Rabu, 27 Februari 2013

You've Got Me From Hello Part 2


Ponsel Sani berbunyi sore itu, dan dia langsung mengangkatnya ketika mengetahui bahwa yang menelepon adalah mamanya,

“Sani?” mamanya langsung berbicara seperti kebiasaannya, “Mama harus memperingatkanmu.”

“Memperingatkan apa mama?” Dahi Sani mengeryit dan langsung waspada, mamanya tidak pernah berucap dengan nada seserius ini sebelumnya.

 
 
“Jeremy.” Suara sang mama setengah berbisik, “Dia datang kemari pagi ini dan memohon kepada mama untuk memberikan informasi di mana dirimu.”

“Mama tidak memberitahukannya kepadanya kan?” Sani langsung panik. Percuma dia pindah ke lain kota kalau pada akhirnya Jeremy mengetahui dia ada di mana.

“Tentu saja tidak sayang.” Sang mama menghela napas panjang, “Tetapi sepertinya dia tidak menyerah, dia bilang pada akhirnya kalau mama tidak mau mengatakan dimana dirimupun, dia akan tetap tahu karena dia akan menghubungi kantor penerbitmu.”

Sani mengernyit kesal. Kalau Jeremy menghubungi kantor penerbitnya, tentu saja Jeremy akan tahu dimana dia berada. Dia mendesah kesal tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, Sani hanya tidak menyangka kenapa Jeremy sekeras kepala ini mengejarnya. Apakah lelaki itu tidak bisa menerima bahwa Sani tidak bisa memaafkannya?

“Terimakasih sudah memperingatkanku mama, ada kemungkinan bahwa dia sudah tahu dimana aku berada, aku menginformasikan kepindahanku dan alamat baruku kepada penerbit. Aku akan bersiap kalau Jeremy nekat dan mendatangiku.”

“Kau tidak apa-apa Sani?” suara mamanya tampak cemas di seberang sana, membuat Sani tersenyum haru.

“Tidak apa-apa, mama, aku bisa bertahan.” Jawabnya mencoba sekuat mungkin meskipun dalam hatinya dia meragu.

***

                Perempuan itu datang lagi malam ini, dan memesan segelas anggur untuk teman menulisnya. Azka mengernyit, dari info yang didapatnya dari Albert, Sani adalah seorang penulis novel romance. Tetapi sepertinya Sani sedang murung karena beberapa kali perempuan itu hanya menghela napasnya di depan laptopnya, lalu mengawasi layar laptop itu dengan tatapan mata kosong.

    Azka merasa seperti pengintip yang memalukan ketika berdiri di depan kaca balkon atas dan mengamati Sani seperti ini, tetapi dia tidak bisa menahan diri. Sudah beberapa hari ini Sani selalu datang, dan setiap pukul sembilan lalu akan menulis sampai dini harin sebelum kemudian pulang ketika terang tanag menyentuh langi. Azka tidak bisa menahan ketertarikannya untuk mengintip ke bawah, menanti kedatangan Sani, dan sejauh ini, perempuan itu tetap datang.

Ada keinginan tertahannya untuk mendekati perempuan itu, tetapi dia menahan diri, dia takut kalau dia terlalu mengganggu, Sani akan merasa segan dan kemudian tidak akan datang lagi.

“Perempuan itu datang lagi.” Albert yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu ruang kerja Azka bergumam sambil tersenyum penuh pengertian, mengamati Azka. “Kau sepertinya sangat tertarik kepadanya.”

“Kenapa kau bisa berpikiran begitu?” Azka mundur dari kaca itu dan melangkah menuju kursi kerjanya. Albert adalah tangan kanannya, orang kepercayaannya, lelaki itu dulu adalah pegawai setia ayahnya, dan orang yang paling dipercaya oleh ayahnya. Setelah ayah Azka meninggal dan dia mewarinya jaringan kerajaan bisnis hotel dan restoran ini, Albertlah yang selalu membantunya, memberinya pendapat dari sisi pengalaman, melengkapi apa yang tidak dimiliki oleh Azka.

Karena itulah Azka menghadiahi Albert cafe ini, tetapi lelaki setengah baya itu menolaknya, dia hanya ingin tinggal di sebuah apartemen mini di bagian atas cafe dan tetap ingin bekerja menjadi pelayan meskipun Azka sudah melarangnya. Tetapi Albert bilang bahwa menjadi pelayan cafe ini bisa membantunya tetap hidup, dia kesepian dan bercakap-cakap dengan para pelanggan bisa menyembuhkan sepinya, karena itulah Azka mengizinkan Albert menjadi pelayan di Garden Cafe ini.

Albert meletakkan kopi panas untuk Azka dan tersenyum, “Kau menyapanya malam itu, kau bahkan tidak pernah menyapa pelanggan lain sebelumnya.”

Azka tersenyum kecut, rupanya dia terlalu mudah terbaca oleh Albert, “Tetapi bukan berarti aku tertarik kepadanya.”

“oh ya?” Albert mengangkat alisnya, “Sebelumnya kau tidak pernah menginap di cafe ini.” Seperti halnya Albert, Azka mempunyai apartemen sendiri di sisi lain di bagian atas cafe ini,  tetapi dia memang jarang memakainya, karena dia selalu pulang ke rumahnya, kawasan hijau dan sejuk di perbukitan pinggiran kota, dekat dengan area resor hotelnya. “Dan aku hitung, sejak kau menyapa perempuan itu, kau selalu datang kemari setiap malam, tanpa absen.”

Azka terkekeh mendengar perkataan Albert, “Aku memang tidak bisa membohongimu ya.”

“Aku sudah mengenalmu sejak kecil.” Albert tertawa, “Kau tidak pernah bertingkah seperti ini sebelumnya dengan perempuan manapun.” Albert berdehem, “Begitu juga ketika dengan Celia.”

Azka tertegun ketika nama Celia disebut, wajahnya sedikit memucat, dia lalu memalingkan muka dengan murung.

“Tetapi pada akhirnya semua akan tetap sama bukan?” gumamnya sedih, “Seberapa besarpun aku tertarik kepada perempuan itu, aku tidak akan pernah bisa memilikinya.”

“Anda bisa memilikinya kalau anda mampu mengambil keputusan tegas.”

“Tidak.” Azka mengernyit seolah kesakitan, “Aku memang bukan orang baik. Tetapi aku masih punya hati.”

Tuhan tahu dia sudah tidak mencintai Celia, tunangannya. Tetapi dia masih punya hati. Kesalahannya harus dibayar, meskipun perasaannya yang dikorbankan.

***

“Azka?” Suara lembut Celia menggugah Azka dari lamunannya, membuat Azka menoleh dan langsung tersenyum lembut,

“Iya sayang?”

Celia menyelipkan rambut panjangnya yang indah di belakang telinganya, dan tersenyum lembut,

“Ada apa? Kau tampak begitu murung.”

Azka mendesah, “Ah..iya... mungkin aku sedikit tidak enak badan.” Itu yang sesungguhnya. Dia sungguh merasa tidak enak badan, dia tidak suka berada di sini. Tetapi dia harus, setiap akhir pekan setelah kesibukan kantornya berakhir, dia harus berada di sini, menghabiskan waktunya bersama Celia, tunangannya. Tetapi pikirannya mengembara, ke cafe itu, tempat perempuan bernama Sani itu pasti sudah datang dan menulis di sana sampai dini hari.

Azka tidak sabar untuk segera pergi dari sini dan menuju Garden cafe, mengamati Sani dari kejauhan.

“Pulanglah.” Bisik Celia lembut, penuh pengertian, “Mungkin kau kelelahan dan butuh istirahat.”

Celia selalu seperti itu, begitu lembut dan penuh pengertian. Apapun yang dilakukan Azka dia selalu mengerti. Apalagi yang sebenarnya Azka cari? Dia seharusnya berusaha keras untuk memaafkan dan kembali mencintai. Tetapi setiap melihat Celia, dia teringat akan pengkhianatan itu lalu merasa begitu getir.
 
Ada beberapa hal yang bisa dimaafkan dalam hubungan percintaan, tetapi pengkhianatan bukanlah salah satunya....

Ditatapnya Celia dengan senyuman lembut, kemudian dia menarik Celia mendekat dan mengecup keningnya,

“Kau mau kuantar masuk?”

“Tidak Azka, pulanglah, aku bisa masuk sendiri.” Jawab Celia tanpa kehilangan senyumnya.

Azka menghela napas, lalu menyentuhkan jemarinya di rambut Celia dengan lembut, “Terimakasih Celia, sampai ketemu lagi besok ya.”

Celia mengangguk, memundurkan kursi rodanya dan memutarnya memasuki rumah, Azka menunggu sampai pintu rumah itu tertutup, lalu melangkah pergi, tanpa menoleh lagi.

***

Dalam perjalanannya pulang dari rumah Celia, Azka merenung. Dulu semuanya baik-baik saja. Azka melabuhkan cintanya kepada Celia, dan memutuskan untuk melamarnya. Tetapi kemudian dia larut, sibuk dalam pekerjaannya dan lupa untuk memberikan perhatiannya kepada perempuan itu.

Celia yang kehilangan cintanya, akhirnya memutuskan untuk mencari perhatian dari lelaki lain, dan dia mendapatkannya dari sosok lelaki bernama Edo, yang ternyata adalah seorang bajingan.

Bajingan itu merenggut kegadisan Celia yang sedang rapuh karena diabaikan oleh Azka, lalu kemudian meninggalkannya begitu saja dalam kondisi hamil.

Masa-masa itu sangat menyakitkan bagi Azka, ketika Celia datang kepadanya dan mengakui semuanya, tentu saja Azka marah besar, mereka sedang berkendara di mobil, di tengah hujan deras ketika Celia mengakui semuanya kepada Azka, Azka marah, menginjak gas begitu kencang untuk meluapkan emosinya hingga kehilangan kewaspadaannya,  mereka lalu mengalami kecelakaan fatal, kecelakaan yang membuat Celia keguguran anak hasil hubungannya dengan Edo,  dan tidak bisa berjalan lagi selamanya.

Azka sendiri hanya mengalami lecet-lecet, dia mendengar kenyataan bahwa Celia akan lumpuh dan merasakan penyesalan yang luar biasa. Dialah penyebab semua ini, Celia menjadi lumpuh seumur hidup karena dirinya, karena dialah mereka mengalami kecelakaan parah itu. Padahal perselingkuhan Celia kalau ditelaah adalah karena kesalahannya, Azka terlalu sibuk dengan bisnisnya sehingga melupakan Celia, bahkan dia hampir tidak punya waktu untuk tunangannya itu, jadi wajar kalau Celia sampai mengais perhatian dari lelaki lain.

Lalu Azka memutuskan bahwa dia harus bertanggung jawab, dan pagi itu pula ketika Celia sadarkan diri dari kecelakaan, menangis ketika mengetahui bahwa dia tidak bisa berjalan lagi, Azka memeluknya dan mengatakan bahwa dia akan selalu mendampingi Celia selamanya, dia memaafkan kekhilafan Celia dan bertekad untuk melangkah ke depan, meninggalkan yang lalu.

Azka mengira itu akan mudah. Toh dia mencintai Celia sebelum kejadian itu, dipikirnya dia hanya perlu memaafkan dan kemudian menjalani keadaan mereka seperti sebelumnya. Tetapi kemudian dia merasakan perasaannya mulai terkikis dan musnah, setiap menatap perempuan cantik itu, lalu menyadari kenyataan bahwa Celia telah mengkhianatinya dan membiarkan dirinya disentuh oleh lelaki lain sampai sedemikian jauhnya.

Hari demi hari berlalu, sampai di titik cintanya musnah begitu saja, dia menjalani harinya dengan Celia hanya karena dia merasa harus melakukannya. Azka yakin dia bisa melakukannya, toh hatinya sudah mati rasa.

Sampai kemudian dia melihat Sani, dan terpesona lalu tertarik kepadanya.

Albert memang benar, Azka tidak pernah tertarik kepada perempuan lain sebelumnya. Begitu kuat, begitu memabukkan, membuatnya tak bisa memikirkan yang lain, membuatnya ingin mencoba mendekat bahkan meskipun dia sadar bahwa dia tidak bisa memiliki perempuan itu.

Sejenak Azka ragu, dia berada di persimpangan jalan, satu menuju ke arah rumahnya dan yang lain menuju ke arah Garden Cafe. Pada akhirnya Azka mengarahkan mobilnya ke arah Garden Cafe. Dia ingin melihat Sani.

***

Ketika dia memasuki pintu cafe itu, matanya mencari di sudut yang biasa, dan menemukan Sani. Perempuan itu sedang mengetik seperti biasa ditemani segelas anggur merah yang tinggal tersisa setengahnya.

Sejenak Azka ragu, tetapi kemudian dia mendekat,

“Aku heran kenapa kau belum tidur jam segini dan memilih untuk menulis.”

Sani langsung mendongak mendengar sapaannya, ada tatapan terkejut di sana ketika melihat Azka berdiri di depannya, tetapi kemudian dia tersenyum lembut.

“Aku punya penyakit susah tidur akhir-akhir ini"

Azka tersenyum, “Kalau kau ingin mengantuk, minumlah susu putih  aku dengar itu bisa membuat kita nyaman dan terlelap.”

“Susu putih?” Sani mengeryit, “Aku tidak suka susu putih, rasanya terlalu gurih dan menguarkan aroma yang aneh di hidung, membuatku mual.”

Kali ini Azka benar-benar terkekeh geli, “Aku baru kali ini mendengarkan deskripsi yang begitu menarik tentang susu putih.” Godanya, “Apa yang sedang kau tulis?” tanpa sadar Azka menarik kursi dan duduk di depan Sani.

“Roman percintaan.” Pipi Sani memerah, menyadari bahwa dia ditatap oleh lelaki yang begitu tampan, dengan mata cokelat muda dan rambut berantakan yang tampak sangat menggoda. Tetapi kemudian dia mengeraskan hati.

Semakin tampan seorang lelaki berarti semakin berbahaya dirinya. Gumamnya dalam hati.

“Roman percintaan? Dan sepertinya kau sedang kehabisan ide?”

Bagaimana lelaki ini tahu?

Sani mengangkat bahunya, “Tokoh utama di ceritaku saling membenci, dan aku merasakan dorongan kuat untuk membiarkannya seperti itu.”

Azka terkekeh, “Tetapi kau tidak bisa membiarkannya seperti itu?”

“Tidak bisa.” Gumam Sani penuh penyesalan, “Karena ini cerita roman, dan cerita roman karanganku harus berujung Happy Ending.”

“Kenapa?”

“Apanya?”

“Kenapa harus Happy Ending?” Azka menatap ke arah Sani dengan tajam, membuat Sani sedikit salah tingkah.

“Karena di kehidupan nyata kadangkala Happy Ending bukanlah milik kita.” Ingatan Sani langsung melayang kepada Jeremy dan dia tersenyum pahit, “Karena itulah setidaknya novelku bisa menjadi pengobat luka hati.”

“Kau benar-benar penulis novel yang baik dan memikirkan perasaan pembacanya.” Gumam Azka sambil tersenyum, yang ditanggapi Sani dengan mengangkat bahunya.

“Aku hanya ingin menyajikan kisah yang indah untuk pembacaku.”

“Misi yang luar biasa baik, dan aku yakin itu bisa membantu semua orang, karena kadang di dunia nyata ini kita tidak selalu berakhir indah. Tetapi kau harus selalu mengingat, akan ada pelangi sehabis badai.” Azka bangkit dari duduknya dan menganggukkan kepala sopan, “Silahkan lanjutkan menulis, maaf atas gangguanku.”

***

Azka sedang mengenakan dasinya untuk berangkat ke kantor pusatnya di area resor hotelnya ketika pintu apartement pribadinya di lantai dua cafe itu diketuk. Dia mengernyitkan keningnya, hari masih pagi. Cafe di bawah memang buka duapuluh empat jam, tetapi yang pasti tidak akan ada yang berani mengetuk pintunya sepagi ini, bahkan Albertpun tidak akan melakukannya.

Dengan jengkel sekaligus ingin tahu, Azka membuka pintu ruang kerjanya dan menemukan Keenan berdiri di sana. Saudara kembarnya.

“Kenapa kau kemari pagi sekali?” Azka mengernyit, menatap adiknya ingin tahu. Meski mereka kembar tetapi Azka lebih dulu lahir 3 menit sebelum adiknya, karena itulah dia selalu menganggap dirinya sebagai kakak. Lagipula, secara kepribadian, dia memang lebih dewasa dibandingkan Keenan. Keenan terlalu berpikiran bebas, dia bahkan tidak mau memegang perusahaan warisan ayah mereka dan memilih mengejar impiannya menjadi seorang pelukis. Kadang Azka merasa iri kepada Keenan karena kemampuannya untuk merasa bebas dan lepas dari tanggung jawab.

Azka sendiri tidak bisa. Perusahaan ayahnya harus dikendalikan, dan karena Keenan tidak bisa diandalkan, maka dia mengambil alih seluruh tanggung jawab itu di pundaknya.

Mungkin dia memang ditakdirkan untuk selalu memikul tanggung jawab terhadap orang lain di pundaknya, pikirnya pahit.

Sementara itu Keenan tampak tidak peduli, dia melangkah masuk ke apartemen Azka dan membanting tubuhnya di sofa,

“Aku sedang menerima proyek melukis untuk desain kantor di dekat resor kita. Pekerjaan itu baru beres tadi pagi dan memutuskan untuk berkunjung ke rumahmu pagi ini sekaligus menumpang tidur, tetapi kata pealayan sudah berhari-hari kau tidak ada di sana dan tidur di Garden Cafe.” Keenan merengut, “Jadi aku terpaksa menyusul kemari.”

Azka meraih jasnya dan melirik adiknya tanpa ekspresi, “Kau bisa menumpang tidur di kamar.” Gumamnya tenang, “Aku harus bekerja.”

“Kau tampak tidak sehat.” Gumam Keenan ketika mengamatinya, “Dan kurus. Apakah memimpin perusahaan ini membuatmu begitu sibuk sampai lupa mengurus dirimu?”

Mereka berdua memang sudah lama tidak bertemu, hampir enam bulan lebih, itu karena Keenan memutuskan ke belanda, untuk mengunjungi guru melukisnya di sana. Adik kembarnya itu baru pulang sebulan yang lalu, tetapi mereka sama-sama sibuk hingga sekaranglah pertemuan mereka yang pertama setelah enam bulan berlalu.

Azka sendiri mengamati adiknya yang tampak begitu segar dan tanpa beban, lalu mengernyit,

“Salah satu dari kita harus menjalankan perusahaan ini.”

“Kau tidak perlu melakukannya, kau tahu itu.” Keenan memundurkan tubuhnya dan menyandarkan dirinya di sofa, “Perusahaan itu bisa saja kau serahkan kepada para tangan kanan ayah, selama ini bukankah mereka juga yang menjalankannya?”

“Tetapi perusahaan ini tetap butuh seseorang yang mengendalikannya, Keenan.” Azka bergumam tajam. “Aku bukan orang bebas yang bisa melepaskan tanggung jawab seperti dirmu.” Sindirnya.

Keenan malahan tertawa, “Dan kaupun memikul tanggung jawab itu, ciri khas seorang Azka.” Wajahnya berubah serius, “Sama halnya seperti yang kaulakukan kepada Celia.”

“Aku tidak mau membicarakannya.” Azka langsung memalingkan muka, berusaha memutus percakapan. Mereka pasti akan berakhir dengan adu argumentasi ketika membicarakan Celia.

Keenan adalah salah satu orang yang menentang keras ketika Azka melanjutkan pertunangannya dengan Celia, dia tahu tentu saja tentang pengkhianatan Celia dan menganggap Azka bodoh karena memikul tanggung jawab terhadap Celia, padahal kecelakaan yang dialami Celia seharusnya bukanlah kesalahan Azka.

“Tidakkah kau bertanya-tanya bahwa sebenarnya ada jodohmu di luar sana?” Keenan terus mengejar, tidak peduli akan ekspresi membunuh yang dilemparkan Azka kepadanya, “Tidakkah kau ingin tahu bahwa pasangan jiwamu sedang menunggu jauh di sana? menanti untuk kau temukan? Kalau kau terus terpaku pada Celia, yang jelas-jelas tidak kau cintai, kau akan kehilangan kesempatanmu untuk menemukan jodohmu yang sesungguhnya.”

“Aku tidak menyangka kau bisa begitu puitus.” Azka berusaha menghindar dari bahasan tentang Celia. Dia sedang tidak mau memikirkannya.

“Aku seorang seniman, meskipun aku pelukis, tetap saja aku bisa puitis.” Keenan tertawa, “Berbeda dengan dirimu yang begitu kaku.” Wajahnya melembut, “Aku hanya ingin kau berhenti menyiksa dirimu, kak.”

Apakah sejelas itu?

Azka berusaha memasang wajah datar, “Kalau kau ingin aku sedikit lebih baik, bantulah aku di perusahaan.”

‘Tidak.” Keenan langsung menjawab cepat, “Berkemeja rapi, memakai jas dan dasi bukanlah gayaku, aku bisa mati bosan kalau bekerja di kantor.” Dengan santai dia melangkah berdiri dan menuju kamar Azka, “Selamat menikmati harimu.” Gumamnya santai lalu menghilang ke dalam kamar.

***

Sani sedang melangkah keluar dari pintu putar apartemennya, hendak menuju ke supermarket terdekat untuk membeli bahan makanan sebagai pengisi kulkasnya ketika langkahnya membeku di trotoar.

Mobil warna biru itu dengan pelat nomor yang sangat dikenalnya.

Itu mobil Jeremy...

Dan benar saja, lelaki itu melangkah keluar dari mobilnya dan berdiri tepat di depan Sani,

“Hai Sani.” Sapanya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka, “Apa kabarmu? Aku kemari untuk mengunjungimu, aku merindukanmu.” Bisiknya lembut.

Bisikan itu dulu pernah membuat hati Sani hangat, tetapi sekarang tidak lagi, dia menggertakkan giginya dengan marah,

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Jeremy mengangkat bahunya, “Mengunjungimu tentu saja, kau pikir apa? Aku harap setelah kau puas dengan tingkah kekanak-kanakanmu kita bisa bercakap-cakap dengan kepala dingin.”

Tingkah kekanak-kanakannya, katanya?

Sani menahan dirinya untuk maju dan menampar Jeremy. Berani-beraninya lelaki itu muncul di depannya seolah tidak bersalah dan mengganggu ketenangan hidupnya lagi.

“Aku tidak mau bercakap-cakap denganmu. Minggir.” Gumam Sani marah, ketika Jeremy dengan sengaja menghalangi jalannya di trotoar yang sempit itu.

Tetapi Jeremy tidak bergeming, dia malahan semakin sengaja menghalangi Sani lewat,’

“Kita harus bicara Sani, ayolah hentikan sikap kekanak-kanakanmu itu dan berbicaralah dengan dewasa.”

“Aku rasa aku sudah mengambil keputusan dewasa dengan mengakhiri pertunangan kita, menyingkirlah Jeremy dan biarkan aku lewat.”

Sani berusaha mencari jalan melewati Jeremy, tetapi karena lelaki itu menghalangi jalannya, dia merengut kepada Jeremy dengan tatapann menghina, “Ah sudahlah!” gumamnya marah lalu membalikkan tubuhnya, hendak berbalik dan meninggalkan Jeremy.

Sayangnya gerakannya kurang cepat, Jeremy sudah meraih lengannya dan mencekalnya,

“Dengarkan aku dulu Sani, kau harus mendengarkan aku!” seru Jeremy mulai emosi, lelaki itu bahkan tidak peduli akan lirikan orang-orang di sekitar.

Sani malu, sungguh-sunggu malu, dengan sekuat tenaga dia berusaha melepaskan cekalan tangan Jeremy di lengannya, berusaha melepaskan diri dari Jeremy, dia jijik, dia benci, dan dia sangat muak dengan laki-laki ini.

Di tengah usahanya melepaskan diri, sebuah mobil berwarna merah menyala menepi ke trotoar di dekat mereka. Azka turun dari mobil dan mengernyit, dari kejauhan dia sudah melihat lelaki itu mencengkeram lengan Sani dan Sani yang berusaha melepaskan diri. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan diri untuk mendekat,

“Bisakah kau lepaskan perempuan itu? Tampaknya dia tidak mau berurusan denganmu.” Gumamnya dingin.

Membuat Sani dan Jeremy menoleh bersamaan.

BERSAMBUNG KE PART 3

19 komentar:

  1. wow di post lagi... >_<
    Thank u mbak santhy *lope* :D

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Ya ampun aku semakin dilema, pilih Darren/Lucas, Rafael atau Azka ya..
    (@_@)

    BalasHapus
  4. thank you so much mbaa santhy:)

    BalasHapus
  5. Weits.. makin top nich cerita... (suka.. banyak kata2 puitisnya), Thank you mbak santhy....

    Mbak santhy emang keren badai cettar membahana (minjem istilahnya syahrini)

    Tuch si jeremy, kurang ajar banget..,ngapain muncul lg..? kelaut aja sana berenang sm hiu.., maaf mbak.. esmosi..

    Kembarannya Azka...sesuatu...
    Eh.. sani., gak suka sama su2 putih, sama donk kyak diriQ..

    Mbak santhy,, luv u full...
    Tetap Semangat lanjutin postingannnya mbakk N jangan lupa jga kesehatan..
    Peluk erat mbak santhy cantikkk

    BalasHapus
  6. kyaaaa.. Azka smngat, jauhkan si Jeremy dri Sani..

    Wah Keenan kece n ganteng kaya Azka g' mba San?? Aq mau... *emng brang??
    Wkwkwk #piss

    Thanks mba San.. *peluk

    BalasHapus
  7. wow ..kayanya bkalan rumit yah .. baca karakter keenan jd teringat novel prahu krtas mba ..hehehehe
    trnyta klo mau move on itu bner2 ga mdah yah mba ... rasanya pahit bngeet aplgi itu pngkhianatan ... !!bikin patah hati bacanya !!mksih mba cantik apresiasinya kereeen banget !!crtanya slalu beda

    BalasHapus
  8. semakin deg degan nunggu lanjutannya nih, tiap hari pasti bakalan penasaran...
    selalu aja ada kejutan, ternyata azka ada saudara kembarnya

    suka banget mbak sama karakter azka

    BalasHapus
  9. mba snthy moga ya bsok ada part3 ya.... azka n sani y mba akhrx.hehe...trims mba

    BalasHapus
  10. Wah gak nyangka Part 2 di posting hari ini... Makasih mbak Shanty wow,,, kejutan bgt sista... Tengkyu tengkyu... Luph yuuuuuu :)

    BalasHapus
  11. mbak santhy aku nunggu angel revano nih,, gak mau azka atau yang lain,, tapi kalau romeo putranya damian sama serena boleh mbak,,,





    mbak santhy anak siapa sih pintar bgt

    BalasHapus
  12. º°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º ya mba
    Wah gmna nasib azka tu hub krna terpaksa

    BalasHapus
  13. tengkyu mbak shanthy.. duh, senengnya postingnya cepat.. diposting setiap hari ya mbak..?. horee \(^_^)/

    BalasHapus
  14. kisah cinta segi banyak dmulai,,
    Jeremy - Sani - Azka - Celia - Keenan,,,,

    Howreee,,,
    Makassiih mbak Santh,,,mmuuacchhh,,

    BalasHapus
  15. Kisah cinta seorang penulis ternyata menarik dan seru. Mksh Mb Santhy:-)

    BalasHapus
  16. Aaakkkkk,,Azkaaa,,Azkaaaaaa...
    Vie sk nm Azka,,lbih sk lg sm Azka dcrta iniihh..
    Keenan sm Celia ajja biar Azka sm Sani *mengarang bebas*
    Mksh Mba Santhy....
    *peyuk2*

    BalasHapus
  17. azka nya lucu deh kyk gtu..jgn ngntip2 aja donkk..hkhk

    BalasHapus
  18. Iya nih si azka sukanya ngintip doang ntar bintitan loh
    Jgn sampe keduluan keenan!

    BalasHapus