Jumat, 01 Maret 2013

You've Got Me From Hello Part 3


 
Sani mengernyit melihat kehadiran Azka di sana. Itu pria pemilik cafe itu, batinnya bingung. Tetapi kemudian dia melihat kesempatan untuk melarikan diri dari Jeremy, pegangan Jeremy di tangannya melemah, membuat Sani bisa menyentakkan tangannya dan melepaskan diri.

“Sani.” Jeremy masih berusaha mengikuti Sani, tetapi dengan cepat Sani melompat, bersembunyi di belakang punggung Azka yang bidang, dan dengan penuh pengertian pula Azka langsung berdiri melindunginya.

 
“Saya rasa Sani tidak mau berbicara lagi dengan anda.’

Mata Jeremy memancar marah menatap ke arah Azka, “Saya tidak tahu anda siapa.” Desisnya geram, “Tetapi Sani adalah tunangan saya dan saya berhak berbicara dengannya.”

“Mantan tunangan.” Sani menyela dari punggung Azka, “Dan aku tidak mau berbicara denganmu.”


“Anda dengar bukan?” Azka melemparkan pandangan mencemooh ke arah Jeremy, “Saya rasa lebih baik anda meninggalkan Sani sendirian.”

Kemudian dengan sikap tegas, sebelum Jeremy bisa berbuat apa-apa, Azka menggiring Sani memasuki mobilnya, meninggalkan Jeremy yang terperangah dengan muka masam di sana.

***

“Dia mantan tunanganku.” Sani melirik gelisah ke arah Azka, setelah dia berada di dalam mobil dan Azka melajutkan mobilnya, Sani baru menyadari bahwa dia telah begitu saja masuk ke dalam mobil seorang lelaki yang bahkan hampir sama sekali tidak dikenalnya.

Azka melirik sedikit ke arah Sani, ekspresi wajahnya tidak bisa ditebak,  “Mantan?” tanyanya tenang.

Sani menganggukkan kepalanya, “Ya, hubungan kami tidak berjalan sebaik semestinya, aku memutuskan hubungan dan rupanya Jeremy masih belum terima.” Sani menatap ke pinggir jalan, “Bisakah aku turun di depan sana?”

Azka mengernyit, “Kenapa harus turun di depan sana?”

Dan kenapa pula aku tidak boleh turun? Sani membatin, lagipula dia tidak tahu mobil ini akan dibawa kemana oleh Azka, dia harus tetap waspada meskipun Azka tampaknya baik dan tidak berniat jahat kepadanya.

“Aku hendak ke supermarket berbelanja bahan makanan, dari pertigaan itu aku tinggal naik angkutan umum se arah sana.” Sani berkata jujur, dia memang hendak naik angkot ke supermarket itu sebelumnya sebelum insiden Jeremy yang mencegatnya di jalan tadi.

“Aku akan mengantarmu.” Dengan tangkas Azka membelokkan mobilnya ke arah tikungan yang dimaksud Sani.

Sani mengernyitkan keningnya, penampilan Azka seperti orang yang akan berangkat kerja, dia sangat rapi dengan jas dan dasi yang terpasang di badannya. Apakah selain memiliki cafe lelaki ini juga bekerja kantoran? Batinnya dalam hati.

“Kau tidak berangkat bekerja?” Akhirnya Sani memberanikan diri untuk bertanya.

Azka terkekeh, “Aku bisa datang semauku.” Gumamnya misterius, membuat Sani terdiam dan menebak-nebak.

Mobil lalu berhenti di parkiran supermarket itu, Sani membuka pintu dan turun dengan segera.

‘Terimakasih sudah mengantar, dan terimakasih sudah menyelamatkanku dari Jeremy.” Gumamnya pelan.

Azka menatap Sani dengan tatapan aneh yang sangat dalam, tidak bisa ditebak apa artinya, lalu lelaki itu tersenyum lembut,

“Sama-sama Sani.” Suaranya terdengar lembut dan menggetarkan. Lalu Azka memutar mobilnya dan keluar dari parkiran itu, diiringi tatapan bingung Sani.

***

Dia tidak bisa berhenti memikirkan lelaki itu.

Bahkan sekarang di saat dia sudah di rumah dan sibuk memasukkan barang belanjaannya ke dalam kulkas. Ingatan tentang Azka, dan wajahnya terngiang-ngiang terus di benaknya.

Sani berusaha melupakan Azka, dengan cara mengingat pengkhianatan yang dilakukan oleh Jeremy sekaligus mengingatkan dirinya sendiri bahwa saat ini bukanlah saat yang tepat untuk tertarik kepada lelaki baru, tetapi benaknya tidak mau berkompromi. Seolah ada sesuatu yang menariknya, membuatnya selalu teringat kepada Azka.

***

Malam itu Sani berjalan dengan was-was menyeberang dari arah apartementnya menuju Garden Cafe, dia mengintip ke seluruh jalanan tetapi tidak melihat keberadaan Jeremy ataupun mobil birunya, dengan lega dia menarik napas,

Mungkin Jeremy telah menyerah untuk sementara.

Sani lalu memasuki pintu Cafe itu, seperti biasa, Albert yang sedang ada di dekat bar menyambutnya,

“Mencari suasana bagus untuk menulis nona Sani?” sapanya ramah,

Sani mengangguk dan tersenyum lembut,

Ketika dia melangkah menuju tempatnya di sudut, dia hampir bertabrakan dengan sosok lelaki yang tiba-tiba melintas cepat di sana.

“Oh. Maaf.” Ada senyum di suara lelaki itu, “Aku tidak melihatmu, kau begitu mungil.”

Sani mendongakkan kepalanya, dan ternganga, Lelaki itu amat sangat mirip dengan Azka bagaikan pinang dibelah dua, tetapi meskipun begitu Sani tahu kalau lelaki ini bukan Azka, penampilan mereka berdua yang pasti sangat berbeda, lelaki yang ada di depannya ini berambut setengah panjang sampai menyapu kerahnya, sementara Azka berpotongan rapi. Gaya berpakaiannyapun sangat bertolak belakang, Sani ingat ketika bertemu Azka di malam hari waktu itu, dia mengenakan celana khaki yang formal dan sweater panjang yang membungkus tubuhnya bagaikan model yang elegan, sementara lelaki yang ada di depannya ini mengenakan celana jeans yang sangat pudar hingga hampir putih dan kaos longgar yang sedikit kusut.

Keenan menatap Sani yang masih termangu meneliti dirinya lalu tergelak, “Kau pasti mengira aku adalah Azka.” Tebaknya lucu lalu mengulurkan tangannya, “Kenalkan aku Keenan, saudara kembar Azka.”

Saudara kembar, pantas saja mereka begitu mirip, batin Sani masih kaget, lalu dia tergeragap dan menyambut uluran tangan lelaki itu dan menyebutkan namanya. Keenan menggenggam tangannya dengan erat dan bersemangat, berbeda dengan genggaman tangan Azka yang halus dan elegan ketika mereka berkenalan waktu itu.

“Kau temannya Azka?” Keenan menatap Sani dengan menyelidik, ada nada ingin tahu di dalam suaranya, meskipun lelaki itu tetap tersenyum manis.

Sani menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa disebut teman Azka bukan?

“Bukan. Saya bukan temannya. Saya pelanggan cafe ini.”

“Oh. Dan kau mengenal Azka?”

Sani menganggukkan kepalanya, “Saya tahu Azka pemilik cafe ini, kadang-kadang dia menyapa pengunjung cafe ini bukan?”

Keenan menyipitkan matanya, “Menyapa pengunjung cafe ini?” matanya bersinar misterius, “Mungkin saja.” Senyumnya mengembang, “Oke aku harus pergi, senang bertemu denganmu, Sani.” Lelaki itu membungkuk hormat dengan gaya menggoda lalu melangkah pergi.

Sementara itu Sani masih mengamati kepergian Keenan dengan dahi mengerut, ketika Albert mendekatinya.

“Saya lihat anda sudah bertemu dengan tuan Keenan.” Gumamnya, mendahului Sani melangkah ke meja Sani yang biasanya, lalu meletakkan anggur dan cemilan pesanan Sani di meja, “Beliau saudara kembar tuan Azka tetapi anda lihat sendiri mereka sangat bertolak belakang.”

Seperti pinang dibelah dua, tetapi sangat bertolak belakang. Sani menyetujui dalam hati. Lalu keningnya berkerut ketika mengingat Azka. Lelaki itu tidak tampak di mana-mana. Sani mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, lalu menghela napas panjang.

Ada apa dengan dirinya? Dia datang ke cafe ini untuk mengetik cerita dan menyalurkan isnpirasi menulisnya bukan? Dia datang ke sini bukan untuk bertemu Azka. Dengan cepat Sani membuka laptopnya, lalu mulai mengetik di file yang sudah disiapkannya. Lama setelahnya, Sani menyadari bahwa dia membohongi batinnya sendiri, bahwa dia amat sangat ingin melihat Azka meskipun hanya sedetik saja.

***

Celia tersenyum ketika menghidangkan makanan itu di meja, dibantu oleh beberapa pelayan dia meletakkan makanan-makanan itu untuk Azka. Ya. Celia khusus memasak untuk Azka malam ini, dia mengikuti kursus memasak untuk mengisi kesibukannya dan memutuskan untuk mengundang Azka mencicipi hasilnya.

“Aromanya enak.” Azka tersenyum lembut, “Sepertinya mereka mengajarimu dengan baik.” Azka mengambil makanannya dan mengicipi, lalu memutar bola matanya, “Dan rasanya juga enak.”

Celia terkekeh, menarik kursi rodanya mendekat dan duduk di seberang Azka, “Kau yakin kau tidak berbohong untuk menyenangkanku?”

“Tidak.” Azka mengunyah dengan bersemangat, “Masakan ini memang benar-benar lezat.”

“Nanti setelah kita menikah, aku akan memasakkan makan malam untukmu setiap malam.” Celia tertawa. “Aku akan memilih menu yang berbeda-beda supaya kau tidak bosan.”

Azka langsung menelan dengan susah payah, makanan yang dikunyahnya tiba-tiba terasa seperti pasir ketika Celia menyinggung pernikahan, hingga dia harus meminum air untuk membantunya menelan makanannya.

Dia berusaha menjaga wajahnya tetap penuh senyum supaya Celia tidak menyadari perubahan suasana hatinya, dan rupanya Celia memang tidak menyadarinya, perempuan itu sedang menerawang membayangkan persiapan pernikahan mereka.

“Mama dan papa akan pulang dari Australia minggu depan, dan semoga kita bisa membicarakan persiapan pernikahan dengan lebih terperinci ya.” Mata Celia berkaca-kaca ketika menatap Azka. “Terimakasih Azka, atas cintamu yang penuh maaf, aku bersyukur karena bisa memilikimu.”

Azka mencoba tersenyum tetapi yang muncul adalah senyuman pahit yang tak tertahankan.

***

Ketika mobil Azka berlalu, Celia menatap dari teras dengan keheningan yang menyesakkan.

Semakin lama Azka semakin berbeda dan terasa begitu jauh, dia menyadarinya. Celia tahu insiden pengkhianatannya yang sangat fatal itu membuat Azka semakin jauh dari dirinya. Tetapi lelaki itu bersedia mendampinginya untuk seterusnya, berkomitmen supaya menjaganya, dan Celia sangat takut kehilangan Azka, dia tidak bisa hidup tanpa lelaki itu.

“Nona Celia mau dibantu?” seorang pelayannya menengok ke arah teras ke arahnya.

Celia tersenyum, “Tidak usah bi, aku bisa membawa kursi rodaku masuk sendiri kok.”
 
Dengan tenang dia berdiri, lalu melipat kursi rodanya dan membawanya masuk ke dalam rumah.

***

Ketika Azka sampai di Garden Cafe itu, sudah menjelang hampir tengah malam,  jalanan macet karena malam ini adalah malam libur sehingga Azka menghabiskan banyak waktunya di jalanan. Dia melangkah masuk ke arah cafe, harap-harap cemas, ingin menemukan sosok Sani di dalam sana.

Tetapi perempuan itu tidak ada. Azka membatin dalam diam. Menahan kekecewaan di hatinya. Apakah malam ini Sani tidak menulis di cafe ini?

Albert yang melihat Azka datang langsung mendekatinya dan tersenyum memahami, “Nona Sani tentu saja datang tadi, dia menulis sebentar lalu pulang, katanya dia mengantuk, mungkin anggur merah itu mulai bereaksi kepadanya.” Albert terkekeh, “Ngomong-ngomong, nona Sani tadi berkenalan dengan tuan Keenan.”

“Sani berkenalan dengan Keenan? Bagaimana bisa?”

“Tuan Keenan tadi pulang tepat saat nona Sani datang, mereka berpapasan.”

“Oh.” Azka menghela napas panjang, menyembunyikan kecemasannya. Kalau sampai Keenan memperhatikan Sani, dia pasti akan kalah. Selalu begitu, para perempuan lebih menyukai Keenan yang penuh canda dan mempesona daripada dirinya yang serius dan pendiam.

“Aku tidak ingin Keenan bertemu dengan Sani lagi, Albert, apapun caranya.” Tiba-tiba dia merasakan firasat itu, meskipun dirinya dan Keenan bertolak belakang dalam segala hal, tetapi dalam selera wanita mereka sama.

Kalau Keenan tertarik pada perempuan, maka Azka akan mempunyai ketertarikan yang sama. Begitupun tentang Celia, Celia dulu tergila-gila kepada Keenan, tetapi karena Keenan tidak pernah serius dengan perempuan, Celia mengalihkan perhatiannya kepada Azka.

Apakah Keenan merasakan getaran yang sama, yang dirasakan olehnya ketika melihat Sani? Batin Azka bertanya-tanya, mencoba mengusir kecemasan di dalam benaknya.

Sementara itu Albert mengerutkan keningnya sambil mengawasi Azka, “Bagaimana caranya mencegah tuan Keenan bertemu dengan Sani? Tuan Keenan bisa datang dan pergi sesuka hatinya.”

“Kalau ada Sani di dalam, tahan Keenan dimanapun dia berada pokoknya jangan sampai mereka bertemu lagi.” Azka bersikeras. Dia lalu memijit dahinya yang mulai berdenyut pusing, “Aku lelah sekali hari ini, Albert.”

Albert mengangkat alisnya, “Karena melewatkan malam bersama nona Celia?” tebaknya dengan tepat, membuat Azka menghela napas panjang, tidak membantah tetapi tidak juga mengiyakan.

***

“Hai.”

Sani menolehkan kepalanya dan mengernyit ketika menemukan Azka sedang bersandar di dekat pintu putar apartementnya, lelaki itu tampaknya sedang menunggunya,

Benarkah? Sani mengernyitkan keningnya.

“Aku menunggumu dari tadi.” Azka langsung bergumam, menjawab keraguan Sani. “Bagaimana kabarmu? Apakah lelaki itu... mantan tunanganmu, mendatangimu lagi?”

Sani tersenyum pahit, “Sepertinya dia memutuskan untuk menyerah sementara.”

“Apa yang dia lakukan sehingga kau tampak begitu membencinya, Sani?”

Sani tercenung, kenapa Azka ingin tahu? “Dia mengkhianatiku. Dengan sangat parah.” Suara Sani terdengar serak, selalu begitu setiap dia mengingat Jeremy, “Dan aku tidak bisa memaafkannya.”

Azka langsung terkenang akan pengkhianatan yang dilakukan Celia kepadanya, dia bisa memahami perasaan Sani, dan merasa Sani lebih beruntung, karena perempuan itu bebas membenci dan meninggalkan, tidak seperti dirinya.

“Tetapi sepertinya dia belum menyerah.” Gumam Azka kemudian, mengingat bagaimana Jeremy mencekal lengan Sani dan memaksa untuk berbicara.

Sani tertawa, “Dia memang begitu, tidak pernah mau menerima pendapat orang lain. Tetapi aku akan menunjukkan kepadanya bahwa kali ini dia tidak punya kesempatan lagi.”

“Karena kau seorang pendendam?” gumam Azka, tersenyum,

“Bukan.” Sani menggelengkan kepalanya, “Karena aku bisa memaafkan, tetapi tidak akan pernah bisa melupakan.” Jawab Sani mantab.

Azka tertegun, apakah itu juga yang dia rasakan kepada Celia? Bisa memaafkan segala kesalahan Celia di masa lalunya, tetapi tetap tidak bisa melupakannya?

“Kau mau kemana?” Azka menatap penampilan Sani yang lumayan rapi, dengan celana hitam dan kemeja formal berwarna krem.

Sani mengamati penampilannya sendiri dan tersenyum, “Ini penampilan paling rapi yang bisa kulakukan, aku akan menemui editorku dan menghadap perwakilan penerbit di kota ini, untuk membicarakan kontrak novel terbaruku.”

“Di mana?” tanya Azka.

Sani menyebut nama sebuah daerah perkantoran yang lumayan jauh dari tempat mereka berdiri sekarang,

“Mau kuantar?” Azka langsung menawarkan.

Sani langsung menggelengkan kepalanya tidak mungkin dia menerima tawaran kebaikan lelaki itu kepadanya, meskipun dia bertanya-tanya apa yang dilakukan Azka menunggunya di sini, “Tidak usah, terimakasih. Aku sudah memesan taxi.” Senyum Sani berubah lembut, “Sampai jumpa.”

“Oke. Sampai jumpa lagi.” Azka menyandarkan tubuhnya di dinding, mengamati Sani yang melangkah pergi menuju tempat taxinya menunggu. Dicatatanya dalam  hatinya bagaimana Sani mengatakan ‘sampai jumpa’, bukannya ‘selamat tinggal’ kepadanya.

***

“Kau sudah menemukan alamat pria bernama Jeremy itu?” Azka menelepon salah satu pegawa kepercayaannya di kantor cabang mereka di tempat asal Sani. Dia ingin menyelidiki tentang Jeremy. Well, setiap orang yang akan berperang harus mempelajari musuhnya masing-masing bukan?

Azka sendiri tidak tahu kenapa dia melakukannya, tetapi ketertarikannya kepada Sani sendiri sungguh sangat mengganggunya, dia tidak bisa melepaskan Sani dari pikirannya, seluruh batinnya tersita untuk Sani. Perempuan itu telah mendapatkannya dari pertama kali mereka saling menyapa.

“Dan setelah kau mendapatkan alamat Jeremy, apa yang akan kau lakukan?” Albert yang sedari tadi duduk di ruang kerja Azka di atas cafe itu mengernyitkan keningnya, “Menyingkirkannya?”

“Mungkin.” Mata Azka bersinar tajam, “Aku sudah terbiasa menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalanku.”

“Jalanmu?” Hanya Albert satu-satunya orang yang tahu kekejaman tersembunyi di balik sikap Azka yang tenang dan terkendali, dan hanya Albert pulalah yang berani membantah dan mempertanyakan semua keputusan Azka. Karena dia tahu jauh di dalam hati Azka, tersimpan kebaikan yang luar biasa besar, bertolak belakang dengan kekejamannya, buktinya laki-laki itu tidak tega membuang Celia begitu saja. “Jalanmu untuk apa, Azka? Untuk memiliki Sani? Bukankah kau tidak bisa memiliki Sani selama masih ada Celia?”

Ah iya. Celia.

Azka sendiri masih belum tahu apa yang akan dilakukannya kepada Celia. Apakah terlalu kejam meninggalkan Celia yang lumpuh dan tidak berdaya seperti itu?

Tetapi Azka tidak bisa membohongi perasaannya, perasaan yang dirasakannya dengan begitu kuat kepada Sani.

“Akan kupikirkan nanti.” Gumam Azka sekenanya.

Albert langsung mengangkat alisnya, “Pernikahanmu dengan Celia hampir delapan bulan lagi, Azka.”

“Aku tahu.” Dan Azka harus bisa bersikap tegas, menentukan apa yang akan dilakukannya selanjutnya.

Albert sendiri hanya tercenung, dia mencemaskan Azka, baginya Azka sudah seperti anaknya sendiri karena dia memang tidak punya keluarga lagi. Pada saat Azka memutuskan melanjutkan pertunangannya dengan Celia waktu itupun Albert sudah tidak setuju. Azka hanya didorong oleh rasa bersalah. Albert takut kalau pada akhirnya Azka bisa menemukan orang yang benar-benar dicintainya, dan dia terlanjut terikat kepada Celia?

Dan sepertinya, apa yang ditakutkannya sudah terjadi.

***

Sani menoleh ke arah Kesha yang sedang asyik memilih-milih hiasan rumit dari kerang di bazaar itu,

“Kau belum selesai?” tanyanya, kakinya mulai kelelahan karena berjalan begitu jauh mengelilingi seluruh area bazaar yang sangat luas. Kesha mengajaknya ke tempat ini sepulang dia bertemu dengan penerbit tadi, dan itu adalah sebuah kesalahan besar, karena begitu berbelanja, sepertinya Kesha tidak bisa berhenti.

“Aku masih ingin melihat pakaian di sebelah sana.” Kesha menunjuk sudut yang jauh, “Tadi ketika kita lewat, aku melirik ada satu baju yang warnanya lucu.”

Sani mengernyit ketika membayangkan harus berjalan lagi ke arah sana, “Kenapa kau tadi tidak berhenti ketika kita lewat sana?”

Kesha tampaknya tidak memahami kelelahan Sani, “Aku tadi masih ragu apakah aku menginginkannya atau tidak.” Matanya tertuju pada gelang kerang yang dicobanya, “Sekarang aku memutuskan bahwa aku menginginkannya.” Kesha menyerahkan gelang yang dipilihnya kepada penjualnya, lalu menunggu gelang itu dibungkus dan dia membayarnya.

Setelah itu dia setengah menggandeng Sani ke arah lokasi penjual baju yang dimaksudkannya, “Yuk.” Gumamnya bersemangat.

Dengan menyeret langkah Sani mengikuti Kesha yang berjalan begitu cepat dan bersemangat. Kakinya sakit, dan dia sedikit oleng ketika menembus keramaian itu, seseorang sepertinya tanpa sengaja mendorongnya sehingga tubuhnya tergeser kesamping, menabrak seseorang.

“Ups.” Gumam suara itu, sebuah tangan yang kuat menopangnya, Sani mengenali suara itu dan dia mendongakkan kepalanya,

“Sepetinya kau ditakdirkan untuk selalu menabrakku.” Wajah Keenan yang ada di depannya, dan lelaki itu tersenyum geli menatapnya.

BERSAMBUNG KE PART 4


15 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. makasih mb santhy bwt cerita brunya yg selalu dinanti..

    BalasHapus
  3. Celia Bo'ong ama Azka,,, ternyata ngak cacat... Azka udh mrs berslh lgi ampai bela-Belain hrs ttp bersama, wlau udah ngak ada rasa krn penghianatan yg dilakuin celia...

    mks k' shanti..

    BalasHapus
  4. jahat bngt celia, tega jga dya mmbuat azka terikat d pertunangan itu.. Sem0ga azka segera sdr dn milih sani, sblm keduluan keenan. Thanks mbak santhy... *lope*

    BalasHapus
  5. Iya si celia kog gitu amat sie, berkhianat & berbohöng, smoga azka segera tahu tuh kebenarannya. Azka kog da sisi gelap na ya bikin penasaran kalau keenan jg suka ma sani, makasih mb santhy ditunggu bab sljutna;-)

    BalasHapus
  6. Klo smpe azka tw bhy lo celia, kslhan ny double ftal.hehehe

    BalasHapus
  7. Aaaaa celia reseh
    Semoga azka cepet tau klo celia boong huh
    Semoga sani ga jatuh cinta ma keenan
    Hihi makasih mb san :3

    BalasHapus
  8. ishh celia nya bohongg..kan kasian azka hrs nggug rsa brslah gtu. ckck
    udh azka tggalin aja celia nyaa..:@

    keenan n azka mana yaa yg lbh kerenn?? hahaXD

    BalasHapus
  9. Dasar Celia Medusa,,,!
    Berani2ny dia b'bohong kepada Azka,,,
    Semoga dia cepat ketemu sama Jeremy,,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. upps,, lupa,,
      Makasiih mbak Santh,,hehehehe

      Hapus
  10. Kampret.. Celia.... Kelaut sana temani Jeremy..
    Esmosy kuadrat..

    Thank you Mbak santhy..
    Peluk erat mbak santhy cantik

    BalasHapus
  11. Ihhhh sebebel setengah Matt dech MA celia.... Benci,,, benci...benci...l,

    Tapi aku sayank bgt MA mbak Shanty hehee.... Mmmuuaaacchhh

    thanks n Love yuuuu sista :)

    BalasHapus
  12. aaakkkk Celia udh bs jalan... celia jahaaattt.. celia jahaattt....
    celia sm keenan ajja,, biar Azka yg sm Sani *maksa*

    BalasHapus
  13. Yah kayaknya celia tuh kembarannya sahrini x tukang tipu!
    Kasian azka

    oh keenan lagi keenan lagi, jgn kecantol ya san..
    Azka menantimu!

    BalasHapus
  14. ihhh celia bikin emosi,,,
    ternyata boong lumpuhnya,,,,,
    mba santhy love u big hug,,,

    BalasHapus