Prolog
Ingatan akan kejadian itu masih terasa begitu menyakitkan baginya. Melihat dengan mata kepalanya sendiri akan pengkhianatan Jeremy, kekasih yang sangat dicintainya. Lelaki yang dia kira akan menjadi pasangan hidupnya, selama-lamanya sampai mereka menua. Apa yang dia lihat itu merupakan kehancuran bagi seluruh rencana masa depannya, pernikahan mereka, kehancuran bagi segalanya, bagi hati Sani, dan bagi kepercayaannya kepada semua laki-laki di dunia ini.
Teganya Jeremy!! Tak henti-hentinya Sani meneriakkan umpatan kepada mantan tunangannya itu di dalam hatinya.
Semula diawali dari telepon itu, sebuah telepon dari nomor tidak dikenal, yang entah kenapa Sani angkat. Telepon itu dari seorang perempuan, yang menangis, mengatakan bahwa dia juga kekasih Jeremy dan mengatakan bahwa Jeremy telah meninggalkannya tanpa mau bertanggungjawab.
Oh, tentu saja Sani pada awalnya tak percaya, tetapi perempuan itu mengajaknya bertemu, dan meskipun saat itu Sani sangat yakin bahwa Jeremy tidak mungkin mengkhianatinya, Jeremy tidak mungkin melakukan semua itu kepadanya.
Sani mau bertemu dengan perempuan yang menelepon itu, dengan tujuan awal ingin mengata-ngatai perempuan itu agar jangan memfitnah Jeremy, tunangannya yang sangat setia dan tampan.
Tetapi kemudian, siang itu di sebuah café di ujung jalan, seluruh keyakinan Sani dijungkirbalikkan. Perempuan itu, Ana namanya, sudah mempersiapkan segalanya. Semua bukti yang diperlukan terhampar di hadapan Sani, seolah menamparnya keras-keras.
Di sana ada foto-foto mesra Jeremy dan Ana, yang menunjukkan bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Tentu saja! Seorang yang bukan kekasih tidak mungkin mencium pipi, berangkulan begitu erat dan saling memeluk seperti yang tergambar di dalam foto itu. Ana juga menunjukkan pesan pesan mesra mereka, dari nomor Jeremy. Bahkan Jeremy tidak pernah seromantis itu dengannya, pesan-pesan mereka penuh dengan kata-kata cinta dan janji-janji muluk yang menyakitkan. Lalu seakan semua bukti belum cukup menghancurkan hari Sani, Ana dengan tenang mengatakan bahwa kegadisannya sudah diserahkan kepada Jeremy, dan bahwa sekarang keluarganya akan menuntut kepada keluarga Jeremy.
Hati Sani seakan dihancurkan oleh pengkhianatan yang begitu parah, bukan hanya karena Jeremy berselingkuh di belakangnya, tetapi juga karena Jeremy telah begitu saja menghancurkan seluruh keyakinan Sani tentang lelaki yang baik.
Sani selalu menjaga dirinya sampai dengan usianya yang sekarang, duapuluh lima tahun dan masih perawan. Meskipun kadang dia membiarkan Jeremy mencium bibirnya, tetapi hanya sebatas itu. Tidak pernah lebih.
Jeremy pernah suatu kali meminta lebih, tetapi Sani mengangkat alis dan mengatakan apa yang diyakininya, nasehat ibunya, bahwa seorang lelaki yang baik, akan menjaga perempuan yang dicintainya. Bukannya memaksa untuk merusaknya. Jeremy saat itu menerima penjelasan Sani dengan lembut, dan bersumpah bahwa dia benar-benar mencintai Sani, jadi tidak akan pernah merusaknya. Dan Sani sangat bersyukur mempunyai tunangan seorang lelaki yang bisa menjaga moralnya, seorang lelaki yang baik dan tidak berorientasi kepada hasrat duniawi semata.
Semua pandangannya tentang Jeremy – dan semua laki-laki lainnya hancur seketika itu juga. Jeremy telah tidur dengan Ana, lebih dari pada yang seharusnya. Bagaimana mungkin Sani bisa memaafkan Jeremy?
Malam itu Sani bertemu dengan Jeremy, dan memaparkan semuanya, bukti-bukti yang ada. Jeremy tampak sangat marah, kepada Ana, bukan kepada Sani.
“Dan kau percaya apa yang dikatakan perempuan itu?”, tanya Jeremy waktu itu.
Sani menatap lelaki itu. Yang dulu dicintainya, bahkan mungkin sekarang masih dicintainya meskipun cinta itu terasa menggores seluruh hatinya hingga terasa nyeri.
“Dia menunjukkan semua bukti-bukti itu, foto-foto mesra kalian berdua, pesan-pesan mesra kalian, masihkah kau membantah semuanya?”
Jeremy tercenung tampak ragu, lama kemudian, dia menatap Sani dengan pandangan memohon,
“Maafkan aku sayang”
Air mata pecah dari dasar hati Sani, sejak siang tadi Ana menemuinya, Sani bahkan tidak bisa menangis, dia terlalu marah. Tetapi sekarang, berdiri di sini, berhadapan dengan Jeremy yang mengakui segalanya membuatnya tak bisa menahan diri lagi,
“Teganya kau melakukan itu kepadaku Jeremy, setelah pertunangan kita yang delapan tahun lamanya. Aku percaya padamu! Aku menghormatimu… aku…”, suara Sani tertahan oleh napasnya yang mulai sesak oleh luapan perasaannya.
Jeremy memijit keningnya tampak kesakitan.
“Maafkan aku Sani, aku… aku khilaf, tidakkah kau mengerti? Aku tidak pernah menginginkan berselingkuh dengan Ana dibelakangmu. Tetapi Ana… Ana, dia mengejarku, kau tahu dia juniorku di perusahaanku dan aku bertugas membimbingnya, dia… dia sangat tergila-gila dan terobsesi denganku, aku sudah berusaha menolaknya dengan berbagai cara, tetapi dia…. Dia tidak menyerah. Suatu malam, ketika hujan, dia mengetuk pintu apartementku, berkata bahwa mobilnya mogok di dekat situ dan dia kehujanan. Aku tidak punya kesempatan untuk menolaknya, dia… dia kemudian merayuku… dan aku….”, suara Jeremy terhenti ketika melihat ekspresi Sani, “Jangan… jangan sayang, jangan merasa jijik kepadaku… aku hanya laki-laki biasa, aku menyesali semuanya, aku memang tidak tahan godaan, aku harap kau mengerti semuanya….,” Jeremy mendekat, berusaha menyentuh tangan Sani, tetapi Sani menepiskannya dengan kasar.
“Jangan sentuh aku”, desis Sani geram, “Kau bisa saja bilang itu ketidak sengajaan untuk kejadian pertama, tetapi kalian melakukannya lagi dan lagi….dan aku yakin itu bukanlah suatu ketidak sengajaan…”
“Itu semua terjadi begitu saja!” seru Jeremy frustrasi, “Dia… dia selalu menyediakan diri, dan kupikir, semua tanpa komitmen, aku tidak tahu dia akan berbuat sejauh ini, menyakiti kau dan aku, berusaha menghancurkan hubungan kita, kau tahu? Aku sebenarnya sudah akan meninggalkannya”
“Aku sangat kecewa Jeremy.” Sani menyusut air matanya, semua kesedihannya berubah menjadi kemarahan, “Kau meniduri seorang perempuan dan menganggap itu hanya selingan sambil lalumu, pemenuhan kebutuhanmu…. Itu sangat tidak bermoral..”
“Maafkan aku Sani, aku harap kau mau mengerti, lagipula pernikahan kita tinggal lima bulan lagi, kau tidak akan membiarkan ini menghancurkan semua rencana masa depan kita bukan? Aku akan membereskan semua masalah ini dan kita bisa melanjutkan semuanya.”
“Tidak!”, Sani mundur selangkah, “Aku tidak mau melanjutkan apapun! Dan kurasa aku tidak akan pernah bisa! Kau… kau bukanlah lelaki yang kuinginkan untuk bersamaku sampai akhir hidupku. Ternyata aku salah selama ini Jeremy,” dengan kasar Sani melepas cincin emas itu dari jemarinya, cincin yang dipasangkan secara resmi oleh Jeremy di depan seluruh keluarga mereka ketika mereka baru lulus dari SMU, delapan tahun yang lalu. “Kukembalikan cincin ini dan kuminta hatiku kembali, silahkan jelaskan semuanya kepada orang tua kita, karena aku sudah muak kalau harus mengulang semua ini lagi.,” diletakkannya cincin itu ke telapak tangan Jeremy, “Selamat tinggal Jeremy.”
Sani membalikkan tubuhnya, dan tidak menoleh lagi ke belakang. Meskipun Jeremy masih memanggilnya dengan lembut, mencoba membuatnya berubah pikiran.
Kemudian Sani menjelaskan secara singkat keputusan bulatnya kepada kedua orang tuanya, menolak telepon-telepon dari orang tua Jeremy agar dia mau memaafkan Jeremy. Semua sudah selesai, babak hidupnya yang ini sudah musnah, bersama dengan cintanya, seluruh masa depannya dan rencana pernikahan mereka setahun lagi. Sani menghadapi segalanya dengan kepala tegak meskipun hatinya hancur bukan kepalang.
Malam itu juga, Sani mengepak segalanya dan mengambil keputusan untuk pindah ke kota lain. Sani seorang penulis novel, dia bisa tinggal dimanapun dia mau, tidak terikat pada perusahaan manapun.
Maka Sani memilih kota itu, kota yang menjanjikan penyembuhan, kota yang jauh, kota yang tak punya keterikatan apapun dengan masa lalunya. Sani sudah bertekad, persetan dengan semua laki-laki. Dia tidak membutuhkannya. Akan dia tunjukkan kepada dunia yang kejam ini, bahwa seorang Sani, bisa hidup tanpa harus meletakkan hatinya ke dalam genggaman mahluk jahat yang bernama Laki-laki.
***
PART 1
Apartementnya masih berantakan, dia belum sempat merapikan pakaian dan beberapa barang pribadi yang baru dibelinya, sebuah televisi dan dispenser kecil. Untunglah apartement ini sudah menyediakan perabotan dasar seperti tempat tidur, sofa dan dapur. Shani memutar bola matanya ketika menatap dapur itu, dia mungkin butuh berkunjung ke supermarket terdekat, mengisi bahan makanan di kulkas dan membeli beberapa peralatan memasak.
Tubuhnya lelah setelah perjalanan yang panjang dan dilanjutkan dengan mengurus surat-surat kontrak apartementnya, Keisha, editornya yang kebetulan tinggal di kota ini sudah berbaik hati membantu mencarikan apartement yang siap pakai untuknya. Ya, Sani memang berangkat ke sini karena usul dari Keysha, selain sebagai editornya, Keisha adalah sahabatnya, meskipun mereka kebanyakan berkorespondensi melalui email semata. Jadi, begitu Sani menceritakan pengkhianatan Jeremy dan rasa sakitnya, Keisha mengusulkan agar Sani pindah sementara ke kotanya sampai hatinya tenang.
Dia hanya berpamitan kepada kedua orang tuanya, dan tidak mengatakan kepergiannya kepada siapapun. Tetapi lambat laun Jeremy pasti akan mengetahuinya juga. Sani mendesah pahit. Sekarang ingatannya akan Jeremy dipenuhi rasa muak dan sakit hati.
Ah ya ampun. Lelaki. Sani tidak akan pernah percaya laki kepada lelaki. Mereka semua adalah mahluk lemah yang tidak tahan godaan.
Ponselnya berkedip-kedip dan Sani mengernyit, dia mengangkatnya ketika melihat nama Kesha di sana.
“Halo?”
“Aku sudah sampai rumah dan baru teringat.” Kesha berkata, “Naskah bab tujuhmu sudah selesai dikoreksi, ada beberapa catatan kecil di sana, mungkin kau ingin melihatnya.”
“Aku akan melihatnya nanti.” Gumam Sani lemah, menyandarkan tubuhnya di sofa, “Saat ini aku lelah sekali.”
“Istirahatlah dulu. Kau tidak akan bisa menyelesaikan tulisanmu kalau kau sakit.”
“Kenapa kau memikirkan tulisanku? Bukan aku?” Sani tersenyum
“Karena sudah mendekati deadline dan kau baru sampai di bab tujuh, Sani, novelmu banyak ditunggu-tunggu oleh penggemarmu, penerbit sudah mengejarku untuk kepastian penyelesaian novelmu.” Kesha tergelak, “Tetapi bukan berarti aku tidak mempedulikanmu, sebagai sahabat aku mencemaskanmu, jangan banyak pikiran ya. Lepaskan semuanya dan biarkan hatimu tenang.”
Mata Sani berkaca-kaca. Menyadari bahwa hatinya sama sekali tidak tenang, “Terimakasih Keisha.” Gumamnya serak sebelum menutup pembicaraan.
Matanya nyalang menatap langit-langit kamar. Mencoba melupakan rasa yang menyesakkan dada. Dia tidak akan bisa tidur malam ini, sambil menghela napas panjang, Sani meraih jaketnya dan melangkah keluar dari apartementnya.
***
Setelah berjalan tanpa tujuan di sekitar kompleks apartemennya yang cukup ramai karena terletak di area pusat perbelanjaan, Sani begitu saja memasuki cafe itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi suasana tetap saja ramai.
Cafe itu terletak di pinggir jalan, di area yang dipadati pejalan kaki yang lalu lalang, suasananya sangat sejuk dan menyenangkan, karena dipenuhi oleh tanaman hijau yang ditata dengan indahnya, dengan dinding-dinding dari kaca yang memantulkan lampu jalan. Cafe itu buka duapulu empat jam. Dan Sani langsung menemukan tempat yang cocok untuk duduk dan menulis. Dia duduk di sebuah sudut yang nyaman dan membuka buku menu yang ada di meja. Suasana cafe cukup ramai meskipun sudah malam, seakan-akan kehidupan terus berjalan di dalam sini.
Pada saat yang sama seorang pelayan, pria setengah baya mendekatinya dan tersenyum ramah kepadanya,
“Selamat malam, apakah anda ingin memesan sesuatu?”
Sani mendongak menatap wajah yang ramah itu dan tersenyum, “Saya ingin steak yang ada di menu ini gumamnya pelan, lalu menatap pelayan yang membungkukkan tubuhnya dengan sopan setelah mencatat pesanannya dan melangkah pergi.
Sani membuka laptopnya dan mulai menulis, tetapi baru beberapa detik dia mendesah. Novel yang ditulisnya adalah kisah romansa antara dua anak manusia yang saling mencintai. Sani dulu sangat lancar menulis novel percintaan, kata-kata akan mengalir mudah dari jari-jarinya, membentuk rangkaian huruf yang membuaikan pembacanya, tetapi sekarang, setiap dia akan menulis kisah cinta, hatinya mencemooh, ingatan akan Jeremy menyerbunya, membuat jemarinya kaku dan tidak bisa mengetikkan kisah romantis apapun. Ternyata menulis itu dipengaruhi oleh hati. Ketika dia patah hati, jemarinya menolak untuk menuliskan kisah cinta yang menyentuh hati. Jiwanya tidak percaya akan keindahan romansa, semua terasa palsu baginya sejak pengkhianatan Jeremy kepadanya.
“Biasanya kalau aku susah mendapatkan inspirasi aku akan mendengarkan musik.”
Suara yang maskulin itu mengejutkan Sani dari lamunannya, dia mendongakkan kepalanya dan langsung bertatapan dengan sosok tampan yang begitu mendominasi ruangan, dengan pakaian serba hitam dan wajah klasik yang misterius.
Sani mengernyitkan keningnya, menoleh ke belakangnya, tidak ada orang lain di dekatnya, jadi memang benar lelaki ini sedang menyapanya. Dia tidak mengenal lelaki ini, bagaimana lelaki ini bisa mengetahui bahwa dia sedang menulis?
“Para penulis biasanya datang ke cafe ini di malam hari, memenuhi setiap sudutnya dan berusaha mencari inspirasi.” Lelaki itu tersenyum, “Maafkan aku tidak sopan menyapamu begitu saja.” Dia mengulurkan tangannya, “Hallo, Aku pemilik cafe ini namaku Azka.”
Sani tetap ragu, meskipun begitu, demi kesopanan dia menyambut uluran tangan lelaki itu,
“Hallo....” Sani masih bingung harus berkata apa, “Aku Sani.” Gumamnya pelan. Masih terpukau atas senyum ramah dan ketampanan lelaki di depannya.
“Oke kalau begitu, aku harap kau tidak bosan berkunjung kemari.” Lelaki itu menganggukkan kepalanya lalu melangkah pergi.
Sani masih terdiam, mengamati kepergian lelaki itu. Mungkin sudah budaya di cafe ini untuk ramah kepada para pelanggannya, pikirnya dalam hati.
Lelaki itu tampak baik, ramah dan sopan.... tetapi kemudian ingatan akan Jeremy menyerangnya dan membuatnya merasa pahit. Semua laki-laki sama di dunia ini, meskipun yang berpenampilan paling sempurna sekalipun.
***
“Dan dia sangat tampan.” Sani bercerita kepada Kesha sahabatnya, “Dia juga pemilik cafe yang indah itu.”
Kesha mencomot roti bakar di piring Sani, mereka sedang menghabiskan minggu pagi di apartemen Sani, Kesha berkunjung untuk membantu Sani merapikan tempat barunya,
“Cafe itu cukup terkenal di kota ini, sangat ramai karena menyediakan semua yang dibutuhkan. Di pagi hari kau bisa memesan menu sarapan yang lezat, dan di malam hari, barnya dibuka sehingga semua orang yang ingin bersantai bisa duduk-duduk di sana selama mungkin dan menikmati minumannya. Tapi dari ceritamu, pemilik cafe itu sepertinya masih muda.”
“Masih muda.” Sani merenung, masih muda dan sangat tampan batinnya.
“Apakah dia sudah menikah?” tanya Kesha tiba-tiba.
Sani tergelak, “Kenapa aku harus memperhatikan apakah dia sudah menikah atau belum?’
“Karena kau harus belajar melepaskan diri dari Jeremy.” Kesha mengedipkan sebelah matanya, “Pemilik cafe itu menyapamu, dan dia masih muda, siapa tahu dia juga tampan.”
“Dia tampan.” Gumam Sani akhirnya.
“Nah! Mungkin dengan mencoba membuka lembaran baru kau bisa menyembuhkan lukamu.”
“Tidak.” Sani mengernyitkan keningnya denga pedih, “Semua lelaki sama, Kesha. Mereka selalu bilang bahwa mereka adalah pecinta sejati. Tetapi di sisi lain mereka mudah berpindah hati.”
“Kau tidak bisa terus-terusan seperti itu, Sani. Masih banyak lelaki di luar sana yang berjiwa baik dan setia.” Kesha menghela napas panjang, “Seperti pemilik cafe yang tampan itu, dia tampaknya baik, dan dia menyapamu, berarti dia ada perhatian kepadamu.”
“Tidak.” Sani menggelengkan kepalanya sambil terkekeh, “Mungkin itu memang sudah menjadi ciri khas cafe itu, bersahabat dengan pelanggannya, bahkan pelayannya pun ramah-ramah.” Tatapan mata Sani lalu berubah serius, “Aku tidak ingin membuka hatiku untuk lelaki manapun, Kesha, aku sudah dikecewakan dan bagiku semua lelaki itu sama, mereka adalah pengkhianat.”
Sani meyakini kata-katanya. Pengalamannnya dengan Jeremy sudah membuktikan semuanya. Dia tidak akan pernah percaya kepada laki-laki lagi, apalagi lelaki yang luar biasa tampannya seperti pemilik cafe itu kemarin. Lelaki setampan itu pastilah pemain perempuan, karena dengan ketampanannya dia bisa mendapatkan banyak perempuan yang dengan sukarela mau bertekuk lutut di bawah kakinya.
***
Tetapi malam itu Sani tidak bisa tidur lagi, dia sudah mencoba berbaring tetapi hanya berguling bolak-balik di atas ranjang. Akhirnya dia memutuskan untuk berjalan keluar. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi kawasan tempat tinggalnya cukup aman dan ramai untuk keluar di malam hari.
Lagipula Cafe itu terletak begitu dekat, di seberang kompleks apartemennya....
Tanpa terasa Sani sudah berjalan ke sana, memasuki cafe itu. Pelayan setengah baya yang sama yang menyambutnya,
“Anda ingin pesan apa?” lelaki itu menyapa dengan ramah ketika Sani duduk di pojok yang rindang dengan dekorasi taman yang menyejukkan.
Sani tersenyum, “Tidak, malam ini aku ingin kopi.”
“Apakah anda akan bergadang untuk menyelesaikan pekerjaan anda?” pelayan itu melirik ke arah laptop yang diletakkan Sani di mejanya.
Sani terkekeh, “Aku seorang penulis dan aku dikejar deadline.”
“Penulis?” Pelayan itu tampak tertarik, “Penulis novel?”
Sani menganggukkan kepalanya, “Ya. Novel percintaan.”
“Ah.” Pelayan itu terenyum penuh arti, “Saya sudah menduganya, itu sesuai dengan penampilan anda yang lembut.”
“Terimakasih atas pujiannya.” Gumam Sani sambil tertawa, mulai membuka laptopnya di atas meja itu, “Mungkin aku akan di sini sampai pagi.”
“Anda tidak tidur?”
“Pekerjaanku kan penulis, aku bisa begadangan semalam dan tidur besok pagi.” Sani tergelak, “Semoga di sini diperbolehkan duduk sampai malam.”
“Tentu saja.” Pelayan itu mengedipkan sebelah matanya, “Asal anda terus mengisi cangkir kopi anda setiap dua jam, anda boleh duduk di sini selamanya.” Candanya sambil tertawa, “Saya akan mengambilkan pesanan anda, dan karena sepertinya anda akan menjadi pelanggan kami, anda boleh memanggil saya Albert.”
Sani tersenyum menanggapi keramahan pelayan itu, “Terimakasih, Albert.” Gumamnya lembut.
***
Hampir pukul tiga pagi dan Sani masih menulis di sudut yang sama, dia sedang menulis adegan sedih, perpisahan antara dua tokohnya karena kesalahpahaman, dan itu sesuai dengan perasaannya sekarang, karena itulah jemarinya mengalir lancar.
Tiba-tiba ponselnya berkedip-kedip, membuanya mengernyitkan kening.
Siapa yang meneleponnya pagi-pagi begini?
Diambilnya ponselnya dan wajahnya memucat ketika melihat nama yang tertera di sana.
Jeremy...
Sani meletakkan ponsel itu di meja dan membiarkannya. Tetapi ponsel itu terus bergetar tanpa henti, begitu mengganggunya. Sani mendesah kesal, mood menulisnya langsung hilang begitu saja melihat nama Jeremy di layar itu.
Dan meskipun dia sudah berusaha mengabaikannya, ponsel itu terus menerus bergetar tak tahu malu, seolah Jeremy tidak akan menyerah sebelum dia mengangkatnya.
Akhirnya setelah menghela napas panjang, Sani mengangkat ponsel itu.
“Ada apa Jeremy?” gumamnya kesal.
“Sani, akhirnya.” Suara Jeremy terdengar lega di seberang sana, “Aku datang ke rumahmu dan orangtuamu bilang bahwa kau pergi keluar kota. Kau kemana?”
“Sudah bukan urusanmu lagi kan?” jawab Sani dingin.
“Astaga Sani. Sebegitu kejamnyakah kau padaku? Apakah kau pergi meninggalkan kota ini gara-gara aku?”
Kenapa pula Jeremy harus bertanya? Tentu saja Sani melakukannya karena Jeremy, dia sudah muak bahkan untuk mengetahui bahwa dia menghirup udara yang sama dengan laki-laki itu, karena itulah dia pindah.
“Aku rasa apapun alasanku adalah urusanku.” Sani bergumam, “Dan aku harap kau tidak menggangguku lagi.”
“Sani... sayang... dengarkan aku... kau pindah kemana sayang? Orangtuamu tidak mau memberitahukan kepadaku, dan aku mencemaskanmu.”
“Aku baik-baik saja.” Sani menguatkan hatinya, merasakan matanya berkaca-kaca, lalu langsung mematikan ponselnya.
Dia terpekur cukup lama di depan laptopnya, menatap hampa kepada tulisannya yang masih setengah jadi. Saat ini yang dia lakukan adalah membuat kisah tragedi, dengan akhir yang tragis dan memilukan untuk tokoh-tokohnya, kisah menyedihkan yang sama seperti yang sekarang dia alami.
***
Azka memperhatikan Sani dari dalam ruang kerjanya. Tentu saja Sani tidak menyadarinya, ruang kerja Azka terletak di lantai dua, di atas tangga dengan kaca yang gelap yang didisain satu sisi, dimana Azka bisa dengan leluasa mengawasi seluruh bagian cafe miliknya dan orang dari luar tidak akan bisa melihat menembus ke dalam.
Azka tidak pernah merasakan ketertarikan seperti ini pada perempuan manapun. Tetapi semalam, ketika kebetulan dia sedang berdiri di tempat ini, tempat yang sama, mengawasi cafenya, dia melihat perempuan itu masuk, menatap keraguan perempuan itu, dan entah kenapa ada sesuatu yang mendorongnya untuk mendekati perempuan itu.
Padahal penampilan perempuan itu sederhana, dia mengenakan rok panjang dan kemeja warna polos yang membungkus tubuhnya yang mungil. Tidak ada yang istimewa dan heboh dari penampilannya, rambutnya dikucil kuda sekenanya, dan perempuan itu tidak berdandan, tetapi Azka tetap saja tidak bisa melepaskan pandangannya dari perempuan itu.
Bahkan kemudian dia tidak bisa menahan diri untuk menyapa perempuan ini, ingin melihat lebih dekat. Azka tidak pernah menampakkan dirinya di depan pelanggan. Dia selalu bersembunyi di balik dinding kaca gelap yang misterius, hanya Albertlah yang dipercayanya sebagai tangan kanannya. Azka memiliki jaringan cafe dan hotel di seluruh kota ini, tetapi Garden Cafe adalah favoritnya, tempat inilah satu-satunya dari seluruh tempat yang dimilikinya yang membuatnya merasa nyaman.
Dan kemudian dia menemukan perempuan ini, perempuan yang langsung merenggut hatinya, ketika berucap halo dan menyambut uluran tangannya, lalu mengatakan namanya. Sani. Azka mencatat nama itu dengan penuh rahasia, jauh di dalam hatinya yang kelam.
BERSAMBUNG KE PART 2
waaa, ada cerita baru lgi niii....
BalasHapusthank u so much mbak shannnn....
Asyik dapet cerita baru lagi dr Mb Santhy, Mksh Mb Cantik ;-)
BalasHapusHalo Azka,,,
BalasHapus*mdh2an azka jatuh cinta ama ku jg :P
Makasih mba san...
#Waiting for the next chapter
senengnya ada cerita baru, makasih ya mbk santhy, di tunggu part selanjutnya
BalasHapuswhoaaaaaaaaaaaaa,,,,,
BalasHapusSi Azka~anaknya Deddy Corbuzier~dah dpost,,,
Howreeeeeee,,,
Makassiih mbak Santh,,
mksih mbak santhy .keep healty
BalasHapusah... penasaraaannnnnn...... stlh SE yg bkin shock, dan in bkin penasaran *jambak rambut*
BalasHapushello azka - sani.... senang berjumpa dg kalian.
BalasHapusKecup mbk shanthy...
Aih...aih...hello sani besok ketemu lagi yach..
BalasHapusMudah"an postingnya mbak san g lama" nih
Ceita Balu balu balu
BalasHapusD tgu bab 2nya
º°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º ya mba
wahhhhhh new comer,,, yeaaahhh azka kamu jgn sembunyi sembunyii keep writing mba Santhy, thx
BalasHapusketemu dengan nama baru : azka dan sani
BalasHapuskyaaaaaaaa crta baru...
BalasHapusAzka slm kenal.. ;)
Smga qta bisa serasi ya?? #plaaaaakk
Mba san sayang.. Mksih ;)
smga shat sllu dan terus berkarya :) semnagat mba...
makasih mb santhy.
BalasHapusbwt cerita terbarunya
trims mba....crtax bgus. dtnggu klnjutanx
BalasHapusOhhh.. my... baca part 1 lsg jatuh hati pada cerita ini... ku suka nama Azka ini.. special n unik.. makasih ya mba san.. pelukkk erat..
BalasHapusasiiikk ada cerita baru lagi
BalasHapusmakasih mba shant......
Hore.. cerita baru lgi..
BalasHapusYou've Got Me From Hello, judulnya itu lho mbak... bwat aku senyum2 sendiri..
Laki2 model jeremy pantesnya diceburin kelaut.
Thank you mbak santhy cantikkk.
Peluk eratt mbak santhy cantik.. SEMANGATTT
Ditunggu dengan setia part selanjutnya mbak...
Penasarannnn~ Azka itu aura-auranya bikin meleleh. #heh XDD
BalasHapusDitunggu selalu lanjutannya ya, Mbak Cantik ;)
wow,,cerita baru,,,,ditunggu lanjutannya mba shanty ^^
BalasHapuspas bca ceritanya langsung jatuh cnta, keren bngt mbak san... Pas bca sinopsisx agak2 mirip ama MH aku pikir d mana sani pasti jga galau klu tau azka akan tega berbuat hal yg sma seperti jeremy buat bsa dapatin sani... Tpi ini ceritanya kerennnnn
BalasHapusthank u mbak santhy *lope*
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWaahhh ada yg baru nih,,,
BalasHapusMakasih mba santhy
#Smile-smile-smile
bikin penasaran
BalasHapusmakasih mba' santhy
Sani...Sani...Apa kabar mu ? Kabar ku baik2 Saja ...
BalasHapusMakasih mbak shanty ... Kayaknya BAGUS dech alur cerita Nya .. Aku kan rajin MAMPIR ke SIni hihihiiii Boleh...?
Thanks :)
•̸Ϟ•̸Thank You•̸Ϟ•̸-̶̶•-̶ jeng Santhy,baru bisa komen...dah PO box set ini ϑî Erica.keep up the spirit to write and stay healthy.muah,muah,muah...
BalasHapusHello mbak santhy. saya pengunjung baru di blognya mbak dan saya suka sekali dengan cerita-cerita mbak. Menarik banget, romatis abis :D Berharap cerita yang ini bakalan Hap end :D soalnya saya udah Pesen buku ini sama yang lainnya juga :D jadi ga sabar bacanya. hihihi..
BalasHapusSalam kenal ya mbak.
-Bey-
*my bolg -> beynotbetty.wordpress.com (saya juga suka menulis, tapi baru cerpen-cerpen saja :D)*
Jatuuhhhhh cintaaa pd pndangn prtamaaaaa pas bacaaaa....
BalasHapusTp Mba Saaann...knp nm cwe ntuh Ana??hukz...hukz...
Uwaaaah
BalasHapusKeren mb san
Ga sabar nunggu kelanjutannya
Jatuh cinta pd pandangan pertama ama cerita ini
Hihihi
Yeeeeeee ada crt baruuuu... Maksiuh mbak shanty.... D tggu part selanjut.a *peluk* :D :D :D
BalasHapussik asiiiik yg baru....yg baru
BalasHapuswahh cerita baruuu..yeyyy^ ^
BalasHapusyeah .. krya bru lgi... sya sllu trtarik dg kisah2 romantis mkax sya ska bngt bca krya mba santhy :)
BalasHapus;)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus