusut.
Keenan
menatap Sani yang masih termangu meneliti dirinya lalu tergelak, “Kau pasti
mengira aku adalah Azka.” Tebaknya lucu lalu mengulurkan tangannya, “Kenalkan
aku Keenan, saudara kembar Azka.”
Saudara kembar, pantas saja mereka
begitu mirip, batin Sani masih kaget, lalu dia tergeragap dan menyambut
uluran tangan lelaki itu dan menyebutkan namanya. Keenan menggenggam tangannya
dengan erat dan bersemangat, berbeda dengan genggaman tangan Azka yang halus
dan elegan ketika mereka berkenalan waktu itu.
“Kau
temannya Azka?” Keenan menatap Sani dengan menyelidik, ada nada ingin tahu di
dalam suaranya, meskipun lelaki itu tetap tersenyum manis.
Sani
menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa disebut teman Azka bukan?
“Bukan.
Saya bukan temannya. Saya pelanggan cafe ini.”
“Oh.
Dan kau mengenal Azka?”
Sani
menganggukkan kepalanya, “Saya tahu Azka pemilik cafe ini, kadang-kadang dia
menyapa pengunjung cafe ini bukan?”
Keenan
menyipitkan matanya, “Menyapa pengunjung cafe ini?” matanya bersinar misterius,
“Mungkin saja.” Senyumnya mengembang, “Oke aku harus pergi, senang bertemu
denganmu, Sani.” Lelaki itu membungkuk hormat dengan gaya menggoda lalu
melangkah pergi.
Sementara
itu Sani masih mengamati kepergian Keenan dengan dahi mengerut, ketika Albert
mendekatinya.
“Saya
lihat anda sudah bertemu dengan tuan Keenan.” Gumamnya, mendahului Sani
melangkah ke meja Sani yang biasanya, lalu meletakkan anggur dan cemilan
pesanan Sani di meja, “Beliau saudara kembar tuan Azka tetapi anda lihat
sendiri mereka sangat bertolak belakang.”
Seperti
pinang dibelah dua, tetapi sangat bertolak belakang. Sani menyetujui dalam
hati. Lalu keningnya berkerut ketika mengingat Azka. Lelaki itu tidak tampak di
mana-mana. Sani mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, lalu menghela
napas panjang.
Ada
apa dengan dirinya? Dia datang ke cafe ini untuk mengetik cerita dan
menyalurkan isnpirasi menulisnya bukan? Dia datang ke sini bukan untuk bertemu
Azka. Dengan cepat Sani membuka laptopnya, lalu mulai mengetik di file yang
sudah disiapkannya. Lama setelahnya, Sani menyadari bahwa dia membohongi
batinnya sendiri, bahwa dia amat sangat ingin melihat Azka meskipun hanya
sedetik saja.
***
Celia
tersenyum ketika menghidangkan makanan itu di meja, dibantu oleh beberapa
pelayan dia meletakkan makanan-makanan itu untuk Azka. Ya. Celia khusus memasak
untuk Azka malam ini, dia mengikuti kursus memasak untuk mengisi kesibukannya
dan memutuskan untuk mengundang Azka mencicipi hasilnya.
“Aromanya
enak.” Azka tersenyum lembut, “Sepertinya mereka mengajarimu dengan baik.” Azka
mengambil makanannya dan mengicipi, lalu memutar bola matanya, “Dan rasanya
juga enak.”
Celia
terkekeh, menarik kursi rodanya mendekat dan duduk di seberang Azka, “Kau yakin
kau tidak berbohong untuk menyenangkanku?”
“Tidak.”
Azka mengunyah dengan bersemangat, “Masakan ini memang benar-benar lezat.”
“Nanti
setelah kita menikah, aku akan memasakkan makan malam untukmu setiap malam.”
Celia tertawa. “Aku akan memilih menu yang berbeda-beda supaya kau tidak
bosan.”
Azka
langsung menelan dengan susah payah, makanan yang dikunyahnya tiba-tiba terasa
seperti pasir ketika Celia menyinggung pernikahan, hingga dia harus meminum air
untuk membantunya menelan makanannya.
Dia
berusaha menjaga wajahnya tetap penuh senyum supaya Celia tidak menyadari
perubahan suasana hatinya, dan rupanya Celia memang tidak menyadarinya,
perempuan itu sedang menerawang membayangkan persiapan pernikahan mereka.
“Mama
dan papa akan pulang dari Australia minggu depan, dan semoga kita bisa
membicarakan persiapan pernikahan dengan lebih terperinci ya.” Mata Celia
berkaca-kaca ketika menatap Azka. “Terimakasih Azka, atas cintamu yang penuh
maaf, aku bersyukur karena bisa memilikimu.”
Azka
mencoba tersenyum tetapi yang muncul adalah senyuman pahit yang tak
tertahankan.
***
Ketika
mobil Azka berlalu, Celia menatap dari teras dengan keheningan yang
menyesakkan.
Semakin
lama Azka semakin berbeda dan terasa begitu jauh, dia menyadarinya. Celia tahu
insiden pengkhianatannya yang sangat fatal itu membuat Azka semakin jauh dari
dirinya. Tetapi lelaki itu bersedia mendampinginya untuk seterusnya,
berkomitmen supaya menjaganya, dan Celia sangat takut kehilangan Azka, dia
tidak bisa hidup tanpa lelaki itu.
“Nona
Celia mau dibantu?” seorang pelayannya menengok ke arah teras ke arahnya.
Celia
tersenyum, “Tidak usah bi, aku bisa membawa kursi rodaku masuk sendiri kok.”
Dengan tenang dia berdiri, lalu melipat kursi rodanya dan membawanya masuk ke
dalam rumah.
***
Ketika
Azka sampai di Garden Cafe itu, sudah menjelang hampir tengah malam, jalanan macet karena malam ini adalah malam
libur sehingga Azka menghabiskan banyak waktunya di jalanan. Dia melangkah
masuk ke arah cafe, harap-harap cemas, ingin menemukan sosok Sani di dalam
sana.
Tetapi
perempuan itu tidak ada. Azka membatin dalam diam. Menahan kekecewaan di
hatinya. Apakah malam ini Sani tidak menulis di cafe ini?
Albert
yang melihat Azka datang langsung mendekatinya dan tersenyum memahami, “Nona
Sani tentu saja datang tadi, dia menulis sebentar lalu pulang, katanya dia
mengantuk, mungkin anggur merah itu mulai bereaksi kepadanya.” Albert terkekeh,
“Ngomong-ngomong, nona Sani tadi berkenalan dengan tuan Keenan.”
“Sani
berkenalan dengan Keenan? Bagaimana bisa?”
“Tuan
Keenan tadi pulang tepat saat nona Sani datang, mereka berpapasan.”
“Oh.”
Azka menghela napas panjang, menyembunyikan kecemasannya. Kalau sampai Keenan
memperhatikan Sani, dia pasti akan kalah. Selalu begitu, para perempuan lebih
menyukai Keenan yang penuh canda dan mempesona daripada dirinya yang serius dan
pendiam.
“Aku
tidak ingin Keenan bertemu dengan Sani lagi, Albert, apapun caranya.” Tiba-tiba
dia merasakan firasat itu, meskipun dirinya dan Keenan bertolak belakang dalam
segala hal, tetapi dalam selera wanita mereka sama.
Kalau
Keenan tertarik pada perempuan, maka Azka akan mempunyai ketertarikan yang
sama. Begitupun tentang Celia, Celia dulu tergila-gila kepada Keenan, tetapi
karena Keenan tidak pernah serius dengan perempuan, Celia mengalihkan
perhatiannya kepada Azka.
Apakah Keenan merasakan getaran
yang sama, yang dirasakan olehnya ketika melihat Sani? Batin Azka
bertanya-tanya, mencoba mengusir kecemasan di dalam benaknya.
Sementara
itu Albert mengerutkan keningnya sambil mengawasi Azka, “Bagaimana caranya
mencegah tuan Keenan bertemu dengan Sani? Tuan Keenan bisa datang dan pergi
sesuka hatinya.”
“Kalau
ada Sani di dalam, tahan Keenan dimanapun dia berada pokoknya jangan sampai
mereka bertemu lagi.” Azka bersikeras. Dia lalu memijit dahinya yang mulai
berdenyut pusing, “Aku lelah sekali hari ini, Albert.”
Albert
mengangkat alisnya, “Karena melewatkan malam bersama nona Celia?” tebaknya
dengan tepat, membuat Azka menghela napas panjang, tidak membantah tetapi tidak
juga mengiyakan.
***
“Hai.”
Sani
menolehkan kepalanya dan mengernyit ketika menemukan Azka sedang bersandar di
dekat pintu putar apartementnya, lelaki itu tampaknya sedang menunggunya,
Benarkah? Sani mengernyitkan
keningnya.
“Aku
menunggumu dari tadi.” Azka langsung bergumam, menjawab keraguan Sani.
“Bagaimana kabarmu? Apakah lelaki itu... mantan tunanganmu, mendatangimu lagi?”
Sani
tersenyum pahit, “Sepertinya dia memutuskan untuk menyerah sementara.”
“Apa
yang dia lakukan sehingga kau tampak begitu membencinya, Sani?”
Sani
tercenung, kenapa Azka ingin tahu? “Dia
mengkhianatiku. Dengan sangat parah.” Suara Sani terdengar serak, selalu begitu
setiap dia mengingat Jeremy, “Dan aku tidak bisa memaafkannya.”
Azka
langsung terkenang akan pengkhianatan yang dilakukan Celia kepadanya, dia bisa
memahami perasaan Sani, dan merasa Sani lebih beruntung, karena perempuan itu
bebas membenci dan meninggalkan, tidak seperti dirinya.
“Tetapi
sepertinya dia belum menyerah.” Gumam Azka kemudian, mengingat bagaimana Jeremy
mencekal lengan Sani dan memaksa untuk berbicara.
Sani
tertawa, “Dia memang begitu, tidak pernah mau menerima pendapat orang lain.
Tetapi aku akan menunjukkan kepadanya bahwa kali ini dia tidak punya kesempatan
lagi.”
“Karena
kau seorang pendendam?” gumam Azka, tersenyum,
“Bukan.”
Sani menggelengkan kepalanya, “Karena aku bisa memaafkan, tetapi tidak akan
pernah bisa melupakan.” Jawab Sani mantab.
Azka
tertegun, apakah itu juga yang dia rasakan kepada Celia? Bisa memaafkan segala
kesalahan Celia di masa lalunya, tetapi tetap tidak bisa melupakannya?
“Kau
mau kemana?” Azka menatap penampilan Sani yang lumayan rapi, dengan celana
hitam dan kemeja formal berwarna krem.
Sani
mengamati penampilannya sendiri dan tersenyum, “Ini penampilan paling rapi yang
bisa kulakukan, aku akan menemui editorku dan menghadap perwakilan penerbit di
kota ini, untuk membicarakan kontrak novel terbaruku.”
“Di
mana?” tanya Azka.
Sani
menyebut nama sebuah daerah perkantoran yang lumayan jauh dari tempat mereka
berdiri sekarang,
“Mau
kuantar?” Azka langsung menawarkan.
Sani
langsung menggelengkan kepalanya tidak mungkin dia menerima tawaran kebaikan
lelaki itu kepadanya, meskipun dia bertanya-tanya apa yang dilakukan Azka
menunggunya di sini, “Tidak usah, terimakasih. Aku sudah memesan taxi.” Senyum
Sani berubah lembut, “Sampai jumpa.”
“Oke.
Sampai jumpa lagi.” Azka menyandarkan tubuhnya di dinding, mengamati Sani yang
melangkah pergi menuju tempat taxinya menunggu. Dicatatanya dalam hatinya bagaimana Sani mengatakan ‘sampai
jumpa’, bukannya ‘selamat tinggal’ kepadanya.
***
“Kau
sudah menemukan alamat pria bernama Jeremy itu?” Azka menelepon salah satu
pegawa kepercayaannya di kantor cabang mereka di tempat asal Sani. Dia ingin
menyelidiki tentang Jeremy. Well, setiap orang yang akan berperang harus
mempelajari musuhnya masing-masing bukan?
Azka
sendiri tidak tahu kenapa dia melakukannya, tetapi ketertarikannya kepada Sani
sendiri sungguh sangat mengganggunya, dia tidak bisa melepaskan Sani dari
pikirannya, seluruh batinnya tersita untuk Sani. Perempuan itu telah
mendapatkannya dari pertama kali mereka saling menyapa.
“Dan
setelah kau mendapatkan alamat Jeremy, apa yang akan kau lakukan?” Albert yang
sedari tadi duduk di ruang kerja Azka di atas cafe itu mengernyitkan keningnya,
“Menyingkirkannya?”
“Mungkin.”
Mata Azka bersinar tajam, “Aku sudah terbiasa menyingkirkan orang-orang yang
menghalangi jalanku.”
“Jalanmu?”
Hanya Albert satu-satunya orang yang tahu kekejaman tersembunyi di balik sikap
Azka yang tenang dan terkendali, dan hanya Albert pulalah yang berani membantah
dan mempertanyakan semua keputusan Azka. Karena dia tahu jauh di dalam hati
Azka, tersimpan kebaikan yang luar biasa besar, bertolak belakang dengan
kekejamannya, buktinya laki-laki itu tidak tega membuang Celia begitu saja.
“Jalanmu untuk apa, Azka? Untuk memiliki Sani? Bukankah kau tidak bisa memiliki
Sani selama masih ada Celia?”
Ah iya. Celia.
Azka
sendiri masih belum tahu apa yang akan dilakukannya kepada Celia. Apakah
terlalu kejam meninggalkan Celia yang lumpuh dan tidak berdaya seperti itu?
Tetapi
Azka tidak bisa membohongi perasaannya, perasaan yang dirasakannya dengan
begitu kuat kepada Sani.
“Akan
kupikirkan nanti.” Gumam Azka sekenanya.
Albert
langsung mengangkat alisnya, “Pernikahanmu dengan Celia hampir delapan bulan
lagi, Azka.”
“Aku
tahu.” Dan Azka harus bisa bersikap tegas, menentukan apa yang akan
dilakukannya selanjutnya.
Albert
sendiri hanya tercenung, dia mencemaskan Azka, baginya Azka sudah seperti
anaknya sendiri karena dia memang tidak punya keluarga lagi. Pada saat Azka
memutuskan melanjutkan pertunangannya dengan Celia waktu itupun Albert sudah
tidak setuju. Azka hanya didorong oleh rasa bersalah. Albert takut kalau pada
akhirnya Azka bisa menemukan orang yang benar-benar dicintainya, dan dia
terlanjut terikat kepada Celia?
Dan sepertinya, apa yang
ditakutkannya sudah terjadi.
***
Sani
menoleh ke arah Kesha yang sedang asyik memilih-milih hiasan rumit dari kerang
di bazaar itu,
“Kau
belum selesai?” tanyanya, kakinya mulai kelelahan karena berjalan begitu jauh
mengelilingi seluruh area bazaar yang sangat luas. Kesha mengajaknya ke tempat
ini sepulang dia bertemu dengan penerbit tadi, dan itu adalah sebuah kesalahan
besar, karena begitu berbelanja, sepertinya Kesha tidak bisa berhenti.
“Aku
masih ingin melihat pakaian di sebelah sana.” Kesha menunjuk sudut yang jauh,
“Tadi ketika kita lewat, aku melirik ada satu baju yang warnanya lucu.”
Sani
mengernyit ketika membayangkan harus berjalan lagi ke arah sana, “Kenapa kau
tadi tidak berhenti ketika kita lewat sana?”
Kesha
tampaknya tidak memahami kelelahan Sani, “Aku tadi masih ragu apakah aku
menginginkannya atau tidak.” Matanya tertuju pada gelang kerang yang dicobanya,
“Sekarang aku memutuskan bahwa aku menginginkannya.” Kesha menyerahkan gelang
yang dipilihnya kepada penjualnya, lalu menunggu gelang itu dibungkus dan dia
membayarnya.
Setelah
itu dia setengah menggandeng Sani ke arah lokasi penjual baju yang
dimaksudkannya, “Yuk.” Gumamnya bersemangat.
Dengan
menyeret langkah Sani mengikuti Kesha yang berjalan begitu cepat dan
bersemangat. Kakinya sakit, dan dia sedikit oleng ketika menembus keramaian
itu, seseorang sepertinya tanpa sengaja mendorongnya sehingga tubuhnya tergeser
kesamping, menabrak seseorang.
“Ups.”
Gumam suara itu, sebuah tangan yang kuat menopangnya, Sani mengenali suara itu
dan dia mendongakkan kepalanya,
“Sepetinya
kau ditakdirkan untuk selalu menabrakku.” Wajah Keenan yang ada di depannya,
dan lelaki itu tersenyum geli menatapnya.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusmakasih mb santhy bwt cerita brunya yg selalu dinanti..
BalasHapusCelia Bo'ong ama Azka,,, ternyata ngak cacat... Azka udh mrs berslh lgi ampai bela-Belain hrs ttp bersama, wlau udah ngak ada rasa krn penghianatan yg dilakuin celia...
BalasHapusmks k' shanti..
jahat bngt celia, tega jga dya mmbuat azka terikat d pertunangan itu.. Sem0ga azka segera sdr dn milih sani, sblm keduluan keenan. Thanks mbak santhy... *lope*
BalasHapusIya si celia kog gitu amat sie, berkhianat & berbohöng, smoga azka segera tahu tuh kebenarannya. Azka kog da sisi gelap na ya bikin penasaran kalau keenan jg suka ma sani, makasih mb santhy ditunggu bab sljutna;-)
BalasHapusKlo smpe azka tw bhy lo celia, kslhan ny double ftal.hehehe
BalasHapusAaaaa celia reseh
BalasHapusSemoga azka cepet tau klo celia boong huh
Semoga sani ga jatuh cinta ma keenan
Hihi makasih mb san :3
ishh celia nya bohongg..kan kasian azka hrs nggug rsa brslah gtu. ckck
BalasHapusudh azka tggalin aja celia nyaa..:@
keenan n azka mana yaa yg lbh kerenn?? hahaXD
Dasar Celia Medusa,,,!
BalasHapusBerani2ny dia b'bohong kepada Azka,,,
Semoga dia cepat ketemu sama Jeremy,,,
upps,, lupa,,
HapusMakasiih mbak Santh,,hehehehe
Kampret.. Celia.... Kelaut sana temani Jeremy..
BalasHapusEsmosy kuadrat..
Thank you Mbak santhy..
Peluk erat mbak santhy cantik
Ihhhh sebebel setengah Matt dech MA celia.... Benci,,, benci...benci...l,
BalasHapusTapi aku sayank bgt MA mbak Shanty hehee.... Mmmuuaaacchhh
thanks n Love yuuuu sista :)
aaakkkk Celia udh bs jalan... celia jahaaattt.. celia jahaattt....
BalasHapuscelia sm keenan ajja,, biar Azka yg sm Sani *maksa*
Yah kayaknya celia tuh kembarannya sahrini x tukang tipu!
BalasHapusKasian azka
oh keenan lagi keenan lagi, jgn kecantol ya san..
Azka menantimu!
ihhh celia bikin emosi,,,
BalasHapusternyata boong lumpuhnya,,,,,
mba santhy love u big hug,,,